Hiruk-pikuk kota Seoul siang ini cukup membuat seorang gadis dengan pakaian kasualnya bersiul senang. Mendapat jatah libur setelah bertugas selama tiga hari penuh tanpa istirahat ternyata mampu menjadikan Song Jean gadis yang luar biasa tangguh. Jarang sekali mendapat waktu santai dan bisa pergi kemana pun tanpa bersembunyi atau menggunakan baju serba hitam. Kalau di pikir-pikir, Jean seperti teroris saja. Sungguh.
Langit cerah juga terik matahari yang begitu menyilaukan tak menjadi masalah untuknya. Gadis tersebut melepas earphone setelah samar-samar mendengar suara pemberitahuan bahwa bus akan berhenti dalam waktu 2 menit. Tujuannya hari ini adalah makan di kedai bibi Jeon dan kembali dengan perut yang terisi penuh. Kedengarannya saja menyenangkan.
Saat bus berhenti tepat di halte Gangnam-do, gadis itu dengan langkah cepat turun bersamaan dengan dua penumpang lain. Ia menepuk rok jeans-nya pelan sebelum kembali tegap dan mulai menyusuri jalanan yang cukup ramai. Membutuhkan waktu sekitar sepuluh menit untuk sampai di kedai ramen-gimbap heaven milik bibi Jeon.
Sejak menginjakkan kaki di Seoul, Jean kurang bersahabat dengan lingkungan sekitar sebab Mokpo (kota kelahirannya) dan Seoul jauh berbeda. Kalau Mokpo jauh lebih sepi dan sulit untuk pergi dengan bus. Jean harus berjalan sekiranya tiga sampai empat puluh menit untuk menemukan halte. Sudah dipastikan berbeda dengan Seoul yang selalu ramai dan begitu mudah mengakses apapun. Tetap saja, Jean lebih menyukai Mokpo. Tapi, semenjak menemukan kedai ramen itu, Jean jadi lumayan tenang karena setidaknya ia masih memiliki tempat teduh seperti tempatnya di Mokpo dulu.
“Hai, bibi!” Jean menyapa ramah sembari memeluk bibi Jeon.
Sang pemilik kedai kemudian melepas rengkuhan dan memukul lengan Jean pelan, “Aigo! Darimana saja kau, huh? Kupikir kau mati ditelan anjing.”
“Astaga bibi jahat sekali. Aku kan bekerja. Kalau tidak bekerja mana bisa makan dan mampir kesini.”
“Ah, benar juga." Bibi terkekeh, "Jadi, kau mau pesan apa?”
Jean berjalan menuju meja di dekat jendela sudut kedai, bibi Jeon kemudian mengekori gadis cantik itu, “Aku mau ramen pedas seperti biasa, dan 3 gimbap tuna ukuran besar!” soraknya semangat.
“Ya ampun kau ini makannya saja yang banyak tapi lihat, badanmu tetap seperti itu, kecil sekali.”
“Kecil-kecil begini aku juga berat, tahu.”
“Iya-iya. Kalau begitu, tunggu sebentar ya.”
Setelahnya Jean di tinggal. Gadis itu mulai mengecek notifikasi yang masuk ke dalam ponselnya. Tidak ada yang menarik, hampir membosankan (padahal kalau pun ada yang menarik Jean tetap akan bilang kalau itu membosankan). Namun tatkala ponselnya bergetar sebab ada panggilan masuk, gadis itu melebarkan mata dan menjawab segera.
“Jean Song, dimana kau?”
Gadis itu mempoutkan bibir, “Song Jean bodoh, jangan diubah-ubah. Di kedai bibi Jeon, kau sendiri dimana?”
Jean menoleh tiba-tiba, tersenyum ramah saat ada seorang pelayan yang mengantar minuman ke mejanya, ia menjauhkan ponsel tersebut sebentar.
“Bibi Jeon menyuruhku mengantar ice americano ini padamu,”
“Eoh, iya. Terimakasih.”
Setelah pelayan tersebut pergi, Jean kembali mendekatkan ponselnya.
“Hei kau dengar aku tidak, sih?” gerutu seorang disebrang. Jean yakin ekspresi orang itu pasti sangat lucu sekarang.
“Iya tadi ada pelayan mengantar minum. Jangan marah-marah terus, kau semakin jelek nanti, Kim.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Play Then Kill
Fanfiction[ᴄᴏᴍᴘʟᴇᴛᴇᴅ | sᴇᴀsᴏɴ 2 ᴏɴʟʏ ᴀᴠᴀɪʟᴀʙʟᴇ ɪɴ ʜᴀʀᴅ-ᴄᴏᴘʏ ᴠᴇʀsɪᴏɴ] "Kamar nomor 1310. Park Jimin, sasaran kepala, tanpa jejak apapun. 200 juta won." [] Bahkan sebelum memulai, Song Jean sudah lebih dulu terlibat dalam sebuah kebohongan tanpa akhir. ©str...