03 | Sebuah Penjara (1)

75 13 0
                                    

Gadis itu berhenti menggoreskan pena. Tangannya berhenti bergerak. Sebuah bayangan menghalangi cahaya untuk menyorot kertas di atas mejanya. Perlahan ia mendongak, lalu sebuah wajah dengan senyum begitu lebar muncul secara tiba-tiba. Leah tersentak mundur. Wajah itu menyeringai dan berputar-putar di depan wajahnya. Giginya runcing, pipinya merona. Wajah itu terus tersenyum padanya.

Senyum yang tak ramah.

Leah menunduk, wajah itu hilang. Suara ribut yang tadi membahana kini sayup-sayup memudar dari gendang telinganya. Gadis itu melihat ke sekeliling, hening. Ada remaja. Banyak remaja, meja dan kursi, papan tulis, penggaris. Ini ruang kelasnya.

"Kelas," gumam Leah. Ia memandangi wajah teman-teman sekelasnya. Mereka balas memandanginya.

Tersenyum.

"Leah," terdengar suara seseorang memanggil namanya dengan bingung. Orang itu mengetuk-ngetuk meja. "Le?"

Leah linglung mendengar seseorang memanggilnya. Suaranya dekat tapi bergaung seolah berada di tempat yang teramat jauh. Ia mengumpulkan semua fokus dan memalingkan wajah dari teman-teman sekelasnya yang masih tersenyum padanya.

"Apa?" tanyanya pada laki-laki yang memanggil namanya, yang duduk tepat di depannya. Wajah-wajah yang tersenyum itu hilang. Sayup-sayup Leah bisa mendengar riuh rendah teman-temannya yang hilir mudik, bukan lagi keheningan yang meresahkan. Semua orang sibuk berdiskusi, kelas mereka sedang diberi tugas untuk kerja secara kelompok. Untuk membuat dan mempraktikkan dialog bahasa Inggris di depan kelas.

"Ini, dialog kita, aku sudah buat rancangan kasarnya. Coba kau periksa dulu," katanya, mengulurkan kertas pada Leah. Uluran kertas itu diterima dan diteliti oleh Leah dengan baik. Gadis itu mengernyit samar.

"Kau yang menyelesaikan semua ini?"

Lelaki itu mengangguk.

"Kenapa?"

"Apanya?"

Leah menggumamkan sesuatu yang tidak bisa ditangkap telinga si lelaki, seperti bicara pada dirinya sendiri. Namun tetap saja, lelaki itu menatap Leah dengan lekat, seolah menunggu penjelasan. "Ini kerja kelompok," kata Leah akhirnya.

Lelaki itu mengulas senyum dan mengangkat bahu, "memang. Dari tadi aku diskusi dengan orang yang cuma diam melamun dan tidak pernah menjawab ketika kutanya. Jadi kuselesaikan sendiri."

Leah mengabaikan sindiran si lelaki, ia masih sibuk mengamati kertas itu, berusaha keras mencari kesalahan.

"Tulisanku jelek, susah dibaca. Bagaimana kalau kau salin dialog ini ke kertas baru?" lelaki itu menyarankan. Mendengar bahwa ia bisa berguna dalam kerja kelompok, wajah pucat Leah terlihat sedikit lebih cerah. Ia mengangguk dan mulai menyalin.

Aaris duduk bersandar pada kursinya. Memperhatikan Leah mencatat dengan tenang. Ia sudah mengenal Leah sejak kelas sepuluh, bukan sesuatu yang bisa dibanggakan. Semua orang di sekolah mengenal gadis itu. Dari kepala sekolah hingga ibu penjual gorengan di kantin belakang. Dari satpam hingga tukang koran langganan sekolah. Semua mengenal si gadis pucat yang matanya sayu dan lesu. Bukan karena gadis itu cantik, kaya, atau jenius. Tapi karena ayahnya yang merupakan orang asing, nama keluarganya, dan sebuah tragedi tiga tahun lalu yang menggemparkan satu negara.

