Trust x 12. Sebuah Senyuman

139K 9.3K 527
                                    

Minggu sore yang ceria, waktunya melakukan aktivitas-aktivitas menyenangkan. Namun Dana masih setia bergelung di atas ranjang kamar Genta. Cowok ini menghabiskan waktunya seharian di rumah teman seperjuangannya, juga bersama Dega. Selain waktu pagi mereka gunakan untuk main futsal bareng teman-temannya yang lain. dan mereka berpisah di suatu warung makan, berakhir di rumah Genta. Dan seterusnya sampai sekarang, Dana menghabiskan waktu di atas ranjang sibuk dengan ponsel, sementara dua temannya duduk bersebelahan di karpet sibuk dengan Video Game.

"Lo ke rumah Andri nggak, Dan?" Dega menoleh sekilas, lalu kembali fokus pada layar.

"Nggak. Nggak tau. Kayaknya enggak," jawab Dana sekenanya. Ia menenggelamkan kepalanya pada bantal.

"Kenapa?" kini gantian Genta yang bertanya sebelum pertanyaan yang sama juga akan dilayangkan Dega pada Dana.

"Nggak papa," matanya melirik pada teman-temannya yang membelakanginya. Suaranya teredam ketika memberi penjelasan. "Lo tau lah kakak gue gimana."

Sebelah alis Genta naik meskipun Dana tak melihat. "Dih, tumben lo mikirin Kak Tamara."

"Kak Tamara... yang suka marah," sahut Dega. Cowok itu menjulurkan lidah antusias pada Game, lagi, ia memikirkan sesuatu dari kalimatnya barusan. "Tamara... Ta-Mara. Lah, mirip Dan."

Dana terkekeh. "Apaan si lo." Dana melempar bantal ke kepala Dega, bantal itu melesat ke depan badannya, mengganggu penglihatan hingga Dega mengumpatkan kekesalannya. Apa lagi hal tersebut dipergunakan Genta hingga cowok itu menang.

"Mampus, goceng lo sama gue."

Kini gantian Dega yang melempar batal sebagai bentuk tak terima pada Genta. "Apaan lo gue kalah gara-gara dia." Ia melirik Dana dan tangannya bertumpu pada pinggiran ranjang. "Lo suka kan sama dia?"

Dana mengernyit sok tak mengerti. "Dia siapa?"

"Najis lu." Gantian Dega melemparnya dengan bantal kesal ditanggapi begitu, tentu saja sebagai teman dari zamannya SMA kelas X Dega merasa penasaran meskipun yakin kalau hal tersebut benar adanya, namun Dana selalu menyangkal. Dan hal utama yang ia inginkan adalah ketika Dana bilang 'iya' untuk hal itu.

 Dana terkekeh lagi, ia bangkit dari tidurannya dan kini benar-benar berdiri untuk menyambar jaket yang tersampir di kepala kursi kamar Genta. Sambil berjalan keluar kamar ia berkata, "Udah ah, gue mau balik. Capek doang di sini nggak ngapa-ngapain mending tidur di rumah."

"Lah lu daritadi tidur kampret."

Sahutan Dega dibalas tawa entah itu dari Dana maupun Genta yang ikut keluar untuk mencari minum.

-o-

Keadaan rumah agak berantakan. Kini Mara menyesal menyuruh Bude Sri pulang sementara ia melupakan fakta Bundanya akan ke rumah malam ini. Apa lagi, dengan sok merasa bisa, Mara mencoba membereskan barang-barang lama yang ingin ia pisahkan antara akan digunakan lagi atau tidak. Barang-barangnya ketika pindahan di hari pertama. Dan sangat tidak mungkin kalau Mara memanggil Bude Sri kembali untuk membantunya, meskipun hal tersebut bisa saja ia lakukan.

Bude Sri adalah pembatunya—yang bekerja paroh waktu hingga Mara pulang sekolah—semenjak beberapa minggu pindah dan menetap di rumah sendiri sesudah dirinya merasa tak mungkin untuk tetap tinggal merepotkan Sania—tantenya yang mengajak ke Jakarta. Mara merasa ia merepotkan, dan mamanya juga bilang begitu. Dengan mereka yang masih memiliki salah satu rumah di perumahan Jakarta, rumah yang tak pernah dipakai yang rencananya akan digunakan ketika mereka berencana merantau ke Jakarta, dan ternyata lain hal dari yang direncanakan, tempat orang tua Mara bekerja memperkerjakan mereka di Bandung. Hingga rumah yang ditinggali Mara ini tak ada penghuni.

TrustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang