#10 - Is That a Threat?

1.6K 221 24
                                    

Gelap.

Satu-satunya cahaya sebagai penglihatannya hanya berbekal dari lampu tidur di kamarnya. Sebuah cermin dari meja rias di hadapannya. Mara mendesah pelan, sudah dua hari lamanya dan cewek itu masih bisa melihat bekas lemparan bola tercetak jelas di bawah matanya. Dan itu... jelek banget.

Mara jadi punya ciri khas baru yang membuat dirinya makin risih untuk dilihat tiap berjalan di area sekolahnya. Ciri khas tentang 'cewek yang di tolong Dana'. Cewek yang sampai dibela-bela Dana hingga cowok itu naik pitam dan hampir menghajar Adam. Adam, cowok yang berkali-kali minta maaf padanya. Dan Mara yakin, bukan karena rasa bersalah yang lebih besar dimiliki Adam namun rasa takut cowok itu pada Dana.

Dan, Dana punya pengaruh besar di hidupnya kali ini.

Terutama dengan kemunculan Karina beberapa hari lalu.

"Mar, kamu denger Mama, kan?"

Mara otomatis menggeleng menyadarkan diri bahwa ada yang sedang menunggunya berbicara dari sambungan telepon di ponselnya. Ia mengusap wajah, dan buru-buru menjawab, "Iya, Ma. Maaf,"

"Kamu ngantuk?"

Mara menaikkan alisnya, "Enggak kok, enggak. mama lanjutin aja."

"Nggak ada lagi kok. Cuma mau bilang yang tadi, Mama ke Jakarta hari sabtu, itu aja. Mama tutup teleponnya ya? jaga kesehatan kamu. jaga diri kamu di sana juga meskipun Mama nggak ada di sana."

Jaga diri...

Jaga diri...

"Mar?"

Mara melamun lagi. ia menghela napas pelan, upaya semoga mama tak mendengar. "Iya?"

Setelahnya, Mama pamit untuk memutuskan sambungan telepon.

***

Buku-buku dibereskan bersama dengan suara riuh lega yang terdengar dari dalam kelas XII IPS 2. Setelah instruksi dari sang guru untuk segera keluar dari kelas melangsungkan jam bebas untuk istirahat, beberapa murid mulai berdesakkan keluar dari pintu kelas. Dan beberapanya, masih di dalam, entah mengobrol ataupun berupaya mengerjakan PR untuk pelajaran selanjutnya.

Dan Mara, ia bergegas untuk keluar dari kelas, berarah pada tempat persembunyiannya yang baru-baru ini diketahui Dana. Namun, satu panggilan membuatnya kembali menghadap sang guru.

"Kamu bisa bantuin saya masukin nilai nggak?" tanya sang guru. Ia melanjutkan lagi, "Dari buku-buku yang udah dikumpulin tadi. abis itu, kamu bawa rekap nilainya ke ruangan saya, sekaligus buku-bukunya kamu bagiin lagi ke temen-temen kamu, bisa?"

Mara mengangguk patuh. Rencananya untuk beristirahat di perpustakaan gagal kali ini. "Bisa, Bu."

Lalu akhirnya Mara dengan setengah hati menerima daftar nilai yang diberikan sang guru. Ia kembali duduk di kursinya, kali ini sekaligus membawa tumpukan buku tulis yang telah dinilai. Berat. Tapi, siapa yang mau bantu? Bahkan, hampir seluruh murid di kelasnya tidak ada yang memperdulikannya.

"Oh ya, Mar. sekalian ya, buku-buku pinjeman yang di atas meja kamu bawa kembali ke perpustakaan."

Tugasnya pun bertambah satu lagi.

-o-

"Serius. Belakangan ini gue nggak pernah liat Dana sama itu cewek." Kania berucap diselingi dirinya yang meminum jus apelnya sambil terfokus pada ponsel di genggamannya. Lagi, ia menaikkan kepalanya. "Lo apain, Kar?"

Karina terkekeh kecil menanggapi. "Emang gue sejahat apa sih? Gue cuma ngomongin dari hati ke hati. Ngomongin perasaan sesama cewek. Udah gitu aja," jawabnya sambil tersenyum. Otaknya kembali mengingat gertakan kecilnya pada Mara hingga perubahan air muka cewek tersebut.

TrustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang