Hal yang wajar ketika melihat dirimu dekat dengan orang yang kau percaya. Dan tak menghiraukan bagaimana keadaan kalian dulu, saat-saat pertengkaran, hingga saat-saat berdua. Ada kalanya pula ketika rasa percaya itu mucul, rasa-rasa lain ikut bermunculan. Berawal dari percaya, merambat menjadi rasa aman, nyaman, tentram hingga takut untuk selalu bergantung padanya. Pada siapa yang kau percayai.
Seperti... apa kamu yakin dia akan tetap begini?
Apa kamu yakin dia akan selalu bersamamu?
Bagaimana jika tidak?
Bagaimana kalau ternyata dia meninggalkanmu?
Bagaimana... bagaimana... bagaimana.... Dan persepsi negatif lainnya bermunculan bersamaan dengan rasa penasaran tentang apa jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut.
Dan kini, Mara. Ia menatap tangannya yang ditarik Dana agar mengikuti kemanapun cowok itu ingin pergi, meskipun hanya sekedar ke halte sembari menunggu kopaja datang.
"Lo kenapa?"
Mara terkesiap lantas melepas sebelah earphone yang menyantol di telinganya, menyampirkannya di belakang pundak, ia pun mengangkat kepalanya menghadap sumber suara. Dana menatapnya dengan dahi berkerut. Dirinya pun menggeleng pelan. "Enggak," jawabnya. Tangannya terangkat untuk mengusap lengannya yang tertutupi cardigan tipis berwarna biru pastel karena dingin yang disebabkan oleh hujan beberapa puluh menit lalu, selain wajahnya yang berpaling ke arah lain dengan gugup demi menghindari pertanyaan-pertanyaan berikutnya.
Dana sadar perubahan raut wajah cewek itu, namun ia memilih diam. Tangannya tergerak untuk menarik lengan Mara ketika melihat kopaja mendekat, namun cewek di sebelahnya itu seakan menahan tarikan itu terjadi hingga ia memalingkan wajahnya bingung. "Ayo?"
Mara menggeleng, membuat Dana mau tak mau melepaskan tangannya. "Gue... gue lagi nggak pengen pulang."
"Masih... karena nyokap lo?" tanya Dana dengan dahi mengernyit.
Mara menggedikkan bahu. "Gue Cuma nggak pengen sampai dan dapet introgasi, omelan, atau malah.. diem-dieman," balasnya, ia menggeser tubuh ketika banyak siswa yang berjalan seakan terburu-buru untuk mendapat kursi kopaja.
"Terus.... Gimana kalo ke rumah gue?" Seketika alis Mara naik sebelah. "Lo tenang aja, ada kakak gue kok. Kita nggak mungkin bakal Cuma berdua, lagipula kalaupun nggak ada kakak gue pasti ada Kikan di sana. Atau... Kikan dibawa. Gue nggak tau pasti bakal ada kakak gue atau enggak, tapi, sekalinya dia pergi itu nggak akan lama."
Mara mengernyit, ia sendiri juga tak terlalu memperdulikan ada atau tidaknya Kak Tamara. Namun, kalau yang dipikiran Dana adalah tidak mau membuatnya salah paham, jelas hal itu membuat Mara tersenyum dalam hati. "Okay," jawabnya.
"Okay?"
"Okay. Kita ke rumah lo kalo lo nggak keberatan."
Tepat saat itu, senyum lebar Dana muncul. "Okay," katanya, lalu tanpa pikir panjang ia pun menggandeng tangan Mara memasuki kopaja bersama—tentu dengan Mara yang lebih dulu. Keduanya terdiam sebentar di pintu masuk, melirik kanan kiri hingga menemukan sepasang kursi kosong tersisa. Secepat mungkin keduanya menghampiri, dengan Mara berada di dekat jendela dan Dana di pinggir.
"Lagu favorit?" tanya Dana ketika melihat satu earphone menganggur, tangannya geratil untuk menarik benda kecil yang mengeluarkan alunan lagu tersebut dari pundak Mara dan memasangnya di telinga sendiri.
"I got no favorite song, it just me and my thought," ucap Mara dengan senyum kecil berbarengan dengan lirik dari lagu 1 of Those Weaks yang terputar secara acak satu menit yang lalu setelah lagu sebelumnya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Trust
Dla nastolatkówHidupnya indah, pada masanya. Satu masalah datang membuatnya bertransformasi menjadi dia yang lain, yang tak dikenal dan tak mau dikenal. Hidupnya berubah hitam, monoton, tak bergairah. Namun, ketika muncul setitik harapan cerah yang datang untuk me...