BUAKK!!
Selepas pukulan terakhir, Jay membuka tasnya. Mengeluarkan sebuah amplop, lalu melemparnya ke arah Sunoo.
"Tuh bayarannya." setelah itu Jay pergi bersama teman-temannya, meninggalkan Sunoo yang terduduk sendirian menahan nyeri di wajah dan perutnya yang menjadi samsak lelaki itu.
Sunoo bangkit, membenarkan almamater dan dasinya yang berantakan. Wajahnya yang dipenuhi lebam nampak kusut dan tertekuk. Menggendong tas di pundak, Sunoo melangkah tertatih sembari menggenggam amplop berisi uang pemberian Jay.
Ya, Sunoo ibarat bekerja untuk Jay. Cukup kerjakan tugas atau apapun itu, maka Jay akan memberinya uang sebagai bayaran. Sejujurnya, Sunoo akui dia begitu hina. Demi uang, dia rela melakukan apapun yang diperintah Jay. Menerima pukulan dan tendangan, hinaan, dan berbagai bullyan yang Sunoo sendiri bingung bagaimana harus menjelaskan apa yang ia rasakan.
Semesta terlalu membawanya jauh ke bawah. Tanpa memberinya sedikit perasaan bagaimana damainya kehidupan.
~~~~
Sunoo memarkirkan sepedanya di halaman rumah. Mencuci tangannya, lalu masuk ke dalam rumah sembari melepas sepatunya.
Sunyi. Sepi.
Bukan hal yang aneh lagi jika setiap ia pulang, tidak ada seorang pun yang menyambutnya. Bukan berarti dia tinggal sendirian, tetapi ada seseorang yang membikinnya harus bertahan di tengah sulitnya keadaan.
Sunoo mengintip ke dalam kamar ibunya, terlihat sosoknya itu sedang tertidur. Guratan lelah dan banyak pikiran, tergambar jelas di wajahnya. Sunoo yakin, ibunya itu pasti tengah memikirkan bagaimana cara melunasi semua hutang-hutangnya.
Selepas berpisah dengan sang ayah, Sunoo tinggal berdua bersama ibunya. Keadaan keduanya semakin kacau. Sunoo pun memilih bekerja paruh waktu di berbagai tempat, guna mempertahankan kehidupannya yang diujung tanduk kehancuran. Sebagai anak, dirinya setidaknya harus melakukan sesuatu. Dia tidak bisa membiarkan ibunya bekerja seorang diri untuk menghasilkan uang, yang mencuci dan menggosok baju tetangga demi mendapat lembaran upah meski hanya sekedar digunakan untuk membeli makan.
Jujur saja, Sunoo kelewat benci hidupnya yang menyedihkan. Di awal waktu, Sunoo memang selalu merutuk. Iri atas kebahagiaan orang lain. Iri lantaran dia tidak bisa melakukan apa yang ia inginkan. Tapi seiring waktu berlalu, Sunoo mencoba mengikhlaskan apa yang ditakdirkan untuknya. Dia belajar mensyukuri apapun yang kini ia miliki. Meski rumah kecil dengan tunggakan bayaran, Sunoo tetap bersyukur ada seorang ibu yang masih menemaninya walau jiwa keduanya terasa sangat jauh.
Sunoo berdiri di depan cermin, mengoleskan salep ke luka lebam di wajahnya. Dan entah kenapa setiap dia bercermin, Sunoo merasa dirinya semakin terlihat miris. Dia selalu menghadap cermin hanya untuk mengobati lukanya, bukan bercermin untuk penampilannya.
Oh ayolah, sekedar melihat penampilan pun Sunoo tidak bisa melakukannya. Dia terlalu buruk di matanya sendiri.
Sunoo terduduk di depan meja belajarnya yang menghadap ke arah jendela. Membuka buku-buku pelajarannya, lalu mulai membaca sekaligus mencatatnya. Sunoo memiliki prinsip, bahwa jika kehidupannya kini menyedihkan, maka dia harus merubahnya agar kelak di masa depan— dia bisa membahagiakan ibunya. Dia bisa membeli rumah yang lebih layak ditinggali, tanpa harus dibayang-bayangi tagihan yang menunggak.
Sunoo berjanji, untuk membahagiakan dirinya sendiri. Namun dia tahu, semua itu butuh waktu. Oleh sebab itulah, Sunoo gila belajar. Dia tidak pernah melewatkan satu jam pun, tanpa membaca buku. Apapun itu.
Zrrrsshh
Sayup-sayup suara hembusan air dari langit terdengar di telinganya yang tersumbat earphone. Sunoo sangat peka dengan hujan, walaupun ia memakai earphone dengan musik yang keras.
Sunoo mendongak, memandangi bulir-bulir air yang mengalir dari balik jendelanya. Sejenak ia teringat malam kemarin di mana dirinya dicegat Jina agar tidak bunuh diri. Melirik ke pojok meja, Sunoo mengulurkan tangan, meraih sebuah gantungan kunci bermotif matahari dari pemberian Jina malam kemarin usai mereka selesai keliling alun-alun kota.
"Seharusnya, saat ini mungkin masih acara pemakamanku. Saat ini ibu pasti sedang menangis. Saat ini rumahku pasti ramai dikunjungi para pelayat." Sunoo menggumam, namun sedetik kemudian ia menyangkal ucapannya sendiri disertai lolosan tawa getir.
"Ah astaga, siapa juga yang mau melayat bocah menyedihkan sepertiku? Tidak ada yang mengenalku, dan tidak pula ada yang peduli padaku..." Sunoo melirik bingkai yang terpajang di dinding. "Kecuali ibu."
Malam itu, Sunoo kembali belajar hingga larut malam. Mengabaikan jam tidurnya yang lagi-lagi berantakan.
![](https://img.wattpad.com/cover/236550455-288-k534819.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
『√』1. Dear Noo [REVISI]
FanfictionTentang derita yang tak kunjung reda, dan akhir yang tak terduga