Chapter 14 A

2.6K 372 31
                                    

Angin musim gugur di tengah malam itu berhembus kencang. Membawa sensasi dingin, sejuk, dan menggigil dalam satu waktu. Kelopak matanya senantiasa terpusat pada lokasi target di bawah sana—sesekali pun irisnya mengedar ke seluruh penjuru jalanan yang gelap gulita. Sudah hampir setengah jam Shadow bermain-main dengan pelatuk senapannya sembari mengunyah permen karet. Targetnya belum juga muncul, bodoh sekali.

Malam ini taburan bintang di atas sana mungkin sedang berbaik hati sehingga kini mereka dengan cantik berkelap-kelip layak permata di atas purnama.

Atap hotel bintang tiga yang menjadi tempat Shadow berada sekarang mengirim perasaan takut sekaligus ragu. Biasanya ketika sedang bertugas, ada setidaknya dua sampai empat tong minyak yang di siapkan untuk Shadow di masing-masing sudut atap sebagai tempatnya bersembunyi atau paling tidak menyembunyikan jaket dan tas hitamnya. Tapi kali ini tidak ada satu pun, bahkan Shadow sanggup menelan ludah berkali-kali ketika pertama kali sampai, hanya ada satu buah meja persegi yang sudah rusak dan sebuah kardus jelek sebagai tempatnya berlindung. Dia bahkan tak bisa menghalau angin yang berhembus. Mantel tebalnya tak berguna sama sekali.

RJ juga belum memberi tanda-tanda bahwa dia akan menghubungi Shadow dalam waktu dekat. Kali ini tak ada perintah khusus sehingga mereka tak perlu repot-repot berkomunikasi atau paling tidak bertukar informasi mengenai tempat target.

Kembali mengehela napas, gadis itu memutuskan menjatuhkan bokongnya ke tanah. Meletakkan senapan di sisi kirinya kemudian membawa kedua tangannya ke belakang, sejajar dengan pinggulnya—menyangga beban tubuh sembari mendongak melihat hamparan awan gelap di atas sana. Bibirnya masih senantiasa mengunyah permen yang sudah tak memiliki rasa manis.

Rasanya bosan.

Kendati tak memiliki tugas atau kesibukan lain selain misi menuntaskan seorang penjahat dengan menjadi pembunuh bayaran, gadis tersebut merasa seperti ada setumpuk beban yang tak pernah berangsur surut. Semakin hari justru dia merasa semakin membawa banyak beban di kedua pundaknya. Barangkali ibu akan benar-benar memaki seandainya tahu Shadow mati-matian berlari, bersembunyi, menyamarkan data aslinya dari ribuan bodyguard para mafia serta komplotan penjahat yang memiliki kenalan para petinggi yang sampai saat ini masih mencari keberadaannya.

Bukannya mustahil. Kendati RJ memberinya banyak perlindungan, orang-orang berbadan besar sebagai dekingnya, itu semua tidak menutup kemungkinan kalau-kalau dia benar-benar tertangkap suatu saat.

Sampai beberapa menit kemudian samar-samar suara bisikin terdengar dari earphone yang sedari tadi terpasang di telinga kanannya, Shadow mengerjap, memastikan dia mendengar apa yang di bicarakan seseorang di sebrang sana.

"Mic test. One, two, three..."

Si gadis mencoba menekan tombol hitam di alat elektronik itu supaya dia bisa mendengar suara dengan lebih jernih.

"Test..." Ucap seseorang di sebrang sekali lagi.

"Aku mendengar," jawabnya ringan. Tapi dia tahu jelas, bahwa seseorang di sebrang bukanlah RJ.

"Target sudah berada di titik lokasi," perkataannya sontak membuat posisi Shadow berubah menjadi setengah jongkok, memindik lewat celah abstrak dari meja pelindungnya. "Kau bisa menembak dalam wakt—"

Shadow mengedipkan kelopak matanya sebanyak tiga kali. Seseorang di sebrang berhenti berbicara. Mengecek earphonenya berulang kali, Shadow dapat memastikan bahwa benda kecil itu masih cukup berfungsi.

"Hei kau disana?!" Shadow masih memantau posisi seorang wanita di bawah sana. "Bicara yang jelas!"

Kendati tak mendapat sahutan, Shadow masih dengan jelas mendengar suara dua orang, eh, tidak, tiga, bahkan lebih, di sebrang sedang berbisik panik. Dia juga mendengar suara RJ disana. Kenapa mereka berhenti memberi perintah? "Siapapun yang mendengar suaraku, jawab! Lanjutkan perintahnya, berengsek."

Play Then KillTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang