#21 - The Truth

1K 131 20
                                    

Banyak yang berputar di kepalanya saat itu, terlebih lagi-lagi ia mengingat percakapan Dana pagi tadi. Obrolan Dana dengan Sania, tentang Tantenya yang mengatakan bahwa Mara akan mempercayai cowok itu. dan hal itu memberatkan dirinya, pada titik dimana jantungnya berada.

Mara tak bohong, ia bersyukur ketika cowok itu jujur mengatakan padanya semua ucapan Sania dan tak bertanya balik apakah ia percaya pada Dana. Karena pada kenyataannya, Mara tak tahu. Ia masih menghempaskan semua harapan-harapan dimana dirinya bisa menggantungkan diri pada seseorang. Karena ia takut, ketika dirinya mulai bergantung, orang itu meninggalkannya.

Dan kini, Mara menatap tangannya yang ditarik Dana agar mengikuti kemanapun cowok itu ingin pergi, meskipun hanya sekedar ke halte sembari menunggu kopaja datang.

"Lo kenapa?"

Mara terkesiap lantas melepas sebelah earphone yang terpasang di telinganya, menyampirkannya di belakang pundak, ia pun mengangkat kepalanya menghadap sumber suara. Dana menatapnya dengan dahi berkerut. Dirinya pun menggeleng pelan. "Enggak," jawabnya. Tangannya terangkat untuk mengusap lengannya yang tertutupi cardigan tipis berwarna biru pastel karena dingin yang disebabkan oleh hujan beberapa puluh menit lalu, selain wajahnya yang berpaling ke arah lain dengan gugup demi menghindari pertanyaan-pertanyaan berikutnya.

Dana sadar perubahan raut wajah cewek itu, namun ia memilih diam. Tangannya tergerak untuk menarik lengan Mara ketika melihat kopaja mendekat, namun cewek di sebelahnya itu seakan menahan tarikan itu terjadi hingga ia memalingkan wajahnya bingung. "Ayo?"

Mara menggeleng, membuat Dana mau tak mau melepaskan tangannya. "Gue... gue lagi nggak pengen pulang."

"Masih... karena nyokap lo?" tanya Dana dengan dahi mengernyit.

Mara menggedikkan bahu. "Gue cuma nggak pengen sampai dan dapet introgasi, omelan, atau malah.. diem-dieman," balasnya, ia menggeser tubuh ketika banyak siswa yang berjalan seakan terburu-buru untuk mendapat kursi kopaja.

"Terus.... Gimana kalo ke rumah gue?" Seketika alis Mara naik sebelah. "Lo tenang aja, ada kakak gue kok. Kita nggak mungkin bakal Cuma berdua, lagipula kalaupun nggak ada kakak gue pasti ada Kikan di sana. Atau... Kikan dibawa. Gue nggak tau pasti bakal ada kakak gue atau enggak, tapi, sekalinya dia pergi itu nggak akan lama."

Mara mengernyit, ia sendiri juga tak terlalu memperdulikan ada atau tidaknya Kak Tamara. Namun, kalau yang dipikiran Dana adalah tidak mau membuatnya salah paham, jelas hal itu membuat Mara tersenyum dalam hati. "Oke," jawabnya.

"Oke?"

"Oke. Kita ke rumah lo kalo lo nggak keberatan."

Tepat saat itu, senyum lebar Dana muncul. "Oke," katanya, lalu tanpa pikir panjang ia pun menggandeng tangan Mara memasuki kopaja bersama, tentu dengan Mara yang lebih dulu. Keduanya terdiam sebentar di pintu masuk, melirik kanan kiri hingga menemukan sepasang kursi kosong tersisa. Secepat mungkin keduanya menghampiri, dengan Mara berada di dekat jendela dan Dana di pinggir.

"Lagu favorit?" tanya Dana ketika melihat satu earphone menganggur, tangannya geratil untuk menarik benda kecil yang mengeluarkan alunan lagu tersebut dari pundak Mara dan memasangnya di telinga sendiri.

"I got no favorite song, it just me and my thought," ucap Mara dengan senyum kecil berbarengan dengan lirik dari lagu 1 of Those Weaks milik The Neighbourhood yang terputar secara acak satu menit yang lalu setelah lagu sebelumnya.

Dana terkekeh pelan, lalu lebih jahil lagi untuk menarik ponsel Mara dari genggaman cewek itu, mencari lagu lain yang mungkin bisa mereka nikmati. Dan Mara membiarkan cowok itu melakukan apapun sesuka hati pada ponselnya, juga membiarkan ketika tangan cowok itu menautkan jari-jarinya di sela jari miliknya sendiri, seakan bergandengan dalam diam selama perjalanan berlangsung. Menikmati waktu mereka dengan satu senyum kecil kebahagiaan ketika ia memalingkan wajahnya ke jendela.

TrustTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang