27. Far away

5K 1.2K 77
                                    

Sunoo mendadak menjauh dariku. Ia selalu menghindar, enggan sekali sekedar melirikku. Semua pesan yang kukirimkan, tak dibalas. Dia justru memblokir kontakku. Sudah 4 hari dia seperti ini, dan selama itulah aku merenung. Memikirkan apakah aku melakukan hal yang salah sehingga ia berubah.

Sejeong juga membantuku. Ia bertanya kepada Sunoo mengapa ia seperti itu, namun lelaki itu hanya diam lalu mengalihkan topik. Sunoo seolah membenciku. Membuatku kehilangan senyumnya. Kami benar-benar kembali asing seperti dulu. Sunoo yang sempat hangat di sekolah, kini kembali menjadi sosok yang dingin dan acuh.

Jujur saja aku merasa kehilangan. Hariku menjadi suram, dan aku sangat emosional. Sulit sekali mengendalikan emosiku yang kini mudah tersulut hanya karena masalah kecil.

Dan saat ini aku memberanikan diri untuk bertanya langsung padanya. Kulihat Sunoo melangkah di koridor sendirian. Waktu sudah menunjukkan jam pulang. Dengan cepat aku berlari ke arahnya seraya memanggil.

"Sunoo!"

Seperti biasa, dia tak menoleh. Justru langkahnya semakin cepat terpacu, hingga aku kewalahan mengejarnya. Sampai ketika Sunoo menaiki sepedanya, aku melompat ke depan dan menghadangnya.

"Sunoo, aku mau nanya. Tolong dengerin aku sebentar aja." ujarku memohon meski hanya tatapan datar menusuk yang kudapatkan. Kulihat wajahnya dipenuhi lebam hingga sebelah matanya membengkak.

"Menyingkir dariku."

Aku tertegun, menahan senyuman yang hendak merekah. Sunoo membalas ucapanku setelah berhari-hari hanya terdiam. Itu sedikit membuatku ringan.

"Kamu kenapa? Kasih tau aku kalo aku ada salah. Aku minta maaf."

Sunoo terdiam, seperti menahan geram. "Menjauhlah. Jauhi aku."

"Kamu.. berubah, Noo." kataku lirih.

"Oh ya? Kurasa kau salah. Aku tidak pernah berubah. Aku memang seperti ini, lantas apa yang berubah? Tidak ada."

Aku masih mematung, menahan genangan air di mata agar tak jatuh. Sunoo bicara tanpa menatapku sama sekali. "Aku—"

"Pergilah, aku tidak ingin melihatmu."

Dan setelahnya, ia pergi dengan sepedanya begitu saja. Terlihat maniknya tampak berkaca-kaca, ditambah ia semakin pucat. Dia bisa berbohong padaku dengan bertindak menjauh dariku, tapi aku yakin jauh di lubuk hatinya, Sunoo masih menyayangiku.

Tepat setelah itu, hujan turun dengan deras. Benar-benar mewakilkan perasaanku saat ini. Perlahan sosoknya hilang dibalik ribuan air yang tumpah dari langit yang menggelap. Cepat-cepat aku berteduh di halte, mengeratkan hoodie yang dikenakan lantaran angin dingin yang berhembus bersama hujan. Genangan air mulai terlihat, dan suara gemericik itu semakin membesar.

"Jina, lo belum pulang juga?!"

Kali ini refleks maupun bukan, aku tidak menoleh sama sekali. Berpura-pura tuli dan terus menunduk wajah.

Jay memarkirkan motornya, lalu menghampiriku. Tubuh lelaki itu basah kuyup. Tumben sekali dia membawa motor, karena biasanya dia diantar jemput ibunya dengan mobil. "Lo bawa jas hujan gak? Ayo pulang bareng gue aja. Bentar lagi malem."

Aku menggeleng. "Gak bawa. Lo pulang aja, gue masih nunggu bus."

"Busnya lewat satu jam lagi. Yakin mau nunggu selama itu?"

Aku tidak membalas. Jay tampak membuka jok motornya, lalu mengeluarkan jas hujan dari sana dan memberikannya padaku.

"Cepet pake."

"Gak." tolakku ketus. Meliriknya sinis. "Lo mukulin Sunoo lagi kan?"

Karena memang sekilas aku melihat wajahnya lebam dan luka-luka lagi. Sudah jelas oknum bermarga Park ini pelakunya.

Dia terdiam, mengendik bahu acuh. "Ya emang kenapa? Dia bikin lo sakit hati, bikin lo sering nangis. Gue gak suka."

Aku mendecih, diikuti tawa jengkel. "Gue gak butuh pembelaan lo, Jay. Terserah dia mau ngapain, itu urusan dia. Emangnya gue siapa?"

"Gak gitu, Na. Lo harusnya sadar, dia udah menjauh dari lo. Kenapa masih lo kejar-kejar juga? Lo nyakitin diri lo sendiri. Masih ada banyak temen cowok selain dia."

"Berisik, pergi aja sana. Selalu aja lo nyelesain masalah pake kekerasan. Apa bagusnya sih?" sarkasku, memakai tudung hoodie, lalu berlari menerobos derasnya hujan.

Mengabaikan teriakan Jay yang tak henti menyerukan namaku, beserta satu kalimat yang samar terdengar.

"Jina!! Gue suka sama lo, makanya gue gak suka Sunoo nyakitin lo! Jina!!"

[×]

"Halo, selamat malam Sunoo. Bagaimana keadaanmu?"

Sunoo hanya membisu, sampai akhirnya beberapa detik kemudian ia membalas. "Saya sehat, dokter."

"Syukurlah, jangan lupa minum obatmu dengan teratur ya. Sempatkan waktu untuk periksa ke sini minimal seminggu sekali. Jangan terlalu kelelahan, dan makanlah makanan yang sehat."

"...."

"Halo, Sunoo? Kau masih di sana?"

"Saya tidak suka." Sunoo menjawab dengan sedikit nada penekanan. Tangannya mencengkram erat ponsel yang menggantung di telinga.

"Sunoo-ssi, aku tahu ini menyakitkan. Aku minta maaf tidak bisa berbuat banyak, namun memang ini hasilnya. Perlahan-lahan cobalah untuk menerima keadaanmu. Ayo berjuang untuk hidupmu, aku berjanji akan membuatmu sembuh. Percaya padaku, ini hanya sementara."

Sunoo menggigit bibir bawahnya. Responnya di luar kehendak di mana sekarang dia lebih mudah menangis. Matanya tiba-tiba berkaca-kaca sendiri. Itu terkesan lemah baginya.

"Saya butuh waktu."

Tut..

Usai berkata demikian, Sunoo mematikan panggilannya. Dokter yang meneleponnya barusan adalah dokter yang memeriksanya kemarin. Sempat dimintai nomor telepon jika sewaktu-waktu ada hal penting yang harus dibicarakan.

Dia masih belum bisa menerima keadaannya saat ini. Apalagi kala pikirannya terlampau mengingat Jina. Sunoo tidak tahu harus berbuat apa. Dia tidak bisa membiarkan Jina tahu kondisinya, dan berujung membuatnya khawatir.

Karena itu ia memilih menjauh.
Dengan begitu, Jina tidak akan pernah tahu kondisinya. Biarkan penyakit sialannya ini terkubur dalam-dalam tanpa diketahui banyak orang. Meski rasanya sedikit sesak melihat gadis itu sering melamun, dan terkadang menangis. Sejujurnya Sunoo juga merasa berat mengabaikan Jina, dan bahkan membuatnya menangis. Tapi dirinya sendiri tak punya pilihan lain selain menjauh.

Sunoo menatap kontak Jina yang diblokir. Genangan air itu kembali menumpuk. Dia tak bisa mengelak jika sekarang ia merindukannya.

Sunoo mematikan lampu kamar, terduduk di pojok dinding sembari membuka lembar demi lembar album berisi polaroid yang menyimpan potret keduanya, dan beberapa menit kemudian ia tertidur memeluk benda itu.

《...》

Beberapa part ke depan, saya lebih fokusin Sunoo nya ya. Terus kyknya alurnya agak kacau.

『√』1. Dear Noo [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang