Notesnya di part ini aku mau kasih sedikit pemberitahuan aja deh, karena di beberapa Chapter kemarin, ada komen yang kupikir melenceng dari cerita.
Sejauh ini (Ch 1-14) orang-orang yang jadi target Shadow atas perintah RJ itu sama sekali gak ada sangkut pautnya sama masalah di inti cerita. Contoh: ah ini kakeknya jangan-jangan jahat. Eh ini yang nyuruh A bunuh B, ya? Enggak guys. Ya mereka cuma target yang harus di bunuh aja karena 'jahat'. Mafia yang nyamar jadi dokter kemarin pun, ya, cuma mafia aja, kkeut. Terus lagi, kakek Bam, itu cuma kakek tua biasa penjual sotteok-sotteok yang memang kebetulan nolongin Shadow. (aku lupa kasih penjelasan kalau kakek itu penjual sotteok-sotteok) Bukan orang jahat^ Jadi kalian bisa banget fokus di setiap karakter permanen cerita ini aja. Kalau ada cameo-cameo gitu, gak perlu terlalu serius. Oke?
Segini aja, sih, tapi intinya aku seneng kalian banyak berteori. Anw, cerita ini kan ada sequelnya. 1. Apostolì dan 2. Relta, jadi masih cukup panjang:))
Kalo gitu, masih bersedia untuk terus stay di cerita ini?
*****
Jam menunjukkan pukul sembilan lewat seperempat. Udara dingin yang berhembus dari AC kafe pastry tempat mereka singgah kini sesekali membuat gadis cantik dengan surai dark brown itu menggertakkan giginya—menggigil. Ketika mengalihkan tatapan ke arah kaca transparan kafe, si gadis menerbitkan seulas senyum tipis melihat bagaimana segerombolan bocah cilik tengah bermain dengan balon udara milik masing-masing sampai tak sadar senyumannya membuat seseorang di hadapannya luluh lantak. Beberapa pejalan kaki yang—barangkali—baru akan memulai aktivitas kerjanya berjalan dengan sedikit cepat. Mungkin mereka sudah telat pergi ke kantor. Atau kemungkinan lainnya mereka takut tertinggal bus yang tersedia di ujung jalan setiap setengah jam sekali. Semua orang disibukkan dengan urusannya masing-masing.
Menghabiskan lima belas menit di kafe tersebut, setidaknya Jean merasa jauh lebih tenang sebab Jimin tak menyerbunya dengan pertanyaan bodoh.
"Kalau boleh tahu, apa yang menyebabkan kakimu jadi pincang begitu?"
Park Jimin menggeser piring mini miliknya yang berisi sepotong cake rasa lemon kemudian membiarkan kedua tangannya berada di atas meja, menanti jawaban gadis cantik itu sembari terus menatap wajah manis di depan sana. Sejujurnya Jimin ingin memilih mencetuskan pertanyaan yang jauh lebih baik dan menyenangkan ketimbang bertanya sesuatu yang berhubungan dengan privasinya. Jimin tidak ingin menjadi lancang.
Tapi yang satu ini—pertanyaan yang telah dia lontarkan barusan, itu adalah pertanyaan yang sedari tadi berada di ujung lidahnya. Ketika berjalan beriringan sampai ke mobilnya, kemudian sampai di kafe ini, Jimin merasa resah melihat bagaimana gadis itu melangkah—tertatih namun begitu kentara menahan sakit—dengan menyeret kakinya sesekali.
Apa yang terjadi padanya?
Jimin ingin tahu.
Sangat.
Si gadis dengan tenang menatap Jimin. Mengatur napasnya santai, kemudian mulai menjawab. "Ketika pulang dari supermarket semalam, sebuah mobil melaju cepat kemudian menyerempet kakiku. Kupikir lukanya tidak akan parah, jadi aku mendiaminya semalaman. Tapi pagi tadi, aku justru merasakan kaki kananku kebas."
Pembohong yang baik. Wah, harusnya daripada menjadi pembunuh bayaran Jean lebih baik menjadi aktris saja, benar?
Kalau urusannya dengan Taehyung, kebohongan seperti ini hanya akan menjadi bahan tertawaannya saja. Memalukan.
Tapi pastinya, Jimin tak akan masalah dengan kebohongannya bukan?
"Harusnya kau lebih berhati-hati."
KAMU SEDANG MEMBACA
Play Then Kill
Fanfiction[ᴄᴏᴍᴘʟᴇᴛᴇᴅ | sᴇᴀsᴏɴ 2 ᴏɴʟʏ ᴀᴠᴀɪʟᴀʙʟᴇ ɪɴ ʜᴀʀᴅ-ᴄᴏᴘʏ ᴠᴇʀsɪᴏɴ] "Kamar nomor 1310. Park Jimin, sasaran kepala, tanpa jejak apapun. 200 juta won." [] Bahkan sebelum memulai, Song Jean sudah lebih dulu terlibat dalam sebuah kebohongan tanpa akhir. ©str...