Mara menjatuhkan pulpennya setelah dirasa cukup untuk mengerjakan tugasnya kali ini, tangannya pegal-pegal karena menulis esai yang panjang untuk pelajaran sejarah. Ia menarik jus jeruk yang dibuatkan Bude Sri untuknya dari atas meja, lalu meminumnya. Sejurus kemudian rasa kekeringan di tenggorokkan hilang tergantikan dengan lega karena dahaga terpuaskan. Di detik selanjutnya, Mara membanting tubuh untuk menyeder di kaki sofa.
Cewek itu mendesah perlahan.
"Non Mara."
Panggilan dari suara wanita paruh baya barusan membuat Mara menolehkan kepala, menemukan Bude Sri di ujung ruangan.
Mara menggedikkan kepalanya seakan bertanya 'ada apa'.
"Ada temennya di luar."
Mara mengernyit. Mengingat kapan terakhir kali ia membawa temannya ke rumah, dan sementara itu yang ada di ingatannya hanyalah Dana. Hanya cowok itu yang pernah singgah ke rumahnya. "Siapa?"
Bude Sri menggeleng. "Nggak tau. Bude nggak pernah lihat, kayaknya baru pertama ke sini."
Kernyitan di dahi Mara belum sepenuhnya luntur, masih memikirkan Dana karena seingatnya Bude Sri belum pernah bertemu cowok itu, karena selama Dana ke rumahnya, Bude Sri selalu lebih dulu berpamit pulang. "Cowok?"
"Bukan. Perempuan, Non."
Perempuan, Mara menggumam dalam hati. Ia melepas kernyitan di dahi lantas berupaya untuk berdiri dari duduk lesehannya di atas karpet dan melangkah untuk keluar dari rumah. Tidak ada satupun teman perempuannya yang pernah ke rumahnya, dan Mara berani bertaruh bahwa ia sendiri pun tak pernah memberikan alamat rumahnya pada siapapun. Termasuk teman satu kelasnya sekalipun.
Dan, Dana adalah pengecualian. Kalau bukan karena cowok itu yang memaksa untuk mengantarkannya pulang kala ia pingsan karena tawuran beberapa waktu lalu dan terdampar di rumah Dana, Mara mungkin tak akan pernah mengucapkan alamatnya. Dan tak akan membiarkan cowok itu memasuki kehidupannya lebih dalam seperti sekarang ini. Hal itu merupakan hal yang paling ia sesalkan.
Namun Mara sendiri tak bisa membohongi diri kalau kehadiran cowok itu memberi warna tersendiri di kehidupan barunya yang ia buat kelam. Membuatnya sedikit lebih cerah dari biasanya. Dan hati kecilnya pun merasa ada bagian dimana Dana membuatnya merasa utuh. Memiliki bagian yang disyukuri dan bagian yang disesalkan.
Seakan Dana berada di antara bahagia dan sesal. Dan Mara tak tahu ia akan berada di mana jika ia membiarkan Dana berada di lingkup kehidupannya.
Dahinya mengernyit lagi ketika keluar dari rumah dan melihat seorang cewek berdiri membelakanginya, rambut hitam panjang bergelombang yang sangat ia kenal, postur tubuh idaman cewek-cewek kebanyakan. lalu, sekilas wajah pun terlintas di benaknya, dan semakin nyata ketika cewek itu berbalik. Menatapnya, lengkap dengan senyuman.
"Hai, Mar."
-o-
"Cotton candy!"
Dana tersenyum memamerkan sederet gigi rapinya, menegaskan ketampanannya di depan khalayak umum ketika mendengar Kikan meneriakkan nama permen yang berada dekat dari jarak mereka berdiri. Cewek kecil itu menunjuk-nunjuk permen tersebut seakan-akan makanan yang paling ia idam-idamkan.
Langkahnya pun ditarik Kikan untuk mendekati spot dimana permen kapas berwarna pink dan biru pucat itu berada. Menyusuri toko kue tersebut, mereka pun sampai di depan tiang tinggi tempat permen-permen itu dipajang.
"Ambil."
Kikan pun meloncat-loncat berusaha menggapai namun selalu gagal karena tinggi yang bahkan hanya setengah tiang. Dana melirik sekitar seolah-olah tidak melihat gelagat bocah yang kini kesusahan itu. sejurus kemudian, Kikan melayangkan rayuan mautnya dengan mamasang tampang yang paling melas yang ia miliki dan menarik-narik ujung kaus Dana.

KAMU SEDANG MEMBACA
Trust
Teen FictionHidupnya indah, pada masanya. Satu masalah datang membuatnya bertransformasi menjadi dia yang lain, yang tak dikenal dan tak mau dikenal. Hidupnya berubah hitam, monoton, tak bergairah. Namun, ketika muncul setitik harapan cerah yang datang untuk me...