Prediksi cuaca yang di siarkan di televisi tidak pernah salah, hujannya memang turun pagi ini. Mendung yang menggelanyuti langit, angin yang berhembus cukup kencang, suara petir yang sesekali terdengar. Semua itu cukup membuat Taehyung memiliki alasan untuk menumpang di rumah Jean. Bukannya takut, Taehyung hanya mencoba bersikap realistis. Bagaimana kalau tiba-tiba petir menyambar kamar apartemennya, kemudian pemuda itu akan mati tiba-tiba dan tidak ada satu orang pun yang mengetahui?! Mengerikan, benar?
Dia benar-benar berpikir demikian satu jam lalu.
Berlari ke apartemen Jean yang hanya berjarak beberapa langkah saja dari tempat tinggalnya, pemuda itu mengetuk pintu seperti orang kesetanan, berharap gadis itu dengan sukarela membiarkan Taehyung merepotkannya sekali lagi. Minta di buatkan ramen, kemudian minta di temani menonton tv, gadis itu menahan suara supaya tidak mengumpat. Kalau begitu, sih, dia bukannya takut petir, tapi memang otaknya saja yang tertindih batu.
"Oh, ya, Jean." Taehyung mengubah posisi duduknya menjadi menghadap ke kiri—dimana Jean berada. "Bukankah waktu itu kau pernah menceritakan tentang seorang lelaki?"
Jean menoleh, mengangguk santai. "Kenapa?"
"Kau dekat dengannya?"
"Mhm, tidak juga. Kami hanya berbicara beberapa kali, bertemu karena kebetulan, apalagi ya?" Jean menimang lebih jelas, "Tidak ada. Hubungan kami hanya sebatas itu saja, kenapa?"
"Kupikir kau menyukainya. Jadi mungkin aku bisa membantumu."
"Membantu apaan. Kau malah akan merusaknya, Tae. Lagi pula tidak perlu, aku tidak terlalu tertarik padanya. Well, ya tentu, dia tampan, mungkin aku bisa bilang dia juga sukses, baik, cara bicaranya juga menyenangkan. Tapi sepertinya kami tidak cocok."
Mengabaikan tayangan acara di depan sana dan lebih memilih fokus pada Jean, Taehyung semakin di buat penasaran. "Kenapa tidak cocok?"
"Pekerjaan kami berbeda. Cara hidupku dan hidupnya juga berbeda, jadi, tidak."
Apa jadinya kalau pembunuh bayaran berpacaran dengan seorang karyawan di perusahaan peluru. Bisa-bisa seluruh isi Seoul mengamuk dan membakar mereka hidup-hidup.
Membulatkan bibirnya seolah paham, Taehyung kemudian melipat bibirnya ke dalam, takut.
"Bagaimana denganku?"
Jean terkekeh. Bagaimana bisa Kim Taehyung mengajukan pertanyaan aneh begitu. "Apalagi kau, Kim Taehyung. Hidupmu dan hidupku seperti minyak dan air. Sama sekali tak bisa bersatu." Jean meyakinkan, "Lagi pula, kau itu temanku, sahabatku, seseorang yang kuinginkan kehadirannya di susah ataupun senangku. Tidak perlu merubah status karena begini saja aku menyukainya."
"Padahal aku suka padamu."
Bukannya merasa jantungnya berdegup atau perasaan terkejut lainnya, Jean justru merasa asing dengan ucapan Taehyung. Dia masih sama seperti gadis normal lainnya, jelas. Tapi kalau urusannya dengan Taehyung, ceritanya sudah berbeda. Dia bahkan sama sekali tak berharap apa pun pada pertemanan mereka.
"Sekali pun bilang menyukaiku, aku tahu kau tidak sungguh-sungguh mengatakannya. Kalau sungguhan pun, pasti sedari awal banyak hal konyol yang sudah rela kau lakukan padaku. Tapi faktanya kau tak melakukan apa pun sebagai tanda bahwa kau menyukaiku."
"Kau membawa belasan wanita ke apartemenmu, kalau pun tidak kau bawa kesana, sisanya pasti kau bawa ke hotel atau penginapan murahan lainnya. Kau berkencan dengan banyak gadis, memasukkan banyak wanita ke dalam mobilmu secara bergilir, menjamu mereka dengan banyak uang. Bagaimana bisa kau mengatakan bahwa kau menyukaiku, Tae."
Kim Taehyung skakmat. Bibirnya yang semula terbuka kini terkatup kembali, seolah semua kalimat yang sudah bersedia meluncur, kini justru terbelit dan tercekat di kerongkongan. "Hei, kau tahu—"
KAMU SEDANG MEMBACA
Play Then Kill
Fanfiction[ᴄᴏᴍᴘʟᴇᴛᴇᴅ | sᴇᴀsᴏɴ 2 ᴏɴʟʏ ᴀᴠᴀɪʟᴀʙʟᴇ ɪɴ ʜᴀʀᴅ-ᴄᴏᴘʏ ᴠᴇʀsɪᴏɴ] "Kamar nomor 1310. Park Jimin, sasaran kepala, tanpa jejak apapun. 200 juta won." [] Bahkan sebelum memulai, Song Jean sudah lebih dulu terlibat dalam sebuah kebohongan tanpa akhir. ©str...