"Lo dipukulin sama siapa?"
Dari dapur, aku bisa mendengar percakapan kak Kei dengan Sunoo. Setelah berhasil menenangkan lelaki itu, aku hendak membawanya ke rumah sakit tetapi Sunoo bersikeras untuk menolak dan akhirnya aku memilih untuk membawanya ke rumahku sekaligus mengobati lukanya.
Aku menatap uap air hangat di dalam baskom kecil yang sudah berada di tanganku. Memoriku terlalu jauh berkelana, terbayangi potongan-potongan pembullyan Sunoo tadi. Aku hanya.. tidak menyangka, Jay separah itu memukuli Sunoo yang bahkan mungkin kupikir beberapa bagian tubuh Sunoo ada yang retak.
Jay gila. Dia tak punya hati.
"Dek?!"
Aku tersentak kaget, buru-buru membawa baskom berisi air hangat itu ke ruang tamu di mana kulihat Sunoo dan kak Kei ada di sana.
"Nih sapu tangannya, kamu yang ngobatin aja ya. Bisa kan? Kakak mau mandi dulu."
"Loh kok.." belum sempat aku menolak, kakak lelakiku itu terlanjur melesat masuk ke kamar mandi sambil menenteng handuk, ditambah dia tersenyum jahil ke arahku.
Menyebalkan.
Dengan canggung, aku pun mengobati luka lebam itu dengan sapu tangan yang sudah diremdam air hangat. Sesekali Sunoo meringis kecil, namun tetap mengukir senyum untukku.
"Terima kasih."
Satu alisku terangkat mendengar itu. "Hm?"
Sunoo tidak menjawab, mendorong pelan tanganku yang sedang mengobati lukanya. "Aku sudah membaik, terima kasih. Rasa sakitnya hilang saat kamu yang mengobatiku."
"H-hah?"
Demi apapun saat ini aku tidak bisa merespon apa-apa selain pandangan bingung dan wajah terkejut. Sunoo terus menatapku dan itu membuatku benar-benar salah tingkah.
"Jina-ya, tetaplah seperti itu. Jangan berubah, meskipun kamu mendengar hal tak terduga dariku."
Aku masih tercenung, sama sekali tak berkedip. Dan sialnya jantungku bergemuruh saat ini. Ku beranikan diri untuk menatap balik kedua manik Sunoo yang tak lepas memandangku.
"Hal gak terduga, contohnya?"
Sunoo tersenyum hingga bulan sabit di matanya terlukis, lalu tersenyum lebar hingga deretan giginya terlihat. Setelah itu beberapa kalimat yang terucap, membuat nafasku tercekat kaget.
"Lelaki menyedihkan ini sepertinya jatuh hati kepada gadis di depannya ini."
[×]Sunoo tidak tahu sejak kapan perasaan cinta itu tumbuh dan mengakar di hatinya. Padahal awalnya dia berjanji untuk dirinya sendiri agar tidak mencintai temannya sendiri yang tak lain adalah Choi Jina. Gadis cerewet yang selalu ada di sisinya.
Namun tak bisa disangkal, Sunoo akhirnya menyadarinya. Bagaimana jantungnya berdetak cepat ketika melihat atau bersisihan dengan gadis itu, perasaan aneh yang timbul ketika Jina tersenyum atau memujinya, dan rasa rindu yang tak terelakkan kala ia tidak melihatnya.
Jina selalu ada untuknya. Bersedia mendengar cerita mirisnya, menolongnya, membelanya dari perlakuan kasar orang-orang di sekitarnya, dan bersedia untuk tetap menjadi pohon yang kokoh sebagai tempat Sunoo bersandar. Gadis itu juga lah yang menyelamatkan Sunoo, membuatnya tetap hidup hingga detik ini. Karena Jina, Sunoo belajar untuk tetap bertahan, Sunoo menjadi lebih banyak tersenyum, dan Sunoo menjadi seseorang yang mampu mengekspresikan dirinya tanpa ragu. Hanya dengan Jina lah, Sunoo bisa menunjukkan sisi asli dirinya.
Dan beberapa jam yang lalu, Sunoo akhirnya mengutarakannya. Namun setelahnya dia justru merutuki dirinya sendiri karena menimpali embel-embel kalimat 'aku hanya bercanda' yang sontak membuat Jina memukul lengannya cukup keras.
"Ahh pengecut sekali kau, Sunoo."
Sembari terpikirkan sakit kepalanya akhir-akhir ini, Sunoo juga tidak mengerti mengapa pula ia sekarang sulit memahami pelajaran. Jujur saja beberapa hal kecil pun tak bisa ia ingat dengan baik. Membaca buku pun, dia merasa otaknya bekerja dengan lamban tak bisa menangkap cepat materi-materi yang dibacanya. Padahal dahulu, membaca buku setiap hari sama sekali tidak memberatkan. Justru menjadi aktivitas paling utama yang harus ia lakukan.
Sunoo tidak mengerti, apa yang sedang ia alami saat ini. Dalam hati ia berharap semoga semua gejala yang ia rasakan hanyalah efek dari kelelahan.
Sunoo menghela nafas, namun begitu ia sampai di depan pintu rumahnya— Sunoo menghentikan langkah. Memandang nanar dua buah tas yang tergeletak di depan pintu yang tertutup rapat.
"Eomma!!" Sunoo berseru, mencoba mendorong dan membuka pintu rumahnya yang ternyata dikunci dari dalam.
Seakan mengerti maksud dari apa yang ia lihat, Sunoo tak bisa menampik rasa sakit dari hatinya yang kembali tergores luka dari sang ibu. Setelah pertengkaran kecil beberapa hari lalu yang membuat keduanya semakin tercipta tembok tak kasat mata, pada akhirnya ibu Sunoo memilih untuk mengusir satu-satunya titipan tuhan untuknya.
"Eomma, buka pintunya!! Jangan usir aku, aku minta maaf!"
Sunoo melemas, jatuh berlutut disertai tangis kecil yang pecah. "Kenapa kau tega sekali padaku? Eomma.. di luar dingin, tolong biarkan aku tetap bersamamu setidaknya sampai saat ini. Aku mohon.."
Namun sayangnya, hanya keheningan yang hadir di sisi tangisnya. Bagaimanapun juga, ia tahu ibunya tidak akan memberinya ruang lagi. Padahal Sunoo bersumpah, dia hanya ingin menjaga satu-satunya malaikat yang ia punya. Sunoo hanya ingin menguatkan jiwa ibunya yang rapuh selepas ditinggal sang ayah. Kalau bukan Sunoo, siapa lagi? Siapa yang akan selalu hadir menjaga ibunya? Siapa yang akan merawatnya ketika sakit?
Pada malam itu, Sunoo kembali menyusun asa yang hancur. Mengembalikan keping demi keping semangat untuk tetap melangkah meski di atas bilah pisau sekalipun. Dengan berat hati dan terpaksa, Sunoo membawa kedua tasnya— menatap sendu ke arah pintu yang tertutup.
Dia harus bisa hidup sendiri kali ini. Dan tetap mengawasi ibunya diam-diam, memastikannya untuk tetap dalam keadaan baik-baik saja.
Namun di bawah atap kecil itu, dibalik pintu yang biasa terbuka menampakkan Sunoo yang baru pulang, tanpa ia sadari ibunya menangis tersedu di sana. Membekap mulutnya sendiri guna meredam isak tangis agar putranya tidak mendengarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
『√』1. Dear Noo [REVISI]
FanficTentang derita yang tak kunjung reda, dan akhir yang tak terduga