Pagi buta Leah terbangun dan mendapati rumah kosong. Ia mengenakan mantel dan pasminanya sebelum turun dari loteng. Menempelkan telinga pada daun pintu kamar Adonna. Hening. Tidak ada sayup-sayup alunan suara musik pop yang biasa disetel sepupunya tiap pagi. Menempelkan telinga pada daun pintu kamar Samir yang terletak tepat di seberang kamar Adonna. Tidak ada ketukan kaki berirama yang selalu dilakukan Samir saat mengerjakan tugas tiap pagi. Tidak ada suara minyak yang meletup-letup atau pisau yang menyentuh talenan dari dapur. Tidak ada radio butut yang dengan serak mengabarkan berita lokal pagi hari.
Keluarga Halim pasti sedang pergi liburan, entah ke mana. Tanpa memutuskan untuk membawa Leah ikut serta atau setidaknya, mengabarinya ke mana mereka akan pergi.
Perut Leah bergemuruh. Leah menuruni tangga dan melangkah ke dapur. Ia membuka lemari makanan. Ada mi instan dan telur, tapi Bibi Shafia pasti tidak akan suka Leah mengambil mi instan tanpa sepengetahuannya. Bibi Shafia sangat sensitif soal mi instan.
Leah memutuskan untuk memasak telur ceplok. Leah membuka penanak nasi, kosong. Tidak apa, ia bisa merasa kenyang tanpa nasi. Ia mengambil teflon dari lemari, menaruhnya di atas kompor, dan memutar knop kompor.
Ctek. Ctek. Ctek.
Kompor tidak kunjung menyala. Gasnya habis. Leah menatap kosong teflon. Rasa lapar menggerogoti pikirannya. Ia mengembalikan teflon ke lemari dan membuka kulkas. Tidak ada buah apa pun yang bisa ia makan.
Matanya tertuju pada sekotak kue di bagian bawah kulkas. Leah menarik kotak kue itu, ada dua potong kue chiffon lemon di sana. Leah mengecek tanggal kadaluarsanya, makanan itu sudah kadaluarsa satu minggu yang lalu.
Bukan masalah.
Leah membawa kotak kue itu ke meja makan. Melahap potongan kue itu dalam hening. Kuenya dingin tapi masih lembut dan harum lemon. Leah memakan sarapannya dalam gelap. Seluruh bagian rumah suram dan mencekam akibat keluarga Halim selalu menghemat listrik dengan sangat berlebihan. Apalagi semenjak dua tahun yang lalu, perusaahan Paman Ibra bangkrut. Paman Ibra terlilit hutang yang besar. Mereka terpaksa menjual rumah dan pindah ke rumah baru, rumah warisan milik Bibi Shafia. Kemudian Paman Ibra melamar kerja dan diterima bekerja di sebuah pabrik gula. Dengan gaji yang berhasil membuatnya dapat membeli mobil bekas cicilan dalam waktu setengah tahun.
Leah melirik jam dinding. Pukul lima pagi. Ia beranjak berdiri, membuang kotak kue ke tempat sampah, dan masuk ke kamar mandi untuk berwudhu. Selepas shalat subuh, Leah masuk ke kamarnya. Memejamkan mata dan tertidur pulas.
*
"Lagi?!"
Suara menggelegar itu membuat Leah terbangun dengan kepala yang berdentum-dentum. Ia bersandar pada kepala ranjang. Mendengarkan sayup-sayup suara yang berusaha saling mengalahkan. Keluarga Halim sedang bertengkar di ruang tengah. Suara mereka jauh tapi membuat telinga Leah sakit oleh dengungan samar. Leah tidak tahu apa yang mereka pertengkarkan hingga menjadi seribut itu. Bahkan Samir pun ikut berteriak, lebih gelisah, lebih ketakutan.
"Nanti para rentenir itu datang lagi ke rumah kita, Papa!"
Itu Samir.
"Tapi kita tidak punya apa-apa!! Aku bahkan belum bayar SPP tiga bulan. Kita cuma punya mobil dan motor bekas. Mau apa mereka dengan itu?"
Adonna menambahkan.
Leah menguatkan diri untuk turun dari kasur. Memakai pakaian lengkap dan membuka pintu loteng. Saat pintu kayu itu dibuka Leah dihembus oleh badai suara. Argumen-argumen penuh emosi itu tidak lagi mengambang di bawah permukaan. Semuanya terdengar jelas. Leah melangkah hati-hati menuruni tangga loteng.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gadis dalam Cermin✔
Mystery / Thriller(COMPLETED) "Lalu kenapa aku tidak pernah tahu mereka ada?!!" sembur Luu. "KARENA KAU SUDAH MATI!!" * Leah Labourn kehilangan ayah dan ibunya di usia tiga belas tahun. Ayahnya mati bunuh diri. Semenjak itu Leah tinggal bersama kembarannya, Luu d...