Dana keluar dari ruang olahraga, tempat penyimpanan alat-alat olahraga entah dari ekskul manapun, dan satu yang ia ambil adalah bola basket. Rencananya, ia akan bermain-main dengan teman-temannya di lapangan sewaktu istirahat ini.
Beberapa orang menyapa, dan Dana menyapanya balik disertai cengiran bersahabat. Cowok ini tidak pilih-pilih soal berteman, siapapun akan ditemaninya, namun yang paling ia percaya adalah orang-orang yang membuatnya nyaman. Layaknya dua sahabat karib yang sekelas dengannya itu, Genta dan Dega.
Matanya mengedar ke penjuru koridor dan tatapannya berhenti tepat di ruang guru. Seorang cewek, dengan beberapa tumpuk buku tulis dari yang bersampul sampai yang tidak bersampul berada di tangannya. Dan cewek itu juga menyadari keberadaannya ketika Dana mendekat.
Dengan sedikit alis berkerut, Dana menyapa, "hai!"
Mara menatapnya sebentar, lalu mengulas senyum kecil yang langsung disambut dengan naiknya alis Dana. Tentang betapa takjubnya cowok itu bahwa Mara tak secuek biasanya. Apa kedekatan mereka sewaktu di rumah Mara membawa perubahan? Dan cengiran terlepas dari bibirnya, ia melirik tumpukkan buku di tangan cewek itu. "Nggak ngerti deh, setiap ketemu lo pasti ada tumpukkan buku di tangan."
Mara terkekeh pelan. "Cuma buat jadi perwakilan ngambil buku kok."
Dana menaikkan alisnya. "Perwakilan? Emang nggak bisa cowok? Atau ketua kelas lo gitu?"
"Lagi sibuk ngerjain tugas," jawab Mara asal. "Lagian gue yang disuruh kok."
"Asisten guru nih?" canda Dana. "Sini gue bantuin bawa?"
Mara menaikkan alis, melirik bola basket di genggaman Dana membuatnya berpikir bahwa Dana membantu membawa buku adalah tidak mungkin. Cowok itu bisa ribet dengan banyak barang. Dan ia menggeleng, "Nggak, nggak usah. Lo bawa bola basket."
"Ya kan bolanya bisa gue tumpuk di atas buku."
Mara menggeleng, senyumnya melebar memperlihatkan gigi-gigi rapinya. "Ribet Dan, makasih, tapi gue aja."
"Gini, deh," Dana melirik bolanya. "Lo bawa bolanya, gue bawa bukunya?"
Mara menggigit bibir, lalu tersenyum dan mengangguk. "Okay."
Ia menyerahkan bukunya pada Dana, dan cowok itu berupaya mengambil namun bola ditangannya membuatnya menjadi sulit, bola itu jatuh menggelinding di lantai. Berarah pada satu tujuan seakan-akan semua hal tersebut telah direncanakan Tuhan untuk terjadi. Membuat Mara meringis dalam hati menyadari bahwa masalah kembali mendatanginya.
Tentang bola basket tersebut menggelinding tepat di depan kaki mulus seorang cewek dengan sepatu kets warna hitam. Karina.
Dan satu nama itu membuat senyum Mara luntur.
Karina mengulas senyum manis pada mereka berdua, ia menunduk untuk mengambil bola, membuat helaian rambut berkilaunya jatuh seiring dirinya yang membungkuk. Lalu kembali berdiri tegak dan berjalan mendekati Mara dan Dana dengan menyibakkan rambutnya ke belakang. Penuh percaya diri dan penuh penekanan entah di setiap langkah ataupun tatapan tajamnya pada Mara. Dan senyum yang seakan menutupi sesuatu.
"Nih," Karina menyerahkan bola basketnya.
"Thanks," ucap Dana, ia menunjuk Mara sebagai isyarat bahwa bola itu untuk Mara. Dan di tangannya kini berada tumpukkan buku yang sebelumnya sudah berpindah tangan.
Mara menerima ketika Karina melayangkan sodoran padanya. Mata mereka bertemu, tepat saat itu Karina menampilkan senyumnyaa kembali. Seolah riang, cewek itu menyapa Mara, "Hai Mar!"
Dan butuh beberapa detik untuk Mara kembali mengucapkan kata 'hai' yang sama namun berbeda intonasi dengan hai yang sebelumnya.
"Gue ke dalem ya," ucap Karina. "Mau ngumpulin tugas. Dah Dan, Mar!" kalimat terakhir sebelum cewek itu pergi dari hadapan mereka, ke arah pintu ruang guru yang berada di belakang mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Trust
Teen FictionHidupnya indah, pada masanya. Satu masalah datang membuatnya bertransformasi menjadi dia yang lain, yang tak dikenal dan tak mau dikenal. Hidupnya berubah hitam, monoton, tak bergairah. Namun, ketika muncul setitik harapan cerah yang datang untuk me...