Dana mengetuk-ngetukkan jari-jarinya di atas meja kantin. Kini ia berada dilingkaran kumpulan cowok-cowok basket yang tak jauh-jauh dari kedua temannya, Dega dan Genta. Tanpa napsu untuk makan, Dana kembali menyenderkan diri ke sandaran kursi dan melipat tangannya. Memandang temannya dalam fisik semetara batinnya mengajak berkelana dengan segala pikiran-pikiran yang akhir-akhir ini menghantuinya.
"Lo kenal Mara, nggak?"
Salah satu dari temannya menaikkan alis. "Siapa tuh?"
"Gebetan baru?" tanya Genta yang kini mengangkat kepala disertai cengiran.
Dana terkekeh pelan, membayangkan sekilas untuk tipikal Mara yang nerd masuk dalam list gebetannya. Itu nggak mungkin, pikirnya. Tapi mara nggak jelek, tambahnya lagi. Dia Cuma... kurang bergaul. "Kacau lo," elak Dana.
Malvin menolehkan kepalanya. "Ade kelas? Kelas berapa?"
Dana mengerutkan kening, sedikit berpikir. "Bukan, seangkatan. Dua belas. Dua belas IPS... dua."
Dana mengerutkan keningnya lagi ketika melihat Malvin nyipitkan matanya. Satu pikiran terlintas. "Lo kenal?"
Malvin menaikkan alisnya, lalu menggeleng. "Enggak."
"Cantik nggak? cantik mah gebet aja kali," celetuk Dega.
Dana tertawa mendengarnya. Ia menunduk sambil memandang ponselnya, mengecek jam berapa sekarang. Tak membalas ucapan Dega, cowok itu bangkit, dan pamit untuk pergi.
"Gue ke kelas ya."
"Kelas mulu dah perasaan dari kemarin. Insaf udah mau UN?"
-o-
Derit pintu perpustakaan terdengar ketika seorang cowok jangkung yang dikenal semua kalangan murid Garda memasuki perpustakaan. Bau buku menguar, sekaligus hawa dingin dari pendingin ruangan yang digunakan perpustakaan merembas langsung ke pori-pori kulitnya. Dana kembali menutup pintu sebelum kepalanya melongok-longok ke arah dalam, ke antara sekat-sekat yang ada untuk menemukan apa yang ia cari—atau siapa yang dia cari.
Tanpa meninggalkan jejak di buku kunjungan perpus, cowok itu melangkah lebih dalam. Ke bagian terakhir perpus yang sempat ia lewati, tempat dirinya menemukan seorang cewek tertidur di kali pertama dan berganti dengan buku tulis sejarah yang mengenalkannya langsung pada si cewek tersebut.
Mara...
Dana menggumamkan nama cewek itu dalam hati. Senyum kecil terukir ketika melihat seorang cewek berseragam sama yang dilengkapi sweater sedang duduk di salah satu kursi-meja yang menempel pada dinding. Tempat terakhir ia menemukan cewek itu.
Dengan sedikit basa-basi, Dana menarik buku terdekat dari rak yang berada di sisinya tanpa sadar buku apa yang ia tarik. Dan melangkahkan kaki untuk menghampiri cewek yang kini duduk sendirian itu. Setidaknya, buku tadi bisa menjadi alasan mengapa seorang Dana bisa ada di perpustakaan.
Buku sejarah, untung gue nggak salah ngambil, ucapnya batinnya ketika melihat buku apa yang ia tarik barusan. Dana menarik kursi keluar dan duduk di sana.
Suara derit kursi yang nyaring membuat Mara melepaskan sebelah earphonenya yang sedari tadi ia pakai, kepalanya menoleh sekilas ke samping untuk melihat siapa yang kini duduk di sebelahnya. Dan matanya menyipit ketika tahu Dana-lah orangnya.
Mara mendesah pelan. Rasa was-was mengitarinya, sekaligus sebal untuk bertemu Dana lagi. Tipikal seperti Dana masuk dalam list orang-orang yang harus ia hindari. Meskipun kenyataanya semua orang memanglah ia hindari.
Berusaha menghiraukan orang di sebelahnya dan menghiraukan perasaan tak nyamannya, Mara kembali memasang earphone dan kembali tenggelam pada novelnya lagi. Bahkan posisinya sekarang terkesan memunggungi Dana—meskipun bukan begitu adanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
Trust
Teen FictionHidupnya indah, pada masanya. Satu masalah datang membuatnya bertransformasi menjadi dia yang lain, yang tak dikenal dan tak mau dikenal. Hidupnya berubah hitam, monoton, tak bergairah. Namun, ketika muncul setitik harapan cerah yang datang untuk me...