Kasus bunuh diri seorang anggota aparat kepolisian, Luth Labourn.

Leah Labourn tidak terlihat seperti manusia bagi Aaris. Leah terlihat seperti makhluk khayal yang kebingungan, pucat, dan tak tentu arah. Matanya sendu dan layu, sekarat dan menggelora di saat yang sama. Gadis itu selalu berjalan-jalan seorang diri dan tidak memiliki teman. Tidak ada yang tahu bagaimana cara berteman dengan Leah. Semua orang menyerah di tengah jalan, teman-teman sekelasnya sudah berusaha mendekati gadis itu. Tapi mereka tidak sanggup. Mereka awalnya menganggap Leah sombong, namun sebutan itu tidak tepat untuknya.

Akhirnya mereka menyebut Leah abnormal. Menyebutnya orang aneh.

Tapi Aaris tidak bisa melihat keanehan dalam tubuh ringkih yang terlihat penyakitan itu, yang seakan-akan bisa ambruk kapan saja. Ia hanya melihat seorang perempuan yang hidup di dunia yang berbeda. Tersasar di tengah sekumpulan manusia yang tidak memahami dunianya.

Guru-guru mengasihaninya, menyayanginya. Sehingga meskipun Leah bolos pelajaran, melamun dan tidur saat jam KBM, para guru menganggap hal itu sebagai akibat dari duka yang kelewat berat. Aaris dipasangkan berkelompok dengan Leah setiap saat bukan karena kebetulan, tapi karena para guru percaya Aaris bisa—setidaknya—melakukan sesuatu untuk gadis itu. Anak-anak lelaki di kelas terlalu kasar, acuh tak acuh pada Leah dan anak-anak perempuan terlalu dendam untuk mau membantunya, beberapa bahkan merasa ngeri padanya. Sementara Aarislah satu-satunya yang terlihat netral, santai, dan ramah. Karena itu mereka memilihnya.

Aaris tidak keberatan, meski menurutnya tindakan para guru tidaklah bijak. Membiarkan Leah tidak berkembang dengan alasan mengasihani hanya akan membuat gadis itu terjebak di tempat yang sama dan tertinggal di belakang. Tapi Aaris tidak pernah protes, ia selalu diberi nilai tambahan karena membantu Leah. Lagi pula ia suka dikelompokkan dengan Leah dan mengerjakan segalanya sendirian. Ia suka mengamati betapa uniknya manusia dan sejauh pengamatannya, Leah adalah jenis manusia yang tidak pernah ia temui. Ia ingin sedapat mungkin terus berkomunikasi dengan Leah. 

Aaris merasa seperti peneliti yang sedang mengobservasi objek penelitiannya yang langka. Ia tidak merasa dimanfaatkan karena ia pun merasa ia memanfaatkan Leah untuk kepentingannya sendiri.

"Sudah." Leah mengulurkan kertas yang tadi dicatatnya pada Aaris.

Aaris mengecek hasil kerja Leah dan mengangguk puas. "Tulisanmu bagus," komentarnya. Aaris mendongak dari kertas, sedikit mengharapkan Leah membalas pujiannya dengan ucapan terima kasih. Namun yang ia dapatkan adalah gadis yang kembali tercenung. Menatap kosong ke sembarang arah dengan dagu dalam pangkuan telapak tangan.

Aaris tersenyum tabah. Ya, setelah setengah tahun menjadi "rekan kerja", Aaris tidak pernah berhasil memulai pembicaraan. Leahlah yang memutuskan apakah ia mau membuka pembicaraan dan Leah juga yang memutuskan kapan pembicaraan itu berakhir.

Aaris salah besar. Ia tidak akan pernah bisa memanfaatkan gadis itu.

*

830 words

Hai, gimana ceritanya? Aku harap kalian suka. Jangan lupa votes dan komentarnya kalau kalian excited buat baca part selanjutnya! Terima kasih.

Wholeheartedly,

Zulfa

Gadis dalam Cermin✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang