#7 - Guessing

1.6K 225 9
                                    

Matanya terpejam damai, namun tidak tidur. Udara dingin dari cuaca ataupun pendingin ruangan tak membuatnya menarik selimut untuk menutupi tubuhnya. Berbekal pakaian serba panjang, segalanya cukup membuat dirinya merasa hangat. Tapi tidak menghangatkan perasaannya. Hatinya.

Mara memejamkan matanya sementara otaknya kembali memutar kenangan lama. Sepulang Dana dari rumahnya, atau bahkan ketika cowok itu masih ada dan dirinya sudah masuk ke dalam kamar pun Mara mengingat-ingat hal yang tak ingin ia ingat kembali. Hadirnya Dana dengan tentang siapa dirinya dan ungkapan cowok itu mengenai piagam yang mencantumkan namanya sebagai wakil dari salah satu SMA di Bandung membuatnya mengenang kembali. Hal-hal di Bandung, hal-hal yang ingin ia buang jauh-jauh, yang jika saja Mara bisa mengulang masa lalu, ia akan menghapus memori itu, menggantikannya dengan hal lain yang jauh lebih baik. Atau, yang penting hal itu tidak pernah terjadi.

Mara membuka matanya ketika mendengar suara bel dari arah luar rumah. Ranjang bergoncang ketika ia  turun dari sana, berkali-kali bel terdengar dari luar kamar. Dengan malas, cewek itu keluar dari kamar menghampiri pintu rumah dan membukanya.

"Malam," sapaan ramah terdengar dari bibir seorang wanita kisaran umur dua puluh lima ke atas. Atau mungkin lebih akrab jika Mara panggil Tante. Sania Amora, adik dari mamanya. Satu-satunya keluarga yang ia punya di Jakarta.

Mara mendesah pelan. "Malam," balasnya.

Sania menjinjing paper bag dengan label salah satu restoran di Jakarta. Ia masuk melewati Mara, melangsungkan diri menaiki undakan tangga pendek yang menghubungkan ruang tengah dengan dapur sekaligus ruang makan. Dengan gayanya yang terlihat biasa keluar-masuk rumah Mara, wanita itu mengambil dua piring dari dalam lemari dan meletakkannya di atas meja makan.

Mara menarik kursi untuk duduk di hadapannya ketika Sania menuangkan makanannya. Dan menerima ketika Sania memberikannya.

"Gimana sekolah kamu?"

Mara mengaduk makanannya tanpa napsu. "Biasa aja."

Sania tersenyum. Ia beralih membuka lemari yang lain untuk mencari persediaan teh. "Mama kamu udah ke sini?"

Mara menggeleng kali ini.

"Papa?"

Satu kata itu membuat Mara mendecih sambil terkekeh sinis. "Boro-boro, paling sibuk sama perceraiannya yang nggak jadi-jadi. Atau malah sama pacar-pacarnya."

Mara tak pernah tahu tentang hal terakhir yang ia ucapkan barusan. Tapi yang jelas ia tahu adalah papanya yang sering bertengkar dengan Mama, dan setelah itu pergi entah kemana. Sekalinya pulang pun beberapa hari kemudian dengan raut lelah beserta pakaian kantor yang berantakkan. Mara tak benar-benar tahu alasan dibalik pertengkaran mereka hingga suatu hari kata cerai tersebut dari mulut papanya. Namun hal itu tidak terjadi sampai detik ini juga.

Orang tuanya masih utuh, tapi kasih sayang yang ia dapat tak seutuh kelihatannya. Mama tetap di rumah lamanya, di Bandung, sementara Papa sering datang dan pergi tanpa jadwal membuatnya berasusmsi lebih negatif lagi tentang papanya. Sekalinya datang pun selalu ada pertengkaran. Dan di saat itu juga Mara selalu kabur terang-terangan ke tempat manapun yang bisa membuatnya nyaman, dan yang terakhir kali ia lakukan ketika ia kabur dari rumah adalah hal yang paling ia benci seumur hidup.

Mara mendecih sekali lagi, dalam hati. Pikiran terakhir membuatnya ngilu seakan menamparnya secara mental untuk segera sadar bahwa hal-hal tersebut tak patut diingat kembali.

"Dia nggak pernah ke sini, aku juga nggak pernah ngarepin dia ke sini."

Sania berbalik, menatap Mara sendu tentang apa yang telah menimpa keponakannya itu. Ia mengulum senyum kecil. "Nggak kangen Bandung?"

TrustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang