Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Derap langkah dari sepasang kaki jenjang itu terdengar menggema di lorong. Sunoo memerhatikan detail tiap nama ruangan yang tertera, mencari tempat di mana ia harus bertemu dokternya.
Kurang lebih 3 menit berkeliling, Sunoo akhirnya menemukan ruangannya. Tangan pucat itu terangkat, membuka knop pintu usai sebelumnya menarik nafas dalam sebagai pereda rasa gugup dan takut yang datang sekaligus.
Cklek
"Oh? Selamat datang, Sunoo-ssi. Silahkan duduk." dokter Yang menyimpan berkas-berkasnya di laci, lalu mendudukkan diri di kursi seberang yang berhadapan dengan pasiennya.
Sunoo terduduk, terlampau fokus memerhatikan tiap sudut ruang sampai tidak sadar jika sedari tadi dokternya itu melempar senyum, namun tak terbalas.
"Bagaimana keadaanmu seminggu ini? Ada keluhan lain, atau gejala yang lebih parah?"
Sunoo mengerjap, lidahnya terasa kelu, sedang pikirannya berkelana tak mampu memproses jawaban dari pertanyaan yang dilontarkan. Sunoo menyadari bahwa kini ia lambat dalam menangkap dan merespon ucapan.
"Halo, Sunoo? Kau mendengarku?"
"A-ah iya, dokter. Saya..." Sunoo menggantung suara, bingung lantaran tidak tahu harus menjawab apa. "Maaf dokter, sebelumnya apa yang anda katakan?"
Dokter Yang menghela nafas, sorot matanya sendu menatap Sunoo. "Kau baik-baik saja? Selama seminggu ini apa ada gejala lain yang lebih parah?"
"Tidak, saya baik-baik saja. Hanya terkadang sakit kepala itu datang tiba-tiba. Tiap rasa sakit itu muncul, rasanya saya ingin mati saat itu juga."
"Jangan bicara seperti itu. Kau pasti bisa, Sunoo. Ada banyak pasien yang sembuh, pasti kamu bisa menjadi salah satunya. Kau percaya kan bahwa tidak ada yang tidak mungkin?"
Sunoo menarik sudut bibir, bersitatap pandang dengan manik dokternya. "Banyak yang sembuh, berarti banyak yang mati juga kan?"
Kali ini dokter Yang tidak bisa membalas. Ada sorot hampa yang terpancar dari kedua mata Sunoo yang sayu.
Pria berumur kepala 2 itu bangkit dari kursi, menyiapkan beberapa obat. Dan menjelaskannya pada lelaki itu.
"Ini obat mualnya, diminum sebelum makan. Kamu pasti sering muntah kan? Kalau ini obat kemoterapi, harus rutin diminum. Cepat membaik ya, Sunoo." ujarnya, memasukkan beberapa botol obat ke dalam plastik.
Sunoo mengangguk lambat, menatap lamat plastik berisi obat-obatannya, lalu merematnya kuat.
"Ahh iya, kamu dan Jungwon berteman ya? Aku melihat kalian mengobrol di kursi tunggu waktu itu." tanya dokter Yang.
"Ya, kamar apartement kami juga bersampingan."
Senyum lebar dokter muda itu terlihat. "Jungwon itu adikku. Tapi dia pergi dari rumah karena orang tua kami selalu membandingkannya denganku. Jungwon tidak pernah pulang walaupun orang tua kami sudah meminta maaf. Dia juga membenciku."