"Sunoo!" Jay menyerukan sang pemilik nama. "Ikut gue sebentar."
Sunoo yang tengah membaca buku pun menghentikan kegiatannya. Dengan malas, ia beranjak dari duduk dan melangkah menghampiri Jay yang menunggunya di depan pintu kelas. Sesekali Sunoo lihat, lelaki itu melempar senyum dan menaikkan alis ke arah beberapa gadis yang lewat. Dan itu sukses membuat Sunoo bergidik geli.
"Ada apa? Aku tidak bisa berlama-lama, kepalaku pusing."
Namun tanpa Sunoo duga, Jay merangkulnya lalu menggeretnya paksa. Cekalan tangan Jay di pundak dan leher Sunoo sedikit membuatnya tercekik.
"Apa yang kau lakukan?!"
Jay melotot. "Diem anjir, ikut aja apa susahnya?"
Dan ketika langkah mereka menaiki tangga demi tangga, hingga sampai di paling atas. Sunoo merinding takut.
Jay membuka pintu rooftop, lalu melepas rangkulannya. Bola matanya melirik dua cola yang digenggamnya, lalu dilemparlah satu cola itu ke arah Sunoo yang langsung ditangkap olehnya.
"Terima itu. Gue pengen cerita sedikit sama lo, kebetulan suasana hati gue lagi baik sekarang." Jay mendudukkan dirinya di pinggir.
Sedangkan Sunoo mengerjap-ngerjapkan matanya bingung. Ia pikir dirinya akan dipukuli, tapi ternyata Jay malah memberinya cola dan bahkan sekilas Sunoo lihat Jay tersenyum tadi. Untuk pertama kalinya Sunoo mendapat perlakuan baik dari seorang pembullynya.
"Apa.. kau sedang sakit?" tanya Sunoo saking kagetnya.
"Apaan sih, sehat gini dibilang sakit. Waras lo?"
Sunoo tertawa kaku, duduk sedikit jauh di samping Jay. "Kau mau cerita apa? Dan kenapa harus padaku? Kau masih punya temanmu yang lain."
Jay terdiam sejenak, memandang lurus ke depan. "Gue gak punya temen."
Begitu mendengar jawaban tak terduga itu, Sunoo hanya bisa mengerutkan dahi. Tidak percaya. "Apa maksudmu? Sunghoon, Nicholas, dan Euijoo itu kan teman satu gengmu."
"Bukan," Jay tertawa getir. "Mereka bukan temen gue. Mereka temenan sama gue cuma numpang terkenal doang. Lo kan tau sendiri gue populer di sekolah ini, dan sebagai tambahan.. mereka juga berandalan, sama kayak gue. Jadi ya gitu. Karena mereka mau terkenal doang, ya mereka harus tunduk sama apapun yang gue suruh. Kalo gitu kita sama-sama menguntungkan."
"Lalu apa alasan kamu membullyku? Apa alasan yang membuatmu sangat membenciku?" tanya Sunoo. Sedari awal, dia sangat penasaran akan hal itu namun tidak ada kesempatan untuk menanyakannya karena Jay sangat sensitif. Dia mudah sekali emosi.
Jay menoleh sekilas, lalu mengendikkan bahunya. "Gak ada alasan tuh. Lagian emangnya ngebully orang harus ada alasannya? Gue ngebully lo ya karena gue muak aja liat lo. Lo jelek, kayak cewek, miskin, terus cacat juga. Jadi bawaannya pengen gue tindas aja."
Sudah biasa. Sunoo sudah biasa dan sudah kebal mendengar cercaan itu semua. Biarkan dirinya menelan semua itu.
"Tapi lo pasti mikirnya lo yang paling menderita kan? Lo yang paling kesakitan. Seolah-olah cuma lo manusia menyedihkan di dunia ini. Gue kasih tau ya, harusnya lo buang jauh-jauh pikiran itu. Bukan cuma lo doang yang punya beban, gue juga. Meskipun gue kaya dan punya segalanya, gitu-gitu juga gue punya masalah."
Jay memandangi uap air dingin dari colanya. Mendadak dia merasa sedikit sesak. "Gue dipaksa ortu buat dapet peringkat satu di angkatan kita. Gue les di banyak tempat, pulang malem, belum lagi mereka juga ngasih tugas buat gue. Ya contohnya kayak rangkuman yang kemarin itu. Rata-rata semuanya buku bisnis, dengan alasan supaya gue bisa jadi penerus perusahaan ayah gue karena gue anak satu-satunya. Mereka ngancem gue homeschooling atau sekolah di luar negeri kalo gue ngelawan. Gue gak suka dikekang, gue gak suka dipaksa. Gue suka kebebasan, tapi mereka gak pernah ngertiin atau sedikitpun ngehargain gue. Benci banget gue, bangsat."
Sunoo tertegun. Ia menoleh ke arah Jay, memandangnya tak percaya. "Kau yakin orang tuamu seperti itu? Termasuk ayahmu?"
"Kenapa? Lo gak percaya?"
Sunoo masih mencerna semua yang ia dengar barusan. Ayahnya ternyata seperti itu? Jika beliau tidak meninggalkan ibunya, apa yang Jay rasakan kemungkinannya pasti Sunoo yang akan merasakannya.
Sementara Jay yang usai bercerita pun menghela nafas kasar. Ia tersenyum kecil, cukup merasa lega usai melepaskan rasa sakit yang dipendamnya. Ia melirik Sunoo yang tertunduk, membenturkan kukunya pada kaleng cola.
Pemuda Park itu mendecak, merebut cola milik Sunoo dan langsung meneguknya habis. "Kalo tau gak diminum, mendingan gausah gue kasih."
Sunoo masih membisu, sama sekali tidak menghiraukan Jay yang terus menyerocos ini itu. Sampai akhirnya Jay menarik kerah seragam Sunoo lagi, mencengkramnya kuat. Air muka cerianya kini lenyap, kembali seperti Jay yang biasa Sunoo lihat.
"Jawab jujur, lo suka sama Jina kan?"
Sunoo merotasikan matanya. "Apa aku harus menjawab pertanyaan tidak penting seperti itu?"
"Jawab, bangsat! Atau lo gue dorong biar jatuh."
"Silahkan saja. Aku bahkan juga bisa melakukannya padamu."
Melihat Sunoo yang terus membalas ucapannya, Jay seketika terbakar emosi lagi. "Gara-gara gue sempet baik sama lo tadi, lo jadi ngelunjak ya?"
Sunoo mengukir senyum sinis yang sangat tipis. "Jay-ssi, apa kau tidak takut kalau aku akan melaporkan semua pembullyanmu? Kau bisa kena skors."
Jay langsung menahan tawanya yang ingin meledak saat itu juga, menatap Sunoo dengan sorot meremehkan. "Gak takut sama sekali. Coba aja sana. Kita liat, lo berhasil bikin gue kena hukuman gak? Lo lupa kalo gue punya segalanya? Gue punya uang yang bisa menutup mulut dan tindakan semua orang. Sedangkan lo apa? Lo gak punya apa-apa."
Saat itu juga Sunoo tertampar. Kenyataannya dirinya memang jauh berada di bawah orang-orang. Sekali lagi, sekeras apapun ia mencoba melangkah, Sunoo akan tetap kembali ke tempat yang sama. Tidak ada yang berubah, sedikit pun.
KAMU SEDANG MEMBACA
『√』1. Dear Noo [REVISI]
FanfictionTentang derita yang tak kunjung reda, dan akhir yang tak terduga