04 | Sebuah Penjara (2)

69 14 0
                                    

Leah menyadari kelas sudah sepi. Hanya ada tiga anak lelaki di sudut kelas yang tak Leah ingat namanya, sedang bermain game online di ponsel. Mereka semua tampak fokus, tenang, dan bersemangat. Leah iri melihatnya, ia tidak pernah dibelikan ponsel, tidak pernah menggunakannya. Satu-satunya alat komunikasi yang pernah ia pegang adalah telepon rumah dan surel di komputer. Setelah merasa terlalu lama memandangi para lelaki itu, Leah beranjak dari tempat duduknya dan berjalan keluar kelas. Di seberang kelasnya ada perpustakaan sekolah dan tempat itu sedang ramai, terlihat banyak sepatu berjajar di rak sepatu yang disediakan di luar perpustakaan.

Biasanya Leah ke sana, duduk dan membaca buku sampai diusir wanita tua penjaga perpustakaan yang bertubuh gemuk dan bersuara lantang. Tapi hari ini ia tidak ingin ke perpustakaan. Ada satu tempat lain di sekolah yang biasa ia jadikan pelarian sepi dan bosan. Ia akan mengunjungi tempat itu.

Leah berjalan menuruni tangga, keluar area gedung sekolah, dan berjalan ke area belakang gedung. Ada taman terbengkalai di sana, yang terdiri dari rumput, semak-semak, dan bunga-bunga liar. Leah duduk di atas sebatang kayu yang roboh. 

Kayu itu basah dan berlumut, ia penasaran apa yang akan ia temukan bila ia membelah kayu itu menjadi dua bagian. Cacing, serangga, kawanan semut merah, atau... sekelompok peri? Leah harap yang terakhirlah yang akan ia temukan. 

Peri-peri pucat dan transparan yang berkilau, yang sayapnya bergemerincing tiap kali dikepakkan. Sayangnya ia tidak punya kapak untuk membelah batang pohonnya.
Leah datang ke taman ini tidak sendirian. Ia membawa serta bekal dan buku pelajarannya, sejarah Indonesia. Membaca buku sejarah tidak terasa seperti "pelajaran", Leah tidak merasa dituntut untuk mencari jawaban dan memecahkan sebuah permasalahan. Membaca sejarah seperti menelusuri jejak yang sengaja ditinggalkan oleh masa lalu. 

Leah memakan bekal nasi goreng sisa sarapannya sambil membuka lembaran buku. Kilatan waktu berpusar di sekelilingnya, seiring matanya yang menjelajahi kata demi kata. Ilalang menjelma menjadi para pribumi bertubuh kurus yang bergelimpangan di atas tanah merah, tangan mereka membuka, melepaskan tekad yang telah mereka genggam sejak lama. Bunga-bunga aster berubah wujud menjadi bambu dan dahan runcing yang berlumurkan amarah. Pohon-pohon kini memiliki wajah, para pahlawan gugur yang namanya tercetak di buku sejarah, mengucurkan darah. 

Nasi goreng yang dikunyah Leah kini terasa hambar.

"Merdeka itu punya harga, tidak gratis."

Gambaran di sekelilingnya seketika retak dan berhamburan, bagai pecahan pixel yang berantakan. Leah tersedot kembali ke masa kini. Leah mendongak dari bukunya, berbalik untuk menatap dinding yang menjulang setinggi dua setengah meter di atasnya. Di sana, di tepi dinding, sedang berjongkok sesosok laki-laki bercelana abu-abu.

"Luu?"

"Kau pasti sedang baca bab kependudukan Belanda."

Leah menggeleng. "Jepang."

Luu meraih dahan pohon terdekat dan melompat ke tanah. Leah berdiri tiba-tiba, bekal dan buku di pangkuannya jatuh. Nasi gorengnya terbuang sia-sia ke atas rerumputan basah. Luu menghampiri Leah, gadis itu merengkuhnya erat. Menempelkan wajahnya ke jaket parasut Luu yang berwarna kuning terang dan memiliki sketsa harimau yang mengaum di bagian punggungnya. Jaket favorit Luu. Samar Leah bisa mencium harum susu dan lavender dari tubuh lelaki itu.

"Kenapa kau ke sini?"

"Aku tahu kau kesepian."

"Aku tidak pernah kesepian."

"Jangan berbohong. Kau kembaranku. Aku tahu apa yang kau rasakan. Di kelas tadi aku bisa membayangkan kau pasti sedang duduk di taman belakang sekolahmu, merenung, dan membaca buku sejarah. Jadi saat bel jam istirahat bunyi tadi, aku buru-buru memakai jaketku dan berlari ke sini."

Leah melepaskan pelukannya. "Kenapa kau tidak pindah sekolah saja ke sini, bersamaku?"

"Wah, kau barusan mengejekku? Ck, kan kau tahu aku sudah daftar dan tidak diterima. Sekolah ini untuk anak-anak pintar," Luu tertawa renyah, "aku ini idiot kelas satu. Sementara kau cerdas. Kadang aku meragukan kalau kita ini kembar."

"Aku tidak cerdas. Aku peringkat satu dari belakang."

"Itu karena kau tidak pernah peduli pada nilai-nilaimu dan mengerjakan segalanya asal-asalan." Luu mencubit pangkal hidung Leah.

Leah menarik Luu untuk duduk. Gadis itu sibuk memandangi wajah Luu yang berkeringat, manik-manik peluh di dahinya berkilau tersorot sinar matahari. Leah menatap lurus iris mata Luu yang cokelat terang. Sangat terang hingga mendekati hazel. Iris mata Leah tidak secantik itu, baginya iris matanya yang berwarna cokelat gelap itu membosankan. Kulitnya juga pucat hingga ia takut saraf-saraf di kulitnya akan terlihat. Sementara kulit Luu gelap dan sehat, berbanding terbalik dengannya yang seperti orang penyakitan. Luu selalu menyeringai geli atau tersenyum cerah, Leah selalu membisu dan lesu. 

Tapi Leah tidak iri, juga tidak peduli. Luu adalah kembarannya. Orang yang berbagi tempat dengannya dalam rahim yang sama. Berbagi darah dan asi yang sama. Luu adalah bagian dari dirinya dan itulah yang terpenting. Leah tidak peduli pada kenyataan bahwa Luu adalah kebalikan darinya. Tidak peduli kenyataan dalam alam bawah sadarnya bahwa bila ia bisa terlahir kembali, ia ingin jadi Luu yang berapi-api. Bukan Leah yang setenang danau tak beriak.
Kemudian suara bel yang berbunyi memecah hening di antara mereka, menandakan bahwa waktu istirahat telah habis. Luu berdiri diikuti Leah yang memandanginya dengan sedih. 

"Jangan pergi," katanya, "ayo kita bolos sama-sama. Jalan-jalan ke pelabuhan, ke alun-alun, atau ke pasar antik. Ke mana saja. Asal jangan tinggalkan aku di sini sendiri."

Luu sudah memanjat dinding. "Nanti Nini marah. Kau akan baik-baik saja. Nanti kita bertemu lagi di rumah, kan?"

"Kalau begitu kau akan jemput aku dan pulang sama-sama?" tanya Leah penuh harap.

Tapi Luu menggeleng. "Ada yang harus kukerjakan." Pemuda itu sudah siap meloncati dinding dan menghilang dari pandangan Leah, namun Leah belum siap.

"Luu, aku mimpi buruk."

"Mimpi tentang keluarga itu lagi?"

"Iya. Rasanya nyata sekali."

"Itu hanya mimpi buruk, Le. Bentuk atas ketakutanmu. Jangan takut, oke? Kau kan punya aku dan Nini. Nah, aku harus pergi. Ada orang yang akan datang ke sini. Baik-baik dengannya, mungkin dia bisa jadi temanmu."

"Orang? Siapa? Aku tidak dengar apa-apa. Aku tidak akan punya teman, Luu. Aku cuma punya kau." Leah berbicara pada dinding semen yang tuli dan bisu. 

Luu sudah pergi.

*

956 words

Gadis dalam Cermin✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang