Trust x 3.

154K 11.2K 71
                                    

Mara mendecak berkali-kali. Tangan-tangannya cekatan membuka bagian-bagian dari tasnya. Bagian-bagian dengan harapan dirinya bisa menemukan sesuatu yang ia cari-cari. Namun berkali-kali mengobrak-abrik tasnya tak juga membuatnya menemukan apa yang ia cari. Tinggallah buku-buku bekas hari kemarin yang tak sempat ia kembalikan ke rak bukunya.

Mara mendesah, menyenderkan tubuhnya dengan kasar ke kursi. Bukunya hilang. Entah hilang, atau kemana, namun cewek ini menyadari satu hal. Terakhir kali ia menggunakan buku tersebut adalah di perpustakaan. Apa mungkin masih di sana? Atau... sudah bersama tumpukan buku-buku tak berguna lainnya? Atau malah sudah terdampar di dalam tempat sampah bersama puluhan sampah lainnya?

Tapi Bu Dian si penjaga perpustakaan tidak mungkin sekejam itu untuk membuang bukunya. Terakhir kali yang ia lihat banyak tumpukan buku-buku tak terpakai di meja perpustakaan. Bisa saja bukunya berada di antara tumpukan-tumpukan itu kali ini?

"Ratinka Mara Derisha!"

Satu interupsi dari sang guru sejarah membuat jantung Mara berdegup lebih kencang. Panggilan berdasarkan absen yang kini mencapai pada namanya membuat Mara mau tak mau maju selangkah demi selangkah menghampiri sang guru. Dan tepatnya, tanpa membawa apa-apa. Tidak dengan bukunya yang hilang.

"Buku kamu mana?"

Mara menggigit bibirnya, "Saya nggak tau tapi kayaknya—"

"Nggak tau? Buku kamu sendiri kamu nggak tau?"

"Saya pikir buku saya ketinggalan di perpustakaan kemarin, jam istirahat saya ke perpustakaan, ngerjain tugas sejarah ini, dan... saya pikir saya lupa bawa bukunya dan ketinggalan di perpustakaan," jawab Mara. "Tapi tolong, Bu. Kasih saya kesempatan, saya akan balik lagi ke perpustakaan buat ngambil buku saya—"

"Iya kalau buku kamu masih ada. Kalau enggak? Atau... iya kalau emang omongan kamu benar? Kalau enggak?" tanya sang guru dengan nadanya yang angkuh. Ia melanjutkan, "Saya kasih kamu toleransi, buku itu harus ada di meja saya sebelum bel pulang sekolah bunyi. Kalau enggak..., resiko kamu tanggung sendiri."

"Setuju?" tekannya lagi.

Mara mengangguk pasrah. Dalam hati mendengus. Berpikiran sama, itu pun andaikan bukunya masih ada. Kalau tidak? Tidak mungkin ia menyelesaikan rangkuman dua bab penuh dalam satu hari disertai pelajaran-pelajara lain, kan?

Semoga saja bukunya masih ada.

"Yaudah, silahkan kamu duduk kembali ke kursi kamu."

-o-

Dana berjalan santai mengitari koridor kelas XII IPS yang mana salah satu kelas di sana juga adalah kelasnya. Sambil melewati beberapa kelas yang bukan kelas tujuannya, cowok itu menggenggam sebuah buku tulis bersampul coklat.

Dana melirik ke dalam kelas XII IPS 2 lewat jendela, beberapa anak berada di sana juga bersamaan dengan beberapa yang keluar kelas. Mencegah kemungkinan orang yang dicari sudah pergi, Dana buru-buru menghampiri pintu kelas itu.

Salah satu orang yang ia kenal keluar dari kelas itu, Dana buru-buru menepuk pundaknya dan disambut dengan tengokan tanda tanya. "Ridho!"

"Apa?"

Dana menyembunyikan buku tulisnya di balik punggung. Cowok itu menggumam pelan sebelum membalas, "lo kenal Ratinka, nggak?"

Ridho yang ditanya menautkan alisnya. "Ratinka?" Dana mengangguk. "Tau. kenapa?"

"Dia di kelas ini, kan?" tanya Dana lagi.

Ridho kembali menautkan alis-alisnya, menatap bingung dengan beberapa aspek tak penting yang ia pertanyakan dalam kepala. Untuk ukuran seorang Dana, bagaimana bisa kenal kenal dengan salah satu cewek anti social yang tak sengaja ia temukan kalau bukan karena satu kelas?

TrustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang