22. I'm okay

5.6K 1.3K 138
                                    

Kami saling berjalan beriringan menuju kelas, mengabaikan berbagai pandangan risih. Aku asik mendengarkan alunan lagu dari iPod milik Sunoo dan sepasang earphonenya. Sampai akhirnya kami sampai di kelas.

Aku menghampiri mejaku yang tampak dikerubungi teman-teman sekelasku, namun seketika terdiam mematung.

"Please, berhenti! Jangan coret-coret lagi, itu permanen!! Lo mau gue laporin?!"

Di sana, Sejeong sedang berusaha menahan gerombolan Jay yang tengah menyoret-nyoret mejaku.

"Kena— astaga." Sunoo melotot, lalu memandangku khawatir.

'Choi Jina dan Kim Sunoo, enyahlah.'

'Kelas ini tidak nyaman karena kehadiran kalian berdua'

'Jina-ya, kau tidak malu berteman dengan si cacat satu kaki?'

Kurasakan tangan Sunoo merangkulku, penuh afeksi yang begitu amikal menenangkanku. "Nanti akan aku bersihkan. Sekarang, kita ke rooftop saja."

Terdengar cekikikan dari beberapa siswa yang melihat kami. Namun karena ada Sunoo di sampingku, aku tidak begitu khawatir meskipun rasanya menyakitkan dibenci mereka dengan alasan macam ini.

Sunoo menggait tanganku, membawaku pergi menyingkir dari berbagai pandangan ini. Dia paham, bahwa aku sungguh tidak biasa dengan situasi seperti ini.

Aku hanya menunduk dalam diam, enggan sekedar mendongak maupun melirik sekitar. Aku terus menatap langkah kakiku, menaiki beberapa anak tangga, sampai akhirnya Sunoo menutup pintu rooftop dan merendahkan tubuhnya, menyamai tinggi badanku.

Dia menyingkap helaian rambutku yang menutupi wajah sayuku, karena aku terus menunduk. Meski kini aku tidak berada di keramaian lagi.

"Jina-ya, tenanglah. Tidak ada siapa-siapa di sini."

Aku sama sekali tidak merespon apapun. Hanya terus menunduk diam, hingga kurasakan sepasang tangan Sunoo menggenggam dan mengusap hangat tanganku.

"Maaf, aku membuat kamu terjebak dalam kondisi seperti itu. Aku berjanji akan selalu melindungi kamu. Maaf Jina, aku tidak bermaksud membuatmu merasakan apa yang aku rasakan selama ini. Aku tau kamu tidak terbiasa dengan ini, maaf."

Sunoo berujar penuh rasa bersalah. Membawaku ke dalam pelukannya lagi untuk kedua kali setelah di jembatan saat itu, lalu tangannya mengelus surai rambutku, hingga tangisku pecah.

Sesakit ini rasanya dibenci semua orang, meski aku tau beberapa akan tetap ada yang bersamaku. Kepedihan mereka yang menjadi korban bully, justru kini aku alami sendiri. Peringatan Sejeong kemarin benar-benar terjadi sekarang.

Pertama kalinya aku merasa seperti ini. Entah bagaimana hari-hariku ke depannya, mungkin akan semakin rusak dan semakin parah.

Aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasa sakit Sunoo selama ini. Hidup berdampingan dengan luka setiap harinya, setiap saatnya. Seakan bahagia enggan sekali bersamanya.

Bagaimana dia menjalani hari-harinya yang berat, duduk termenung di kelas disertai hinaan dan cacian yang menggores hatinya. Namun tetap bersyukur atas semua itu, tanpa adanya rasa dendam.

Bagaimana dia bekerja sampai larut malam, mengorbankan jam tidur dan masa mudanya. Dan Sunoo terus bersabar, walau satu pundak tempatnya bersandar, kini pergi meninggalkannya sendirian.

Semua itu, membuatku semakin merasa sakit.

Apa yang ku alami saat ini, sama sekali tidak sebanding dengan segala penderitaan lelaki ini.

"Aku minta maaf."

Aku menggeleng dalam rengkuhannya. Sunoo tidak bersalah, dan ini sama sekali bukan kesalahannya.

"Bukan salah kamu," sergahku dengan suara parau. "Tapi emang aku yang belum terbiasa. Gapapa kok, aku gak peduli mereka mau ngomong apa."

Aku menggisal kedua mataku yang masih berair, kemudian mengulas senyum. "Aku gapapa."

Namun reaksi Sunoo tidak seperti biasanya. Alih-alih ikut tersenyum, dia justru menatapku nanar.

"Kamu yang bilang padaku untuk berhenti berkata baik-baik saja. Tapi kenapa kamu sendiri melakukannya?"

Sunoo merangkulku, kemudian kami duduk di pinggir. Tak peduli jika angin akan membuat kami terhempas jatuh ke bawah.

Aku melirik Sunoo yang mengeluarkan sebuah kamera dari dalam tas sekolahnya.

Kamera polaroid.

Aku tertawa kecil melihatnya yang bingung sendiri mengutak-atik benda itu dengan wajah kesal. Dia terlihat sangat lucu.

"Jina-ya, ayo kita foto bersama. Mungkin perasaanmu akan membaik meskipun hanya sedikit. Karena aku tidak tau bagaimana caranya menghibur orang lain ketika sedih." ujarnya, dengan pandangan masih ke kamera polaroidnya.

"Terus kalo kamu sedih, kamu gimana?" tanyaku.

Sunoo membalas dengan tawa kecil, nyaris tak terdengar. "Aku bahkan tidak tau bagaimana caranya menghibur diri sendiri."

Aku tertegun sejenak, mengulas senyuman getir mendengar penuturan itu. Bisa-bisanya dia bicara seperti itu dengan ekspresi biasa saja.

Sunoo mendekat, mengikis jarak di antara kami, lalu mengarahkan kameranya ke depan. Dengan semangat, satu tangannya membentuk angka dua, begitu juga denganku.

Cklik

Begitu cahaya blitz selesai muncul, hasil jepretan kami perlanan mencuat keluar, namun masih gelap. Sunoo mengambil polaroid itu, lalu mengibas-ngibaskannya.

"Waah!! Hasilnya sudah muncul! Jina, lihat ini." Sunoo berseru riang sambil menunjukkan polaroid kami padaku.

Kedua mataku berbinar senang, menatap hasil foto kami untuk yang pertama kalinya. Dengan segera, aku mengajak Sunoo untuk kembali foto bersama.

Kami tertawa lepas, melihat berbagai hasil foto dengan gaya abstrak. Apapun objek yang menarik, baik aku maupun Sunoo, pasti segera memotretnya. Mulai dari memotret ayam, hingga sosok Jake yang kepergok mengupil di bawah sana. Membuatku terbahak, sampai lupa masalahku hari ini.

"Sebelas.. dua belas." Sunoo menghitung hasil polaroidnya. "Jina, ini banyak sekali."

"Gapapa, buat kenangan."

Sunoo menyimpan polaroid itu di sebuah buku berwarna hitam, lalu menyelipkan foto-foto itu di sana dengan senyuman mengembang. Ternyata dia juga memiliki album untuk hasil jepretannya.

"Kamu beli di mana?" tanyaku.

Lontaran pertanyaanku membuat Sunoo menoleh. "Ini kado ulang tahun terakhir dari eomma. Sebelum dia benar-benar membenciku."

Aku sontak terdiam, memerhatikan raut wajah bahagianya yang terpancar. Hendak bertanya lebih jauh, tapi aku takut akan semakin membuat lukanya yang tidak kuketahui terbuka lagi.

Jadi aku memilih memandang langit yang kelewat cerah namun tidak terasa panas. Memikirkan kapan ayah bundaku akan pulang ke rumah.

Mendadak aku jadi rindu mereka.

Setiap harinya. Namun kini rasanya semua rinduku berkumpul menjadi satu.

"Sun—" ucapanku spontan berhenti ketika menangkap Sunoo tengah meringis sambil memegangi kepalanya.

Aku mendekat ke arahnya. "Sunoo! Kamu gapapa? Kita ke UKS aja ya!!" aku berseru dengan panik. Membereskan tas kami dan barang-barang yang berserakan, namun Sunoo mencekal lenganku.

Dia menggeleng, lalu tersenyum ke arahku. "Aku baik-baik saja."

Kali ini aku menggeleng kukuh. "Jangan bohong! Kamu sakit, Sunoo."

"Jina-ya, serius aku sudah tidak apa-apa." Sunoo menunjukkan raut kesungguhannya, tak lupa senyum cerah yang tampak dipaksakan. "Ini sudah tidak sakit, percayalah."

『√』1. Dear Noo [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang