#23 - Regret

1.7K 104 16
                                    

Satu bulan berlalu setelah ketegangan dalam Ujian Nasional kala itu. Bagian-bagian dimana semua murid SMA berjuang mati-matian untuk mendapatkan nilai terbaik, atau malah pasrah dengan keadaan. Keluar dari kelas terpanas semasa tiga tahun perjuangan lalu mengumpat habis-habisan tentang betapa susahnya soal-soal tersebut, atau ada yang bernapas lega karena merasa diberi kemudahan dalam megerjakannya.

Dan salah satunya adalah Mara, hasil dari tiga tahun belajar di SMA—satu setengah tahun di Aksara dan satu setengah tahun di Garda—akan terlihat sebentar lagi. Bagian dimana dirinya menunggu saat-saat menegangkan ketika harus dihadapkan pada pengumuman seleksi masuk perguruan tinggi. Sebagian diri merasa yakin untuk lolos, dan sebagian lagi tidak. Namun, apa yang ia pilih merupakan salah satu hal yang selain hobi tapi juga hal yang merupakan kelebihannya.

Mara memejamkan matanya sekali lagi, menghembuskan napasnya lalu mulai membuka situs web khusus untuk mengetahui hasil seleksi tersebut. Beberapa pesan ia dapatkan dari Marissa maupun Sania, pertanyaan seputar 'bagaimana hasilnya?' dan Mara berharap tidak mengecewakan mereka orang-orang terpenting dalam hidupnya. Sekaligus, Dana, cowok itu masih tak ada kabar hingga malam ini, dan Mara menunggunya. Lalu tangannya pun teralih untuk mengetikkan apa yang harus ia tulis dalam kolom ketika halaman situs terbuka.

Dadanya berdebar ketika harus menunggu loading karena satu langkah kemudian ia akan menemukan jawabannya, bagaimana ia akan berhenti karena apa yang ia inginkan tercapai atau malah harus berjuang di ujian selanjutnya.

Dan mulutnya terbuka ketika apa yang pertama kali ia lihat adalah nama sekaligus asal sekolahnya, kotak hijau terang di bawahnya, dengan keterangan... lulus.

Hembusan napas tanpa aba-aba keluar sekaligus tawa kecil kelegaan. Bahkan Mara menghempaskan tubuhnya ke sofa, badannya serasa lemas tak bersisa karena lega. Lagi, dan kembali ia menegakkan tubuh dengan duduk bersila dan menghadap layar laptop. Desain Interior merupakan program studi yang ia inginkan meskipun ia harus berjuang lagi untuk masuk dalam jurusan itu, karena dirinya baru bisa masuk dalam Fakultas Seni Rupa dan Desain dari salah satu perguruan tinggi yang bertepatan di Bandung. Perguruan tinggi yang memiliki sistemnya sendiri.

Mara sudah memikirkannya matang-matang, sehabis dari sini ia akan pindah ke Bandung, kuliah di sana dan menemani Marissa untuk mencoba awal yang baru yang lebih baik. Kembali menginjakkan kaki di Bandung dengan mengingat kenangan lama sebagai pengalaman sekaligus pelajaran yang ia dapat agar tak terulang kembali. Dan ia pun merasa sebagai cewek paling beruntung kali ini.

Kesenangannya pun juga masih belum berujung, ia buru-buru mengetikkan balasan-balasan kebanggaan untuk Marissa sebelum sebuah panggilan masuk dalam ponselnya.

Dana.

Yang paling ia cari dan ditunggu-tunggu. Yang seharusnya menjadi orang pertama yang tahu hal ini karena cowok itu yang paling dekat dengannya akhir-akhir ini.

"Halo?" sapaan riang Mara terdengar. Ia menunggu Dana mengucapkan sepatah kata apapun itu namun cowok itu tetap tak memberikan suaranya. "Dan?"

"Hai?" ucapan diselingi hembusan napas tersebut membuat Mara mengernyit. "Lo kenapa?" tanya Mara hati-hati.

"Nggak," balas Dana. "Gue mau ke rumah lo bisa kan?"

Mara mengernyit. "Lo mau ke rumah gue tinggal ke rumah gue, Dan, biasanya juga gitu kan? Lo kenapa sih?"

Ada kekehan terdengar. "Nggak, nggak ada apa-apa. Yaudah kalo gitu gue ke sana, ya? Bye."

"Bye," sahut Mara sebelum panggilan tersebut terputus secara sepihak. Ia menghembuskan napasnya, apa yang terpampang di layar laptopnya kini tak lagi menjadi sesuatu yang menarik, niat untuk mengirim pesan membanggakan untuk Marissa pun tak terealisasikan, tidak ada lagi yang terpikir dalam otaknya selain tentang apa yang terjadi pada Dana kali ini. Cowok itu terdengar murung dari suaranya, memberi jeda pada percakapan bukanlah seorang Dana. Dana selalu punya topik menarik yang bisa menambah keseruan dari pembicaraan mereka tiap bercakap via telepon. Namun kali ini, to the point cowok itu meminta izin ke rumahnya sementara yang biasa Dana lakukan adalah tanpa izin.

TrustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang