Bulu matanya yang lentik mengerjap-ngerjap, matanya perlahan menerima cahaya dan warna. Leah pelan-pelan duduk bersandar, ia merasa seperti baru saja terbangun dari tidur yang teramat panjang. Matanya menangkap punggung seseorang yang sedang mengintip keluar, gerak-geriknya waspada. Sosok itu kemudian menoleh ke belakang. Menatapnya.
"Kau sudah bangun, syukurlah," desahnya pelan. Sosok itu menyugar rambut tebalnya ke belakang. Wajah kusamnya terlihat lelah. Leah meluruskan tubuh. Matanya melihat ke sekeliling. Jelas ia ada di selasar kiri pondok, pepohonan dan bel angin itu petunjuknya.
Ia masih di pondok. Berarti tadi itu mimpi. Atau sekaranglah yang mimpi?"Apa... tadi aku pingsan?" tanya Leah.
Aaris mengangguk.
"Kenapa?"
"Aku tidak tahu. Begitu aku keluar dari pondok, kau sudah terkapar di atas rumput. Aku langsung menggendongmu ke sini begitu mendengar deru mobil yang mendekat, maaf kalau itu tidak sopan tapi sungguh aku harus mengambil tindakan," ucap Aaris pelan. Ia berhenti sebentar, meneguhkan diri, lalu berkata, "dan lagi pula, kau benar."
"Soal apa?"
Bola mata Aaris menyuarakan ketegangan. "Samir. Lelaki itu datang."
Leah spontan menahan napas. Ia sontak menoleh ke belakang, takut Samir tiba-tiba menikamnya saat ia tidak waspada. "Lalu, sekarang apa? Kita harus apa?" tanya Leah, cemas.
"Kita lari ke motorku. Motorku diparkir di dekat sungai. Kita harus cepat. Kau bisa lari kan?"
Kepala Leah berdenyut-denyut tapi ia tetap mengangguk dan berdiri. Menahan sakit dan berlari untuk bertahan hidup bukan masalah besar baginya. "Tunggu dulu. Di mana Samir?" tanyanya buru-buru."Baru saja masuk. Ia akan segera keluar begitu tahu kau tidak ada."
"Kalau begitu—"
Tiba-tiba pintu pondok dibanting keras sekali hingga tertutup dan berdebum. Aaris dan Leah terpaku di tempat mereka. Ada seseorang yang berdiri di selasar depan pondok. Keduanya menegang. Otak Aaris tidak dapat bekerja untuk beberapa detik yang sensasional. Lelaki itu menoleh pada Leah pucat pasi.
"Aku akan alihkan perhatiannya, kau kabur ke motor."
"Tidak, tidak, aku saja. Aku tidak bisa naik motor. Samir tidak akan membunuhku. Samir... Samir sepupuku," balas Leah sambil berbisik cepat.
"Bagaimana kalau Samir membawa senjata? Kalau semua yang kau bicarakan soal keluarga Halim benar, Samir tidak akan segan mencelakaimu." Aaris menepis saran itu. Marah.
"Samir pengecut. Membunuh bukan hal mudah baginya. Kumohon cepat. Cepat pergi lalu jemput aku. Kumohon Aaris." Leah meremas-remas ujung jilbabnya. "Aku akan keluar. Lalu kau pergi sungai. Bersembunyilah di balik pohon-pohon angsana. Mereka akan melindungimu."
Aaris tidak menjawab. Ia memandang lurus iris mata gelap Leah yang dibingkai kantung mata hitam. Di mata Aaris, ia melihat gadis lemah yang kelelahan, gadis lelah yang memiliki tekad sekeras baja.
"Aku tidak akan lama," janji Aaris. Leah mengangguk. Aaris membiarkan gadis itu melangkah pelan ke selasar sisi depan pondok. Begitu kaki Leah berbelok ke kiri, Aaris berbalik pergi dan berlari. Napasnya menderu bersama angin. Semuanya berkilat dalam sekelebat bayang. Fokus Aaris hanya satu. Berlari secepat mungkin ke anak sungai dan mengendarai motor.
Di sisi lain, Leah menunjukkan dirinya pada Samir yang terlihat begitu gelap. Suram dan mencekam. Leah hampir tak mengenali sepupunya.
"Samir," panggil Leah.
Samir menoleh ke arah kedatangan Leah. Seulas senyum terbit di wajahnya. Senyum yang begitu redup dan lemah. "Akhirnya," katanya pelan. Genggaman tangannya di suatu benda yang tergantung di sisi tubuhnya mengerat.
"Kenapa kau di sini?"
"Untuk menemuimu."
"Pulang, Samir," lirih Leah, serak, "tempatmu bukan di sini."
"Papa tidak akan menerimaku."
"Adonna akan menerimamu. Kau masih punya kakak yang menyayangimu." Leah berjalan lebih jauh mendekati pekarangan. Masih di selasar, tapi ia tinggal melangkah selangkah lagi untuk turun dari selasar.
"Justru itu..." Mata Samir melayang pada Leah. Leah menemukan kekosongan yang dalam di sana. Sebuah keputusasaan."Justru itu aku harus di sini. Untuk Mbak Donna. Untukku."
Leah melirik benda yang digenggam Samir. Tangan gadis itu meremas-remas. Ia masih tidak dapat mendengar kedatangan Aaris. Anak sungai tidak jauh dari pondok. Kenapa Aaris begitu lama?
"Lalu... aku bagaimana?" Leah bertanya, tersenyum getir. "Apa cuma aku dan Nini yang pantas mati."
"Salahkan Nini. Kenapa semua warisannya diberikan padamu?!" Samir meledak. Leah tergagap melihat ledakan emosi yang mendadak itu. "Kalau Nini mewariskan sedikit saja, sedikit saja dari harta kekayaannya pada aku atau Mbak Donna, tidak ada yang perlu aku bunuh hari ini, Leah!! Aku... aku juga takut. Takut. Padahal, padahal aku dan Mbak Donna juga cucunya. Tapi kenapa cuma kau... kenapa cuma kau."
Leah menggeleng-geleng keras. "Kita bisa berbagi. Aku bisa berikan semuanya untukmu."
"Tapi Papa bilang, Papa bilang..."
"LEAH NAIK!!" Aaris tiba dengan motornya. Leah melompat dari selasar, tersandung di atas rumput dan bangkit dengan cepat. Gadis itu berlari ke arah motor Aaris dengan tersaruk-saruk.
"Papa bilang tidak boleh ada saksi mata!!" Samir berlari mengejarnya. Leah melompat naik ke atas motor Aaris dengan posisi menyamping, roknya menghalanginya untuk duduk di motor dengan benar. Samir menarik tangan Leah ketika Aaris menjalankan motor. Gadis itu jatuh berdebum ke aspal. Roknya tersangkut di pijakan motor. Aaris harus berhenti kalau tidak mau menyeret Leah dan membuat gadis itu terluka.
Aaris turun dari motor dan mendorong Samir yang menerjang Leah dengan pisau dapur di tangan. Aaris dan Samir berguling-guling di aspal. Leah buru-buru melepas roknya yang terkait di pijakan motor. Keringat dingin mengalir menuruni pelipisnya. Leah berburu dengan waktu. Ia panik melihat Aaris yang sedang kesusahan menahan tangan Samir untuk mengayunkan bilah tajam itu ke mukanya.
Samir berhasil membanting Aaris yang berada di atasnya ke samping. Leah menyaksikan itu dalam momen yang begitu lambat dan menegangkan. Seperti waktu sengaja menjebaknya untuk menyaksikan peristiwa itu dalam pergerakan yang menyakitkan untuk direkam mata.
"AARIS!!!"
Leah melihat darah dan air mata di sana.
*
856 words
KAMU SEDANG MEMBACA
Gadis dalam Cermin✔
Mystery / Thriller(COMPLETED) "Lalu kenapa aku tidak pernah tahu mereka ada?!!" sembur Luu. "KARENA KAU SUDAH MATI!!" * Leah Labourn kehilangan ayah dan ibunya di usia tiga belas tahun. Ayahnya mati bunuh diri. Semenjak itu Leah tinggal bersama kembarannya, Luu d...