21 | Lari (2)

30 10 0
                                    

"Kau mau tidur selamanya, Le? Bangun, Leah! Ayo, bangun! Kau harus lihat mataharinya. Lihat, Le. Sinarnya bahkan menyentuh kulitmu, hangat kan? Biar kubuka kerai jendelanya. Kau harus bangun." Ada sebuah suara riang yang masuk ke telinganya. Leah ingin membuka mata, tapi ada seseorang yang menempelkan lem ke matanya. Berat. Terlalu berat. Leah memaksakan diri, demi melihat sumber suara yang bergaung-gaung manis itu. Leah berhasil membuka matanya.

Tapi begitu matanya dibanjiri sinar matahari, pening menerjang. Ia mulai merasakan dentuman di kepala dan dada. Seakan ada yang menaruh gajah untuk berbaring di atasnya.

"Leah, Leah, kau sudah bangun?"

Leah membuka mulut. Tapi tidak bersuara.

"Sekarang hari Minggu. Ayo kita main petak umpet di halaman. Aku punya tempat persembunyian baru! Kalau kau mau, aku akan coba bantu temukan tempat sembunyi yang bagus. Aku janji aku tidak akan menemukanmu lebih cepat dari lima menit! Atau sepuluh kalau kau mau, atau satu jam. Terserah. Aku akan turuti apa pun maumu. Sekarang turun dari kasur. Ayo lakukan sesuatu yang seru."

Pola-pola warna yang berbayang dan menghalangi pandangannya perlahan menghilang semakin penglihatannya menyesuaikan diri. Wajah yang berbicara padanya itu mulai menampakkan rupa.

"Luu?" Suara Leah melantun parau.

"Ya?"

"Aku tidak bisa."

"Apa? Main petak umpet? Tidak apa. Tenang. Kita bisa main sesuatu yang lebih menantang. Petak umpet pasti membosankan. Bagaimana kalau kejar-tangkap? Kau yang kejar aku. Atau aku yang kejar kau? Oh, oh, Le? Kau belum coba panjat pohon mangga di depan rumah Pak Suto kan? Ayo! Akan kuajarkan. Aku bahkan sudah mahir memanjat sampai dahan tertinggi dan makan buah mangga Pak Suto di sana. Kau tahu, Lili bahkan bisa memanjat pohon dengan lincah. Jangan mau kalah dengan Lili."

"Ibu tidak suka aku bermain di luar."

Luu Kecil mengerang dan memberengut. "Kalau begitu akan kubawa Lili ke sini. Kita bermain di kamarmu saja. Kau tidak punya mainan menarik, tapi kurasa kita bisa menjadikan apa pun sebagai mainan, iya kan? Mereka bilang anak-anak kecil itu kreatif."

"Kau lupa, Luu. Aku alergi bulu kucing."

Pintu kamar dibuka tanpa diketuk. Seseorang masuk dengan nampan di tangan dan senyum terpatri di bibir. Rambut hitamnya melambai-lambai lemas ketika ia berjalan. Leah menoleh pada wanita yang berjalan menghampiri ranjangnya.

"Kau bicara dengan siapa, sayang?"

"Dengan Luu."

Wanita itu tersenyum lebar, menyelipkan rambut-rambut Leah ke balik telinga gadis itu. Matanya penuh oleh limpahan kasih dan sayang. "Waktunya minum obat."

Leah tidak menjawab. Ia membiarkan wanita itu mengangkatnya dan menata bantal-bantal agar bisa dijadikan tempat untuk Leah duduk bersandar dengan nyaman. Leah didudukkan. Wanita itu menuang pil dari botol-botol yang berbeda. Menyodorkannya satu-satu pada Leah untuk ditenggak dengan air putih.

"Aku tidak mau minum obat lagi, Bu."

"Kalau begitu kau harus cepat sembuh." Wanita itu mengecup pipi Leah dan mengusap-usapnya lembut. "Tunggu di sini sebentar. Ibu akan selesaikan satu pekerjaan lagi, lalu Ibu akan bacakan seri terakhir untuk buku favoritmu."

"Kenapa Luu tidak diberi obat, Bu?"

"Karena dia tidak sakit."

"Luu sakit."

"Tapi dia bukan anak Ibu."

Wanita itu pergi. Leah memandang langit-langit kamarnya. Bintang-bintang plastik yang mengeluarkan cahaya kuning saat malam tergantung di sana. Leah selalu menghitung jumlahnya, meskipun ia sudah tahu berapa. Leah hanya ingin memastikan tidak ada yang mencuri bintang miliknya. Satu-satunya yang mampu membuatnya merasa terang dan tenang ketika ia terbaring tak berdaya di atas kasur.

Luu menaruh dagu di atas tangkupan tangannya yang diletakkan di tepi kasur Leah. Luu sedang berjongkok di lantai. Leah menoleh.

"Jangan sakit hati, Luu."

"Aku tidak sakit hati."

"Ibu tidak bermaksud begitu."

"Iya."

Leah menggeser tangannya ke arah Luu. Luu mengaitkan jemarinya ke jemari Leah. Mereka bertatapan untuk saat yang lama.

"Aku rasa kau harus berhenti minum obat, Le."

Leah menggeleng.

"Obat itu cuma bikin kau makin sakit tiap hari. Sulit sekali mengajakmu keluar."

"Ibu akan sedih kalau aku menolak minum obat." Leah melepas tatapannya dari Luu, ia memandangi jari-jemari Luu dan kulit Luu yang gelap dan sehat. Jari-jari Luu langsing dan cantik, sementara miliknya pendek dan jelek. Leah beralih ke wajah bundar Luu yang manis.

Selalu tersenyum. Selalu bersemangat. Selalu berapi-api.

Untuk ukuran seorang anak berusia sebelas tahun, Luu tinggi dan berisi. Leah pendek dan kurus. Luu hangat, Leah dingin. Kulit Luu cokelat keemasan, Leah kira jantung Luu bukanlah jantung manusia. Tapi matahari. Karena Luu selalu bersinar. Sementara kulit Leah putih pucat, satu-satunya warna di kulitnya ialah lingkaran hitam di sekitar matanya. Mata Luu cokelat terang, mata Leah cokelat gelap membosankan. Luu selalu tersenyum, tertawa, dan menyeringai. 

Luu adalah musim itu sendiri. Ia adalah musim panas yang membara, musim semi yang berwarna, musim gugur yang menenangkan, dan musim dingin yang kuat. Sementara Leah seperti air danau yang tenang dan tak beriak. Tak terpengaruh oleh sekelilingnya. Kecuali ketika kemarau dan musim dingin. Ia bisa mengering hingga tak bersisa, bisa membeku hingga tak bersuara.

Leah selalu ingin jadi Luu.

Berjalan tanpa perlu digendong dan dipapah. Berlari tanpa perlu khawatir diteriaki. Leah ingin punya kekuatan yang cukup setidaknya untuk tertawa lebar. Selebar yang ia mau. Hingga rahangnya sakit. Ia ingin berlari sekencang yang ia bisa, hingga tersandung dan jatuh. Terluka dan merasakan perih akibat beraktivitas. Ia ingin berdiri sendiri. Tanpa Ibu memandanginya dengan gelisah dan khawatir.

Leah ingin jadi Luu.

*

805 words


Gadis dalam Cermin✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang