09. Don't worry

6.2K 1.5K 47
                                    

Aku duduk termenung di kursi payung depan minimarket. Usai memakan satu cup ramen dengan nasi, bukannya pulang— aku justru berdiam di tempat hingga langit hampir gelap.

Bukan apa-apa, hanya saja aku terlalu malas untuk pulang sedangkan kak Kei belum pulang. Aku tidak suka sendirian di rumah.

Memandangi langit dengan warna gradasi, aku tak sengaja melihat sosok yang sedang duduk di sebuah bangku yang terletak di seberang jalan. Aku memicingkan mata, seperti tidak asing dengan bentuk tubuh sosok lelaki itu. Dia bahkan masih pakai seragam sekolah yang sama denganku. Di sampingnya ada sepeda keranjang berwarna biru.

Apa itu Sunoo?

Tapi sepeda Sunoo tidak memiliki keranjang dan tidak berwarna biru, melainkan hitam. Daripada penasaran seperti ini, lebih baik aku cari tahu sendiri.

Aku beranjak dari tempat duduk, membuang cup ramen dan cup nasi yang sudah kosong, lalu melangkah menyebrangi jalan untuk menghampirinya.

Semakin dekat.. dan lelaki itu mendongak. Terlihatlah wajahnya yang ternyata itu adalah Sunoo. Dengan semangat, aku berlari kecil ke arahnya dan menepuk pundaknya.

"Hai Sunoo!"

Sunoo tersentak kaget, lalu memandangku bingung. Sedetik kemudian ia tersenyum dengan pipinya yang menggembung lucu karena sedang mengunyah. Sunoo ternyata juga sedang menulis sesuatu. Mengapit bukunya dengan pahanya.

Aku duduk di sampingnya, memiringkan kepalaku sedikit. "Kamu makan apa?"

Sunoo tidak menjawab, dia hanya menunjukkan potongan gimbap yang sedang dimakannya. "Kamu mau? Ambil saja."

"Nggak, aku udah kenyang."

Sunoo tersenyum kecil, lalu mengeluarkan earphone dan iPodnya. Ia memakai satu kepala earphonenya di telinganya, dan satu lagi ia memakaikannya padaku.

Setelah itu alunan musik mulai terdengar. Musik lembut yang menenangkan hati mengalun masuk ke telingaku. Ternyata aku dan Sunoo memiliki selera musik yang sama.

"Kamu menyukai lagunya?" Sunoo bertanya padaku.

"Iya, aku lebih suka musik healing kayak gini." jawabku. Lalu ku lontarkan pertanyaan. "Kamu dari mana, Noo? Itu bukan sepeda kamu kan?"

"Aku habis mengantar bunga. Omong-omong, kamu teliti sekali sampai tahu kalau itu bukan sepedaku." Sunoo tersenyum jahil, terlihat sangat menyebalkan.

"Dih, apa-apaan." sahutku, memutar bola mataku.

"Kamu sendiri, kenapa masih di luar? Padahal sebentar lagi malam. Apa kakakmu tidak mencarimu?"

"Dia belum pulang, aku gak suka sendirian di rumah." jawabku, lantas melirik ke arah buku yang sedang dikerjakan Sunoo. Ia tampak sedang merangkumnya, namun seketika keningku berkerut.

"Perasaan gak ada materi itu deh. Apa itu materi les kamu?"

Sunoo menggeleng, "Ini punya Jay."

Mendadak aku langsung merasa emosi lagi. "Kamu ngerjain tugas dia lagi?"

"Selalu. Memang kenapa? Kamu mau membantuku? Silahkan saja, hehe."

Tanganku terkepal. Memang sudah lama Sunoo seperti ini, tapi sekarang aku semakin tidak suka melihatnya. Sunoo rela menjadi budaknya demi mendapatkan uang darinya.

"Sunoo, kamu kalo mau cari uang bisa cara lain kan? Jangan kayak gini, aku sakit hati liatnya. Coba liat jari-jari tangan kamu, sampe kapalan gitu."

Sunoo justru menanggapiku dengan tawa tanpa suara. Ia lantas mengeluarkan hansaplast dari dalam tasnya, lalu memakaikannya di jari tangannya yang kapalan dan membiru. Aku yakin, jika itu ditekan pasti rasanya sakit dan nyeri bukan main.

"Aku baik-baik saja, Jina. Tidak perlu khawatir."


[×]


Sunoo berjalan ke arah jalan pulang seraya menggenggam sekotak gyukatsu untuk ibunya. Dia yakin ibunya pasti belum makan, dan Sunoo tidak bisa terus melihat ibunya hanya makan dengan nasi campur atau dikenal sebutan bibimbap itu. Sesekali Sunoo ingin menyenangkan hati sang ibu.

Ditemani langit gelap dan earphone yang mengalunkan musik, jiwa Sunoo cukup merasa tenang walau dibayang-bayangi tugas pemberian Jay yang mau tidak mau harus diselesaikan malam ini. Buku setebal itu dirangkum dengan tulis tangan, bukan ketikan. Jelas saja jari tangan Sunoo rasanya hampir mati rasa.

Sampai akhirnya atensi Sunoo teralihkan pada seorang anak kecil sekitar umur 6 tahun yang tengah mengorek-ngorek tong sampah. Tanpa berpikir panjang, Sunoo lantas menghampiri anak itu. Memerhatikan pakaiannya yang nampak lusuh.

Sunoo berjongkok, menyamai tinggi badannya dengan anak itu. "Halo anak manis, apa yang kamu lakukan? Jangan sentuh itu, tanganmu bisa kotor."

Sunoo menarik lengan anak itu, lalu mengeluarkan air minumnya— membasuh tangan anak itu dan mengelapnya dengan sapu tangan pemberian Jina. Sunoo tertegun sedikit, seharusnya dia sudah mengembalikan sapu tangan itu namun sampai sekarang masih ada padanya.

"Kamu lapar? Di mana ibumu?" tanya Sunoo dengan senyumnya.

Anak itu hanya menggeleng, lalu melakukan gerakan tangan yang Sunoo sendiri tidak tahu apa maksudnya. Mulut anak itu juga seperti bicara, tapi tidak ada suara apapun yang ke luar. Saat itulah Sunoo menyadari jika anak dihadapannya ini mengalami kebisuan.

"Begini.." Sunoo mengulum bibirnya. "Aku tidak mengerti apa yang kamu katakan. Tapi maaf, apa kamu bisa mendengarku?"

Anak itu mengangguk.

Sunoo langsung menghela lega, dan tersenyum lebar. "Siapa namamu?"

Anak itu menggerakkan tangan dan jari-jarinya lagi. Sunoo pun dengan teliti membaca gerakan-gerakan itu, dan berucap terbata. "Cho.. Kang Woo?"

Ucapannya itu melahirkan anggukan lagi dari anak bernama Kangwoo itu. Sunoo tertawa kecil, mengusap telapak tangan Kangwoo yang terasa dingin.

"Baiklah, Kangwoo. Jangan mencari makanan di tempat sampah. Itu sudah kotor, kamu bisa sakit. Lihatlah, bahkan cuaca dingin begini kamu berada di luar." Sunoo melepas syal yang melilit lehernya, lalu memakaikannya di leher Kangwoo.

Setelah itu, Sunoo melirik sekotak gyukatsu untuk ibunya. Mendadak ia berubah pikiran. Sunoo pikir anak ini jelas lebih membutuhkan makanannya. Usai merenung sejenak, Sunoo memutuskan untuk memberikannya pada Kangwoo.

"Ini untukmu. Kalau kamu punya saudara atau apapun itu, berbagilah makanan ini dengannya. Mengerti?" Sunoo bangkit dari posisi jongkoknya, mengusak rambut Kangwoo.

Dan sebelum ia melangkah pergi, Kangwoo terlebih dahulu lakukan gerakan tangan lagi.

Apa kakak sudah makan?

Sunoo mengangguk. "Tentu saja."

Siapa nama kakak?

"Kim Sunoo."

Kangwoo tersenyum, lalu membungkuk ke arah Sunoo sebagai ucapan terima kasih. Setelah itu ia melambai ke arah Sunoo, dan pergi berlari kecil dengan membawa makanan pemberian Sunoo disertai manik berbinar bahagia.

Sunoo menarik sudut bibirnya lagi, memandangi kepergian anak kecil itu. Malam ini dia belum bisa membelikan makanan untuk ibunya, mungkin besok Sunoo akan melakukannya.

Selepas melihat anak tadi, Sunoo jauh lebih bersyukur sekarang. Kehidupannya saat ini tak seberat orang lain yang lebih menderita dibanding dirinya. Sunoo masih bisa bekerja dan membeli makan walau seadanya, tapi tidak dengan anak itu.

Terkadang Sunoo bingung dengan congkaknya dunia. Kenapa tega sekali membuat penghuninya sengsara, sedangkan orang-orang yang menggenggam kekuasaan dijunjung tinggi. Tak jarang menindas semua orang yang berada di bawahnya.

Sunoo tertawa miris, menggumam lirih. "Aku semakin sadar kalau hidup bahagia di dunia, tidak jauh beda dengan mereka yang nelangsa. Karena semuanya hanya bersifat sementara."





《...》

Lambat.. sangat lambat.

『√』1. Dear Noo [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang