15. Fainted

5.5K 1.4K 56
                                    

Sunoo menepati janjinya untuk membawa Jina ke pantai. Jadi sekarang keduanya berjalan beriringan, di atas pasir pantai yang halus. Berdiri di sampingnya seperti ini, membuat Jina menyadari jika tinggi badan mereka tidak jauh beda.

"Gimana ulangannya, Noo?" tanya Jina penasaran, lantaran Sunoo pasti bisa mengerjakannya dengan baik.

"Sulit." jawabnya yang membuat gadis itu terkejut. Lalu ia kembali berujar. "Sepertinya aku sedang stress, jadi tidak bisa konsentrasi. Kamu sendiri?"

"Jangan tanya aku. Gausah ditanya juga aku pasti bakal bilang susah." balasnya disertai cengiran.

Sunoo memacu cepat langkahnya ke bibir pantai. Melepas sepatu dan kaus kakinya, lalu membasahi kakinya dengan air pantai yang saling berkejaran. Dari jauh, Jina hanya tersenyum melihatnya. Dan akhirnya tergerak untuk menghampiri Sunoo, lalu melepas sepatu dan kaus kakinya juga.

"Kamu kenapa ikut juga? Ini dingin, nanti kamu masuk angin."

Jina mendelik ke arah Sunoo. "Biarin. Kamu juga ikut nyebur tuh."

Sunoo menggelengkan kepalanya, agaknya dia malas meladeni temannya yang sedikit keras kepala ini.

"Sunoo, mau nunggu sunset gak? Sebentar lagi kok."

Sunoo mendongakkan kepala, wajahnya menghadap langit yang tampak membiru yang mulai memunculkan sedikit merah.

"Baiklah, ayo kita tunggu." ujarnya dengan seulas senyum teduh.

Senyuman lelaki itu memang menular. Jadi tanpa Jina sadari, dia juga ikut tersenyum. Suara aliran air laut, benar-benar membuatnya tenang. Ditambah dengan semilir angin yang terasa, dan langit yang menurutnya sangat tenang untuk dipandang.

Jina memutuskan untuk duduk tak jauh dari tempat Sunoo masih berdiri— tampak melukis sesuatu di atas pasir. Diperhatikanlah kaki kirinya yang terlihat berbeda dari kaki manusia yang asli.

Ada banyak hal yang disesali mengapa Sunoo begitu menyedihkan. Namun tampaknya Jina tak perlu memikirkan rasa bersalahnya lagi, karena Sunoo yang biasa dia lihat tampak acuh dan dingin, kini menjadi Sunoo yang mulai menunjukkan siapa dirinya sebenarnya. Sunoo tidak ragu untuk selalu tersenyum, tertawa lepas, kendati Jina perhatikan gurat lelah masih terlukis jelas di wajah lelaki itu.

Tujuan Jina saat ini adalah memastikan Sunoo benar-benar bahagia, menyingkap sekian tumpukan bebannya, dan selalu ada di sisinya untuk mengusir rasa kesepian yang selalu singgah padanya.

Hanya itu yang bisa dilakukannya, karena Sunoo hanya punya dirinya sebagai teman untuk tempatnya bersandar.

"Jina!! Kemarilah!"

Begitu sang pemilik nama diserukan, Jina bangkit dari duduknya. Menghampiri Sunoo yang tampak tersenyum cerah memandangnya.

"Kenapa?"

Alih-alih menjawab, ukiran senyum Sunoo justru semakin lebar. Kedua tangannya yang terselip di belakang, cukup membuat Jina mendapat rasa curiga.

"Apa sih, Noo? Senyum kamu serem banget, kayak psikopat— AAAAA!!!"

Sepersekian detik sebelum Jina tuntaskan kalimat, Sunoo terlebih dahulu membuatnya menjerit dengan menunjukkannya seekor bunglon yang berada di genggaman tangan Sunoo.

Jina berlari kencang terbirit-birit, dan Sunoo tertawa terbahak-bahak lantaran masih terbayang reaksi gadis itu.

Namun ketika langkah kaki semakin membuatnya menjauh hingga nyaris hilang dari pandangan, tawa Sunoo seketika pudar dan lenyap. Ia melepas bunglon yang ditangkapnya, lalu berteriak memanggil Jina yang kian menjauh.

"JINA, BERHENTILAH!! AKU HANYA BERCANDA! JINAAA!! AKU SUDAH MEMBUANGNYA!"

Sunoo tidak tahu jika bahan candaannya ini membuat Jina takut setengah mati hingga lari tanpa menghiraukan teriakan Sunoo. Lelaki itu bergerak cepat mengayun tungkai, berlari mengejar Jina sambil terus menyerukan panggilan.

"JINA BERHENTI!! JINA—"

Dan teriakan yang lolos dari pita suara lelaki itu tiba-tiba terputus, digantikan ringisan yang membuat langkahnya berhenti di tempat.

Sunoo memegang kepalanya yang berdenyut nyeri, penglihatannya berkabur serta memburam. Sampai akhirnya cairan darah itu ke luar lagi dari hidungnya, mengalir hingga dagu dan menetes tertimbun pasir pantai. Dilihatnya eksistensi Jina yang telah menghilang entah ke mana, sementara sunset yang dinanti telah memunculkan diri.

Bruk!

Dan sore itu Sunoo berakhir terkulai tak berdaya. Hanya gemerisik air dan ranting pohon yang beradu dengan angin sebagai suara terakhir yang tertangkap telinganya.

『√』1. Dear Noo [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang