"Bahkan jika aku bisa memberimu dunia, aku akan melakukannya." —Choi Jina
Sudah 15 menit aku habiskan dengan duduk melamun di bawah pohon rindang. Menunggu Sunoo datang, selepas aku meneleponnya kurang lebih sebanyak 20 kali namun sama sekali tak terjawab.
Jujur aku khawatir. Emosiku sebelumnya lenyap, ketika aku berbalik tidak ada Sunoo yang mengekoriku di belakang sesaat setelah ia berteriak memanggilku. Aku sudah mencarinya ke berbagai sisi alun-alun kota, tapi hasilnya nihil. Sunoo menghilang begitu saja.
"Sunoo kamu ke mana sih?" gumamku cemas, menggigiti kuku jari. Tanganku bahkan gemetar memegang ponsel yang masih mencoba menghubungi nomornya.
Terlampau khawatir, aku pun memutuskan untuk pergi ke lokasi di mana aku meninggalkannya tadi. Sekarang mataku bahkan berkaca-kaca, karena aku tahu Sunoo tidak akan meninggalkanku kecuali ada sesuatu hal mendesak yang menimpanya.
Puk
Langkahku terhenti ketika kurasakan tangan seseorang menepuk pundakku. Dan ketika aku berbalik, saat itu juga air mataku tak bisa ditahan.
"Halo, Jina!"
Itu Sunoo. Dia berseru memanggilku disertai senyum cerahnya yang lebar, hingga kedua maniknya menyipit. Namun setelahnya, cepat-cepat ia menghapus air mataku dan memandangku dengan sorot menyesal.
"Jina, jangan menangis. Aku minta maaf. Aku berjanji tidak akan bercanda kelewatan lagi."
Aku menggeleng kuat-kuat. Menyeka kasar bulir air yang mengalir. "Kamu dari mana? Aku nyariin, tapi kamu gak ada."
"Aku beli ini," Sunoo menunjukkan padaku 4 kue hoppang yang masih hangat. "Kamu bilang mau ini kan? Maaf ya, aku pergi membelinya diam-diam."
Lagi-lagi senyuman Sunoo membuat hatiku nyeri. Aku tidak tahu mengapa, tetapi tiap kali melihatnya tersenyum aku selalu ingin menangis. Mengingat dirinya selalu menunjukkan raut cerianya, tanpa mau melepas topengnya dan menampakkan jiwanya yang hancur.
"Jina, aku minta maaf. Berhentilah menangis, itu membuatku sakit."
Dan sepersekian detik kemudian, nafasku tercekat. Ketika Sunoo membawaku ke pelukannya, dan dengan teratur mengusap punggungku. Karena terlampau terkejut, aku spontan mendorongnya menjauh.
"Kok aku didorong?"
Aku memalingkan wajah. Sudah pasti wajahku merah lagi sekarang. "A-aku udah gak nangis, jangan peluk-peluk lagi."
"Baiklah, kalau kau menangis lagi aku akan memelukmu lagi."
Aku sontak melotot ke arahnya. "Sembarangan! Aku gak bakal nangis lagi."
Sunoo terkekeh sembari merangkulku, mengapit leherku dan menggeretku untuk ikut bersamanya. "Ayo kita pulang, nanti kakakmu bisa marah kalau kita terlalu lama."
"Lepasin, Noo!! Ih kamu nyekek aku gak merasa bersalah banget sih?"
Dan sedetik kemudian Sunoo tertawa renyah. Lama kelamaan dia tidak jauh beda dengan kak Kei yang senang sekali membuatku kesal.
"Ada yang mau kau beli lagi?"
"Nggak deh." aku menggeleng. "Tiap aku mau beli ini itu, kamu terus yang bayarin. Aku jadi gak enak."
"Selagi aku bisa melakukannya, kenapa tidak?" balasnya, lalu ia menarik tanganku. Membawaku menuju salah satu pedagang bando.
Bisa-bisanya dia tau kalau aku sangat menyukai bando-bando seperti ini, terutama bando dengan telinga hewan.
"Kamu cocoknya pake yang ini." aku menyingkirkan bando berbentuk telinga beruang dari kepala Sunoo, dan menggantinya dengan telinga rubah. Aku tersenyum puas. "Ini baru cocok, hehe. Ganteng.. eh?"
Aku sontak menutup mulutku, menatap was-was ke arah Sunoo yang memandangku bingung seraya mengerjap-ngerjapkan matanya. Kupikir dia bertanya tentang ucapanku tadi, namun untungnya Sunoo memalingkan wajah. Kembali memfokuskan atensi ke berbagai bentuk bando yang lain.
Aku menghela nafas, mencoba menetralkan detak jantung yang memompa cepat tiap kali berada di dekat Sunoo. Aku menyadari bahwa aku memang jatuh cinta padanya, di mana seharusnya itu tidak terjadi. Karena tujuan awalku adalah menjadi teman untuknya, menjadi tempatnya bersandar dan berkeluh kesah, serta merta membagi lelah. Namun aku gagal menjaga perasaanku yang justru jatuh padanya.
"Jina, ayo pulang. Kenapa melamun?" Sunoo melambaikan tangannya di depan wajahku, membuatku kembali tersadar.
"Eh?" aku berceletuk, memicing ke arah wajahnya. "Kok kamu pucet? Keringetan juga, kenapa?"
Sunoo menggeleng cepat, tetapi ketika pandanganku tak sengaja menangkap kedua tangannya yang terkepal kuat. Hanya satu yang aku tangkap dari gelagatnya.
Sunoo menahan sakit. Dan dia mati-matian menyembunyikannya dariku.
KAMU SEDANG MEMBACA
『√』1. Dear Noo [REVISI]
FanfictionTentang derita yang tak kunjung reda, dan akhir yang tak terduga