Untuk nemenin kalian selama 14hari self quarantine nih! Di usahakan update dengan cepat karena kebetulan draft numpuk utk 3chpt kedepan. Di tulis 2 minggu lalu tepatnya sebelum ponsel hilang berserta outline ceritanya.
Galau parah tapi sayang banget sama PTK karena disini vibesnya lebih fresh dan cerita ini anti galau makanya aku usahain tulis ulang meskipun banyak yang berubah. Tapi inti permasalahannya masih sama kok!
Jadi selamat membaca dan yuk stop jadi siders:'
ㅡㅡ
Lambat laun, Song Jean mengerti bahwa kehadiran orang tua untuk terus berada di sampingnya begitu penting. Jean memang bukan lagi seorang bocah cilik yang masih butuh di atur sedemikian rupa atau di beritahu tentang bagaimana kehidupan di luar sana bekerja. Di usianya yang telah menginjak angka 23 tahun, gadis itu tentu bisa memilih mana yang baik dan buruk untuk dirinya sendiri. Tetapi, mungkin belakangan Jean jadi lebih sering merindukan Mama dan Papa sebab harusnya mereka sedang memaki tentang pekerjaan yang tengah di lakoni anak semata wayangnya. Kalau si gadis berani sekali saja menyautkan sebuah alasan bahwa ia butuh uang makanya bekerja, sudah di pastikan Nyonya dan Tuan Song akan menyentil kuping Jean kemudian memberikannya dua koper besar berisi uang supaya buah hati mereka tak perlu bekerja susah payah bahkan sampai harus mempertaruhkan nyawanya. Itu jelas konyol.
Tetapi tentu saja Jean akan menolak uang yang diberikan oleh orang tuanya itu secara cuma-cuma. Baginya ketika usianya pertama kali menekan angka dua puluh, dia tahu bahwa seharusnya kalimat 'merepotkan' kedua orang tua harus segera di singkirkan dan mau tak mau ia harus berani mengambil langkah untuk kelangsungan hidupnya.
Well, hidup di luar rumah tanpa orang tua memang sulit, atau bahkan kelewat sulit. Tetapi karena menyukai tantangan, Jean memilih untuk keluar dari zona nyamannya dan mencari peluang baru untuk hidupnya.
Bertemu dengan Taehyung kemudian beberapa kali bekerja sebagai pelayan kafe dan kini berakhir menjadi anak buah dari sebuah komplotan pembunuh bayaran, si gadis memiliki banyak cerita tentang itu semua.
Rasa menyenangkan dan menyedihkan di waktu bersamaan membuatnya tahu bahwa sesulit apapun kehidupannya, ia akan tetap menjalaninya dengan atau tanpa perintah.
Sejak sepuluh menit lalu, Mama Song agaknya belum berniat memutus sambungan. Kerinduannya akan Jean bahkan tak berkurang seinci pun. Gadis tersebut sudah berupaya menenangkan sang Mama dengan kalimat 'aku baik-baik saja, tidak perlu cemas. Harusnya Mama pikirkan saja kesehatanmu dan Papa. Aku merawat diriku dengan baik disini', namun tidak mempan. Nyonya Song semakin terdengar khawatir.
[Kapan kau akan kembali kalau begitu?"]
Meletakkan remot tv kemudian merebahkan diri di sofa dengan sorot yang senantiasa fokus pada acara komedi di depan sana, gadis itu tersenyum lucu sebelum menjawab, "Aku akan kembali dengan cepat, tapi tidak perlu menungguku. Kalau pekerjaanku sudah selesai, aku akan berkunjung ke Mokpo selama beberapa hari."
[Oh, bagus, gadis nakal. Kau bahkan hanya berkata bahwa kau ingin berkunjung bukan kembali pada orang tuamu. Memang sampai mati kau mau menetap di Seoul?]
"Idemu tidak terlalu buruk, Ma. Sepertinya mati di Seoul adalah cita-citaku sekarang."
[Apa yang kau bicarakan, astaga. Kau membuatku kesal, Jean.]
Song Jean terkekeh justru mendengar penuturan sang Mama. Ia telah membaca bahwa reaksi yang akan diberikan pasti seperti itu. Sudah menjadi hal lumrah untuknya mendengar Mama berceloteh dengan khawatir. Jean justru senang sebab meskipun lama tak berjumpa, tidak ada yang berubah dari Mama. Wanita paruh baya itu masih senantiasa memperhatikan Jean layak bocah kecil yang masih butuh susu di malam hari sebelum tidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Play Then Kill
Fanfiction[ᴄᴏᴍᴘʟᴇᴛᴇᴅ | sᴇᴀsᴏɴ 2 ᴏɴʟʏ ᴀᴠᴀɪʟᴀʙʟᴇ ɪɴ ʜᴀʀᴅ-ᴄᴏᴘʏ ᴠᴇʀsɪᴏɴ] "Kamar nomor 1310. Park Jimin, sasaran kepala, tanpa jejak apapun. 200 juta won." [] Bahkan sebelum memulai, Song Jean sudah lebih dulu terlibat dalam sebuah kebohongan tanpa akhir. ©str...