Beep
Beep
Sunoo melirik jam tangannya yang berbunyi. Senyuman itu tercetak di bibirnya yang pucat. "Sudah waktunya aku minum obat."
Ia lantas bergegas mengambil botol minum dan kantong plastik berisi obat-obatannya lalu berlari cepat ke toilet.
Sunoo memasuki salah satu bilik, mengunci pintunya rapat, dan lekas menuangkan beberapa tablet obat di tangannya. Ia lekas menelan semuanya sekaligus, lalu menyembunyikan obatnya itu di kantung almetnya.
Sesuai perintah dokter Yang, Sunoo tidak boleh melewati jam minum obatnya. Dia harus meminumnya di waktu yang sama, oleh sebab itu Sunoo menyetel alarm di jam tangannya sebagai pengingat.
Hidupnya saat ini seolah dipegang oleh obat-obatan itu.
Sunoo menatap dirinya di pantulan cermin wastafel. Helaan nafas lelah ia keluarkan. Betapa mirisnya penampilan dirinya yang kian hari makin memburuk. Dia kehilangan berat badannya secara drastis, dan Sunoo sangat mudah letih. Penyakit sialannya merenggut semua yang ia punya.
Haruskah Sunoo tetap bersyukur meski dirinya se-menyedihkan ini?
Manik sayunya melirik ke bawah, tali sepatunya lepas. Sunoo berjongkok, mengikat kuat kembali tali yang lepas itu. Namun pergerakannya terhenti ketika sesuatu yang dingin mengalir dari kepalanya. Dan telinganya menangkap suara kekehan yang sangat ia kenali.
Sunoo memejamkan matanya sejenak, menahan kesal. Ia bangkit berdiri, menatap tajam Jay dan antek-anteknya yang menatapnya remeh.
Bukannya diam seperti biasanya, Sunoo justru tersenyum miring. Maniknya tak lepas menatap nyalang ke arah Jay.
"Dari dulu aku penasaran. Apa aku sehina itu sampai kamu terus menggangguku? Apa aku semenjijikan itu sampai kamu sangat ingin aku mati? Apa aku seburuk itu bahkan ketika aku tidak melakukan apapun." Sunoo berujar tanpa jeda. Kedua tangannya mengepal, dan rahangnya mengeras.
Jay yang mendengar itu tidak merespon apapun. Hanya memasang raut datar dan acuh.
"Kau tidak tahu bagaimana rasanya menjadi diriku, begitu pun sebaliknya. Aku tidak tahu bagaimana rasanya menjadi dirimu, merasakan manis pahitnya hidupmu. Karena itu, bisakah kita saling menghargai?"
Buagh!
Sunoo terjatuh, usai mendapat satu pukulan di wajahnya lagi. Padahal luka yang kemarin, masih basah dan belum mengering. Ia melirik sekitar dengan pandangan bingung. Semuanya tampak kabur dan berbayang, denyut nyeri kepalanya kembali terasa.
"Ambilin air bekas pel itu." Jay memerintah yang langsung dituruti salah seorang temannya.
Byur!
Sunoo memejamkan matanya rapat, dirasakannya tubuhnya basah, serta tercium aroma cairan pembersih lantai itu. Dan satu tendangan menghantam sisi kepalanya cukup keras, membuat telinga Sunoo berdengung sesaat.
Tak berselang lama, tendangan yang lain turut menghantam tubuhnya. Beberapa bagian tubuhnya juga menjadi sasaran injakan. Parahnya lagi, Jay membakar puntung rokoknya lalu menjejali kulit tangan Sunoo dengan panasnya tembakau yang terbakar.
"Obat apa ini?" Jay berjongkok memungut botol obat di lantai. Ia memerhatikan dengan detail label obat tersebut. Sedetik kemudian, ia terkikik. "Bajingan ini sakit ternyata."
Sunoo tak bisa berbuat apa-apa ketika Jay memungut obat-obatannya, lalu menumpahkan semua isinya ke kloset. Menyiramnya hingga bersih tanpa sisa.
Jay tertawa remeh, ia pikir hidup Sunoo sudah diujung tanduk. Lambat laun dia akan mati karena penyakitnya, meski Jay sendiri belum tahu penyakit apa yang diderita Sunoo.
"Heh cacat, semoga cepet mati ya!" seru Jay disertai senyum lebarnya, ia juga menepuk keras punggung Sunoo.
"Jangan gitu, Jay. Lo juga lagi sakit, nanti omongan lo balik ke diri sendiri mampus." cerca Sunghoon.
Jay mengendikkan bahunya tak peduli, lalu mencuci tangannya di wastafel. "Besok kayaknya gue gak sekolah. Lo semua jangan macem-macem di belakang gue."
"Emang lo mau ke mana?" tanya Nicholas.
"Ada jadwal cuci darah."
Teman-temannya itu hanya mengangguk, ikut mengekor di belakang Jay yang melengang pergi. Membiarkan Sunoo seorang diri di sana.
Sunoo merasa pusing, ia bisa merasa detak jantungnya meningkat cukup cepat. Kedua matanya bahkan berair dan memerah. Ia meremat celananya, menahan sakit. Tangannya yang gemetar mengambil ponselnya, dan menelepon Jungwon.
"Halo? Kenapa kak?"
"J-jungwon.."
"Iya..?"
Sunoo terdiam, mengumpulkan tenaga hanya untuk bicara. "Bisa tolong pergi ke sekolahku sekarang? Aku ada di toilet laki-laki lantai 3 sebelah barat."
"Iya-iya, aku ke situ sekarang."
Panggilan itu berakhir. Sunoo memejamkan matanya, rasanya dia seperti sekarat. Hanya Jungwon yang bisa ia minta bantu, karena lelaki itu sudah tau penyakit yang dideritanya-- tentu saja dari kakaknya yang memberi tahunya.
Beberapa menit berlalu, Sunoo tak menemukan tanda-tanda kedatangan Jungwon. Ia juga bisa merasakan nafasnya semakin memendek. Sekujur tubuhnya pun menggigil kedinginan. Lantas dengan sisa tenaga, Sunoo kembali mencoba menghubungi Jungwon lagi.
"Jungwon-ah, kenapa lama sekali?"
"Gak boleh sama satpamnya nih. Pak please ya kali ini aja, buku saya ketinggalan. Saya gak bohong loh." dari seberang telepon, Sunoo bisa mendengar Jungwon yang berbicara memohon dengan satpam sekolahnya.
Sunoo mengulas senyum tipis. "Rasanya aku seperti ingin mati sebentar lagi."
"A-apa? Kak--"
Tut..
Sunoo mematikan panggilannya lagi. Ia terbatuk menyemburkan darah. Dalam sekejap, seragamnya ternodai merah. Berkali-kali Sunoo berusaha mempertahankan kesadarannya, namun nyatanya sekarang-- ia diserang kantuk. Sayup-sayup suara di sekitarnya mulai tak terdengar, dan semuanya berubah gelap.
Bruk!
Sunoo ambruk di lantai kamar mandi, bersamaan dengan masuknya notif chat baru di ponselnya.
Jungwon kamar 240
| Kak Sunoo, maaf aku gak diizinin ke luar
| Bel masuk juga udah bunyi
| Kakak gapapa kan?
15.44| Kak?
| P
| P
| Ppp
15.46Jungwon is calling...
Dan di ujung tanduk kondisi Sunoo yang sekarat, seseorang datang. Berteriak memanggilnya, namun kesadaran lelaki itu benar-benar telah hilang.
KAMU SEDANG MEMBACA
『√』1. Dear Noo [REVISI]
Hayran KurguTentang derita yang tak kunjung reda, dan akhir yang tak terduga