Leah mendengar banyak suara. Suara tangisannya yang teredam kain. Hembusan napasnya yang pendek. Langkah kaki Adonna di tangga. Samir yang mengoceh soal hafalan biologinya. Suara deru kipas angin yang berputar lemah di atap loteng. Dan ketukan berirama di jendela atap.
Ketukan.
Leah mengusap pipinya yang basah. Menghentikan semua gerakan. Menutup telinga dari suara lain selain yang berasal dari kamarnya.
"Le?" Suara samar yang teredam. Suara Luu.
Leah membuka lemari. Ia melihat tangan yang mengetuk jendela atapnya. Gadis itu bergegas turun dari lemari. Naik ke meja belajar dan mendongak, sinar matahari membanjiri penglihatannya. Gadis itu berjuang keras untuk membuka segel jendela yang berkarat dan mendorongnya. Wajah Luu muncul dan menyambutnya. Menghalangi sinar matahari dari wajahnya. Leah tidak bisa melihat jelas wajah Luu yang gelap. Tapi ia bisa melihat iris mata Luu yang terang tampak berkilat khawatir dalam remang.
"Kau menangis?" Luu mengulurkan tangan, ibu jarinya mengusap pipi Leah. "Kenapa?"
"Kau datang." Leah menggigit bibirnya. Merengkuh Luu. "Aku pikir aku akan terjebak di sini selamanya. Tanpa kau, tanpa Nini. Aku takut. Luu, aku takut kalau ini bukan mimpi."
"Kalau aku hanya ilusi?"
Leah susah payah mengangguk. Terisak. Luu menyuruh Leah menyingkir dari meja belajar. Leah menurut. Luu melompat turun.
"Ayo sini, peluk aku." Luu merentangkan tangan. Leah menghambur masuk. Luu menepuk-nepuk punggung Leah. "Apa aku terasa seperti ilusi?"
Leah menggeleng dalam pelukannya.
"Aku ke sini untuk menjemputmu pulang."
"Pulang ke mana? Aku bahkan tidak tahu aku ada di mana. Semuanya mengabur. Aku tidak tahu lagi mana yang harus kupercayai. Tidak ada lagi batas dalam semua ini, Luu. Tidak ada," ratap Leah.
"Kita akan pulang ke rumah. Ke pondok tua Nini, kau harus tahu apa menu makan siang kita hari ini. Gulai gurame, Le! Kita akan makan bersama, bertiga, seperti biasa. Kalau perlu kita gelar tikar di pekarangan. Kita akan piknik dadakan."
Leah hampir terbujuk oleh Luu dan percaya bahwa keluarga Halim hanya mimpi buruk sesaat sampai ia mendengar suara langkah-langkah kaki sedang menaiki anak tangga menuju lotengnya. Namun langkah kaki itu terhenti, digantikan suara Samir dan Adonna yang sedang berdebat di anak tangga. Lebih tepatnya Adonna yang mendebat dan Samir yang gelagapan.
Leah mengerjap panik. "Sembunyi," katanya. Ia menoleh ke kanan-kiri. Mencengkeram tangan Luu. "Naik ke jendela atap. Oke, ide buruk. Masuk ke lemari. Cepat."
Luu mengernyit. "Buat apa?"
"Sembunyi!" desis Leah, wajahnya berkerut.
"Aku tidak perlu sembunyi."
Leah terdiam sejenak. "Kenapa?"
"Mereka tidak akan bisa melihatku."
"Le?!" Pintu diketuk—lebih tepatnya digedor-gedor, kasar. Lalu tanpa menunggu sahutan dari pemilik kamar, pintu itu berayun terbuka. Adonna mengetuk hanya untuk memastikan Leah tidak sedang berganti pakaian. Adonna masuk dengan wajah ketusnya yang selalu berkerut-kerut. "Aku dengar suara-suara dari dalam kamarmu. Ngobrol dengan siapa?"
Leah menyahut lemah, "dengan siapa lagi, hanya diriku sendiri yang bisa kuajak bicara."
Leah melihat bibir Adonna menggumamkan kata sinting, tidak waras, dan rentetan kata lain yang tak tertangkap olehnya. Mata Adonna menjelajah seisi loteng. Lalu terpaku pada jendela atap yang terbuka. Kemudian mendengus kasar sebelum berbalik pergi.
"Tutup jendelanya. Papa bakal marah kalau tahu jendela atap dibuka. Dan kalau Papa marah kau tahu siapa yang selalu menanggung akibatnya? Aku! Jadi tutup jendelanya, sial." Adonna membanting pintu dan berderap menuruni tangga dengan menghentak-hentak.
Leah tercenung sebentar memandangi daun pintu yang tertutup. Sampai Luu keluar dari lemari dan menggenggam jemarinya. Erat.
"Ayo pulang."
Leah tidak menjawab.
*
518 words
KAMU SEDANG MEMBACA
Gadis dalam Cermin✔
Mystery / Thriller(COMPLETED) "Lalu kenapa aku tidak pernah tahu mereka ada?!!" sembur Luu. "KARENA KAU SUDAH MATI!!" * Leah Labourn kehilangan ayah dan ibunya di usia tiga belas tahun. Ayahnya mati bunuh diri. Semenjak itu Leah tinggal bersama kembarannya, Luu d...