21. Disease

5.4K 1.3K 267
                                    

"Hasil lab nya akan dikirim sekitar 3 atau 5 hari ke depan. Sehat-sehat terus ya."

Sunoo mengangguk, tersenyum ke arah dokter bername tag Yang Jungmin itu. Melangkah ke luar, Sunoo memperhatikan hiruk pikuk rumah sakit dan bau obat yang entah mengapa membuatnya berharap agar dia tidak menjadi salah satu pasien di sini.

Tidak tau dorongan dari mana, Sunoo memutuskan untuk memeriksakan keluhannya ke dokter. Satu sampai 5 kali, ia bisa memaklumi karena mungkin imunitas tubuhnya menurun. Namun alih-alih demikian, Sunoo mengalami sakit kepala yang sama dengan tingkat nyeri yang berbeda. Mulai dari mimisan yang sering, pusing berkepanjangan, hingga terkadang muntah walau perutnya belum diisi apapun. Sunoo juga merasa fokusnya sering pecah, lupa pada hal-hal sepele, dan pandangannya sering kali berkabur. Lama kelamaan, ia risih. Keadaannya itu membikinnya sulit beraktivitas.

Seringkali Sunoo beranggapan, dia terjangkit penyakit mematikan. Sebenarnya enggan pula dia menginjakkan kaki di gedung ini, karena tanpa diberi tahu pun Sunoo dapat menebak hasil dari pemeriksaannya. Tetapi hati kecilnya masih berharap, dia bisa selamat.

Sunoo takut. Dia takut hidupnya tinggal menghitung bulan atau tahun. Takut kematian akan datang sebelum dia berhasil melakukan banyak hal.

"Loh, kak Sunoo ngapain di sini?"

Sunoo menoleh cepat, menelisik sosok lelaki yang datang memakai masker hitam dan hoodie hitam juga. Melihat itu, lelaki itu segera menurunkan maskernya sekaligus mengulas senyum.

"Ini Jungwon." ujarnya, mengambil duduk terlebih dahulu lalu diikuti oleh Sunoo. "Kakak sakit? Keliatan lesu banget."

Sunoo tertawa kecil, bersandar letih ke dinding. "Aku tidak akan sakit. Tapi sepertinya takdir membuatku begitu."

Jungwon tertegun, lalu melirik sesuatu yang digenggamnya. "Aku dikasih teh anget tadi sama dokternya, buat kakak aja ya." Jungwon menyodorkan plastik berisi minuman yang dibilangnya tadi, meletakkannya di tangan Sunoo yang pucat dan dingin.

"Terima kasih, Jungwon-ah." Sunoo membungkuk sedikit seraya tersenyum. "Ngomong-omong, kamu sedang apa di sini?"

Jungwon mengulum bibirnya, memandang ke arah lain dengan pandangan bergetar. "A-aku berobat."

"Kalau boleh tahu, kau sakit apa?"

"Jantung."

Kedua alis Sunoo tertaut tak paham, namun sedetik kemudian ia merangkul Jungwon. "Jungwon-ah, rasanya pasti berat kan? Rasa sakit itu, seakan hanya dirimu sendiri yang menanggungnya."

Lelaki dengan bentuk mata indah itu hanya bisa menundukkan kepalanya, mengepalkan kedua tangannya. "Aku malu kak. Kenapa aku harus penyakitan kayak gini?"

"Hei, berhenti berpikir seperti itu." Sunoo mengusap pundak Jungwon. "Aku tahu bagaimana rasanya, karena aku juga merasakannya. Jungwon-ah, itu sama sekali bukanlah hal yang memalukan. Kau cukup hebat karena berhasil mengatasi semuanya sendirian, tersenyum cerah ke orang lain seakan dirimu baik-baik saja. Kamu sekarang punya diriku, dan kamu bisa membagi bebanmu padaku. Bukankah kamu sendiri yang bilang untuk jangan sungkan meminta bantuan? Kita ini tetangga. Oh bukan," Sunoo menjeda sejenak. "Tapi kita ini saudara, dengan nasib yang sama."

Jungwon mendongak lesu. "Kakak juga sama kayak aku? Kakak sakit apa?"

Sunoo mengendikkan bahunya, namun senyum getir yang terpancar sudah menjawab semuanya dan Jungwon mengerti itu bahwa penyakit Sunoo kemungkinannya lebih parah darinya.

"Doakan agar aku baik-baik saja." pinta Sunoo yang disahut anggukan antusias oleh Jungwon.

Sunoo bangkit dari duduknya. "Aku duluan ya, terima kasih tehnya."

"Ehh tungguin!!" Jungwon berseru, bergegas menghampiri Sunoo disertai cengiran. Ia menarik maskernya kembali menutup mulut dan hidung. "Aku juga mau pulang. Bareng aja kak."

Sunoo menghentikan langkahnya, memandang Jungwon aneh. "Kau terlihat seperti penyusup. Kenapa berpenampilan tertutup seperti itu?"

"Biar gak ada temanku yang tau kalo aku selalu ke sini. Mereka pasti bakal menjauh setelah tau kalo selama ini mereka berteman sama orang penyakitan."

Sunoo terhenyak dengan jawaban itu, lalu memilih diam. Mereka berdua membicarakan banyak hal sepanjang perjalanan, ditemani langit malam tanpa bintang, hanya berbekal cahaya rembulan redup tertutup awan.

~~~~


Brak!

Jay membuka pintu rumah dengan keras, berjalan tertatih seraya meremas erat perut bagian kirinya yang perih dan sakit bukan main.

Sesekali ia limbung dan jatuh, namun tetap bangkit dan melangkah lagi ke kamarnya. Rintihannya tak bisa ditahan lagi, disertai tubuhnya yang gemetar.

"Ma!!" Jay berteriak, tak sanggup melanjutkan langkah dan berakhir telungkup duduk di lantai. "Mama!!!"

Tidak ada tanda-tanda sahutan dari panggilannya. Jay menggigit bibir bawahnya, sambil berharap pembantunya atau siapapun menemukannya sekarang. Agak sulit sebenarnya mengingat rumahnya yang luas, dan pembantunya hanya ada dua orang. Satu orang sedang izin, dan satu orang lagi entah ada di mana.

Jay berusaha bangkit, merangkak ke kamarnya dan cepat-cepat membuka laci. Tangannya yang bergetar hebat itu menumpahkan beberapa pil obat hingga berhamburan ke lantai, namun beberapa berhasil mendarat di tangannya.

Cepat-cepat Jay menelannya tanpa menggunakan air, dan berhasil tertelan walau tenggorokannya dibuat sakit.

Selang beberapa menit, sakit di perutnya hilang. Jay bisa kembali bernafas lega, menyandarkan tubuhnya di tepian ranjang. Sampai akhirnya sang mama datang dengan panik.

"Jay kamu gapapa?! Masih sakit lagi?!"

"Gapapa." Jay menjawab serak, dan teringat satu hal yang membuatnya terus berharap hingga sekarang. "Gimana ma?"

Mendengar itu, Yuri terkesiap. Memandang redup ke arah putranya. "Kita belum dapet pendonor ginjalnya, Jay. Mama gak tau sampe kapan, tapi kamu bisa tahan kan?"

《...》

Tokoh pendukung yang lain dibuat sakit juga. Maaf ya. Capek bngt ga sih baca cerita ini?😂

『√』1. Dear Noo [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang