Dana merenggangkan dasi kupu-kupu merah yang nyentrik ketika ia pakai itu, lantas buru-buru melepasnya setelah beberapa menit yang lalu foto bersama satu kelas sebagai kenang-kenangan semasa SMA. Menaruhnya dalam saku celana jeans pendeknya, Dana pun melenggang keluar kelas sambil memainkan topi bundar yang baru dilepas dari kepalanya, ia berdiri di depan balkon dengan pandangan ke bawah, ke arah panggung. Pemandangan drama musikal dengan tema Cinderella di sana, Dana sedikit menunjukkan senyumnya mengingat drama tersebut merupakan pilihan dari kelas cewek yang akhir-akhir ini dekat dengannya.
Akhir-akhir ini dekat dengannya...
Kalimat barusan seakan memiliki sesuatu yang membuatnya mengernyit. Mengernyit untuk tak setuju. Mereka terlalu dekat, bukan hanya dekat. Ada sesuatu yang mengganjal yang membuatnya harus mengakui ia butuh lebih dari sekedar teman. Dana mengakui bahwa ia menyukai cewek itu. namun, Mara... cewek itu terlalu abu-abu untuk diterka. Seharusnya ada sesuatu yang memperjelas hubungan mereka.
Dana mendesis menyadari dirinya bagaikan cewek yang merasa digantungi. Dan ia sendiri pun menyadari tak pernah mengatakan bahwa ia menyukai Mara secara langsung.
Ia menghela napas, melirik ke bawah lagi dan menemukan pemandangan si Cinderella dengan pakaian lusuh yang kini dimaki-maki kedua kakak tirinya. Tak ada Mara di sana, yang ia ingat cewek berperan di balik panggung, bukan di depan panggung seperti cewek yang ia ingat bernama Sarah itu.
Dana menaikkan sebelah alis ketika mendengar derap langkah kaki dari arah belakangnya, atau tepatnya tangga yang berada di belakangnya. Ia pun membalikan tubuh dan mengetahui siapa yang datang lantas berucap panjang umur dalam hati sebagai mitos yang selama ini beredar.
Yang tengah menaiki tangga adalah Mara, si cewek yang membuatnya perang batin sedetik yang lalu.
"Kok balik? Ada yang ketinggalan?"
Mara lantas menaikkan kepala kaget mendengar pertanyaan tersebut. Ia mengangkat kepalanya dan hampir menghentikan langkah ketika menyadari siluet dari cowok yang paling dikenalnya berada beberapa meter di depannya, menyender pada balkon dengan satu tangan menumpu di atas besi pembatas dan satu tangan lagi memegang topi bundar berwarna hitam.
Rasa silau membuatnya menyipitkan mata, Mara melanjutkan langkahnya hingga benar-benar menapakan kaki dilantai tanpa undakan dan menyadari betapa sepinya koridor. "Nggak, cuma mau balik aja, mindah-mindahin properti per adegan bukan tugas gue" jawab Mara, dirinya ikut berdiri di sebelah Dana lalu melirik ke panggung, "di sini sepi. Lo nggak nonton di bawah?"
Dana memunculkan senyumnya. "Nggak ada lo."
Mara menaikkan sebelah alis mendengar itu, sedikit senyuman muncul dan ia malah ikut menyederkan tubuh ke balkon.
"Gimana nyokap lo?"
"Baik."
Dana menarik ujung bibir mendengar itu, menyadari perubahan raut Mara ketika pertanyaan itu ia lontarkan. "Lo tau maksud gue."
Mara mendesah. "Masih... sama."
Dana mengernyit kecil. "Itu Cuma... lo dan gue dalam satu rumah—"
"Itu nggak Cuma itu, Dan," balas Mara akhirnya. "Ada sesuatu antara gue sama nyokap gue." Mara menghela napas lagi, menunduk menatap sepatu kets abu-abunya dengan pikiran menerawang ke kasus lain.
Dana memalingkan wajahnya seketika, kernyitan di dahinya tambah mendalam. "Apa?"
Mara menggigit bibir, melirik Dana dalam beberapa detik, lalu kembali menunduk seakan sesuatu yang mereka bicarakan merupakan sesuatu yang sungguh sulit. Ya, terlalu sulit. Dana bukanlah termasuk di dalamnya, tak ada peran yang dimiliki cowok itu. Namun, Mara seakan ingin menumpahkan segala hal yang ia rasakan untuk selalu terbuka dengan Dana. Sejauh ini, hanya cowok itu yang tahu segala hal tentang dirinya selain Sania. "Gue..." sulit, satu hal itu masih sulit untuk dikatakan. Ia menghela napas lagi, "gue bukan anak kandung."
KAMU SEDANG MEMBACA
Trust
Teen FictionHidupnya indah, pada masanya. Satu masalah datang membuatnya bertransformasi menjadi dia yang lain, yang tak dikenal dan tak mau dikenal. Hidupnya berubah hitam, monoton, tak bergairah. Namun, ketika muncul setitik harapan cerah yang datang untuk me...