Hari ini aku tidak lagi memakai sepeda. Aku diantar kak Kei yang ternyata pagi ini ada jadwal kelasnya.
"Kalo mau pulang telepon kakak ya."
"Hmm."
"Eh btw, kamu bilang ban sepeda kamu kan bocor. Terus kamu pulang sama siapa?"
Aku mengukir senyum miring. "Ada deh. Udah sana, kepo banget."
"Cowok ya??" tebak kak Kei sambil menudingku.
"Ihh udah sana!!" kesalku sambil mendorong-dorong pundaknya.
Tapi justru kak Kei makin tersenyum lebar. "Tuh kan bener cowok. Cieee udah gak jomblo lagi nih?"
"Ya masih mending aku ada cowok. Kakak? Cewek yang deketin aja nggak ada." ejekku.
"Adek laknat."
Aku menjulurkan lidah ke arahnya, sedangkan kak Kei langsung menjauhkan tubuhnya.
"Ihh ada anjing."
"KAK KEI!!!! NANGIS NIH, HAH?!" teriakku, tak peduli jika siswa-siswi yang berlalu lalang memperhatikanku.
Kak Kei langsung panik. "Ehh iya maaf. Jangan nangis dong! Yaudah kakak pergi ya."
"Bodo." balasku acuh. "Lagian ngeselin banget."
Kak Kei tertawa kecil, lalu menepuk kepalaku. Setelah itu, ia langsung melaju menuju kampusnya.
Aku segera melangkah masuk ke sekolah, dan tak sengaja melihat Sunoo yang baru datang dengan sepedanya. Aku ingin menyapanya, tapi melihat ia memakai earphone, aku pun mengurungkan niatku. Karena Sunoo pasti tidak akan mendengarnya.
Ah iya, selepas pulang sekolah kemarin- Sunoo membawaku ke pantai. Tempat itu sungguh membuat perasaanku membaik. Sunoo juga bilang kalau pantai itu sering dikunjunginya sekedar untuk healing time.
Tidak ada kecanggungan lagi di antara kami, lumayan lebih baik dari awal pertemuan sebelumnya. Aku kira Sunoo adalah seseorang yang pendiam dan terlihat dipenuhi kekelaman. Namun aku salah, nyatanya Sunoo adalah sosok yang periang. Dia murah senyum, bahkan kami saling mengobrol di pantai itu tanpa ada rasa kaku dan canggung yang terselip.
Dari situ aku menyadari bahwa kepribadian Sunoo yang hangat, hanya ditunjukkan untuk seseorang yang mungkin dipercayainya.
Err.. tunggu. Tapi kalau begitu masa iya aku menjadi seseorang yang dipercayanya?
~~~~
"Buat kelompok 4 orang ya. Silahkan kalian saling diskusi, tapi jangan ribut. Selesaikan tugasnya, lalu kumpulkan di Ketua Kelas. Saya tunggu paling lambat pukul 15."
"Ne.. seonsaengnim." jawab seisi kelas selepas guru sejarah selesai bicara.
Aku mendengkus, bersandar lelah di kursi sembari menyeka kedua mataku yang berair menahan kantuk. Demi apapun setiap pelajaran pak Seokjin, selaku guru sejarah tadi, aku selalu diserang kantuk. Bukan hanya aku, melainkan beberapa temanku juga merasakan hal yang sama. Aku curiga, jangan-jangan pak Seokjin memiliki setan yang terus mengikutinya. Dan mungkin berimbas pengaruhnya pada murid-muridnya.
Suara riuh meja kursi yang disatukan dan diseret ke sana ke mari mulai terdengar, ditambah suara heboh teman-temanku yang gembira lantaran kelompoknya tidak ditentukan. Tentu saja mereka senang karena dengan demikian, mereka bisa sekelompok dengan teman dekat mereka.
Tapi itu tidak berlaku untukku.
Sedari tadi aku hanya menatap malas ke arah lelaki yang kini duduk di hadapanku, di samping Sejeong. Membuatku menghela nafas sebal.
"Emang harus banget ya, tiap ada tugas kelompok, lo ikut Sejeong?"
Jay mendelik tak terima. "Ya emang kenapa? Lo gak bersyukur banget selalu dimasukin kelompok sama Sejeong. Coba kalo dia bukan sahabat lo, pasti nasib lo bakalan sama kayak si cacat."
"Ssstt bacot banget congor kalian. Udah ini kelompok kita kurang satu orang. Cari kek siapa lagi, sana!" Sejeong mendorong-dorong pundak Jay.
"Kenapa harus gue?!"
"Nggak usah protes."
"Lo aja sana!"
"Jay!! Lo bener-bener ya!"
Makin suram saja suasana hatiku sekarang. Dua orang di depanku ini malah saling berdebat. Kalau sudah begini, aku menyerah dan menonton saja. Sejeong dan Jay, baik di antara keduanya tidak ada yang mau mengalah.
Aku terdiam, mengedarkan pandanganku ke sesisi kelas. Memandangi kelakuan teman-temanku yang aneh. Kelasku selalu kacau, tapi setidaknya sesekali aku terhibur dengan itu. Dan tepat ketika kulirik mataku ke arah kiri, netraku terpaku pada sosok Sunoo yang duduk seorang diri, melempar pandangannya ke luar jendela sembari menyenderkan kepala.
"Sunoo." panggilku tak terlalu keras, karena jarak kursi kami tidak terlalu jauh.
Dia menoleh. "Ya?"
"Belum dapet kelompok kan? Sini, ikut aku aja." kataku seraya mengayunkan telapak tangan, membuat gestur untuk menghampiriku.
Namun, sebelum Sunoo ucapkan jawaban, Jay terlebih dahulu menyela ucapanku.
"Nggak! Apa-apaan sih, Na. Udah biarin aja dia sendiri, emang biasanya gitu kok. Kita sama Jake aja, dia belum dapet kelompok."
Aku lantas menyangkal. "Jay ih, Sunoo juga-"
"Tidak perlu." Sunoo menyela kalimatku. "Aku akan mengerjakannya sendiri. Terima kasih, Jina."
"Tapi Noo-"
"Udahlah, dia sendiri yang bilang gak mau. Lagian lo kenapa tiba-tiba jadi peduli sama dia sih? Pasti ada apa-apa nih."
Aku menatap tajam ke arah Jay, menahan geram. "Apaan sih? Bukan urusan lo juga mau gue peduli sama siapa."
"Kalian kok malah ribut sih? Udah ayo kerjain. Lo juga nggak usah nyamber mulu Jay. Berisik tau gak?"
Sejeong akhirnya melerai perdebatan kami, sementara aku diam-diam melirik ke arah Sunoo lagi yang kini benar-benar sedang mengerjakan tugasnya seorang diri.
Aku cukup sedih melihat kegiatan di sekolahnya hanya seperti itu saja. Sunoo adalah satu-satunya lelaki yang membuatku kagum atas semua kekuatan batinnya dan satu-satunya orang yang menyadarkanku untuk lebih bersyukur.
Sunoo memancarkan aura positif yang kerap kali membuatku terheran mengapa semua orang menjauhinya, menganggapnya bagai seonggok sampah tak berguna.
Seburuk itukah takdir yang ditulis untuknya?
《...》
Fyi, cerita ini alurnya lambat. Bahasa kasarnya sih bertele-tele. Semoga kalian kuat ya😅
KAMU SEDANG MEMBACA
『√』1. Dear Noo [REVISI]
FanficTentang derita yang tak kunjung reda, dan akhir yang tak terduga