14 | Menuju Kebenaran

52 12 0
                                    

Dalam mimpi itu ia melihat seseorang menangis di sampingnya. Menggenggam tangannya. Tangan itu beku dan dingin. Sangat menyakitkan untuk disentuh. Leah membalas genggaman itu erat. Tubuhnya kaku. Ia tidak bisa bergerak entah seberapa keras ia berusaha. Otaknya bersikeras menyuruh saraf-sarafnya untuk terus berjuang. Tapi ia tidak bisa. 

Terlalu menyakitkan hingga ia bingung apa jangan-jangan ia sungguhan sekarat. Lalu beberapa detik kemudian ia mendengar seorang wanita bersenandung penuh cinta. Cinta yang berlebihan. Menyuapi seseorang yang berbaring di sampingnya dengan sesuatu. Butuh usaha besar bahkan untuk menggerakkan bola matanya dan melihat benda apa yang membuat orang di sampingnya itu gemetaran.

Leah terlonjak bangun tepat ketika ia melihat wanita cantik menyuapi orang itu dengan pil-pil berwarna putih. Lalu Leah ingat bahwa wanita itu wanita yang sama yang membuatnya membenci permen.

"Bangun. Kita akan berangkat naik angkot. Lima belas menit kau tidak turun, akan kutinggal!" Adonna melempar gayung yang tadi ia pakai untuk membanjur Leah ke lantai. Leah mengusap wajahnya yang basah.

Bagus, ia tidak perlu jauh-jauh ke kamar mandi untuk cuci muka.

Leah melepas piamanya yang basah, memakai seragamnya lalu turun ke kamar mandi untuk menyikat gigi. Lima menit kemudian ia sudah memanggul ranselnya dan turun ke lantai satu.

Bibi Shafia tidak menyiapkan sarapan untuknya. Leah tidak bisa berbohong kalau ia tidak lapar. Lapar sekali hingga ia takut bisa pingsan di sekolah. Leah berjalan masuk ke dapur, hendak membuka kulkas. Namun tangan Bibi Shafia menahannya.

"Kita harus berhemat."

"Tapi aku belum makan dari kemarin malam."

"Cari makanan di sekolah."

"Aku tidak punya uang."

"Kau punya tangan. Mengemis sana di lampu merah."

Semua orang menjadi sangat sensitif dan temperamental semenjak kejadian kemarin. Sebelumnya Bibi Shafia tidak pernah sekasar itu padanya. 

Leah tidak menjawab. Ia hanya menatap lurus sepasang mata sinis Bibi Shafia. Mata sayunya yang memandang Bibi Shafiya dengan lemah dan lesu dianggap menghina. Keluarga Halim tidak pernah memukulnya. Hanya Adonna yang pernah melakukannya. Namun kini tangan Bibi Shafia melayang padanya dengan bebas.

"Jangan tatap aku begitu!" pungkasnya, "kalian pikir aku bisa diremehkan begitu saja karena aku tidak bisa melawan? Dasar tidak tahu sopan santun!!"

Leah menahan diri untuk tidak meringis dan menyentuh pipinya yang berdenyut-denyut. Bibi Shafia memukulnya dengan amarah pada Paman Ibra yang telah memukul wanita itu kemarin. Bila dibiarkan, semua keluarga Halim akan memukulnya bila mereka tak sanggup melampiaskan amarah mereka pada satu sama lain. Ia akan menjadi tak lebih dari sekedar samsak pucat tak bernyawa.

"Aku berangkat." Leah pergi tanpa mencium tangan yang telah menamparnya. Adonna dan Samir sudah menunggunya di halaman rumah. Begitu melihat Leah, Adonna segera berjalan pergi tanpa memedulikan apakah adiknya dan Leah mengikutinya atau tidak.
Samir berjalan di samping Leah.

"Aku tidak punya uang untuk naik angkot." Leah berujar.

"Aku yang bayarkan."

"Maaf. Suatu saat nanti akan kuganti." Leah mengatakan itu karena ia tidak mau punya hutang sepeser pun pada keluarga Halim. sekecil apa pun nominal uang yang dipinjamnya, keluarga Halim akan mengungkit-ungkitnya dan menjadikan hal itu sebagai senjata.

"Tidak perlu. Itu bukan salahmu. Salah Papa dan Mama karena tidak memberimu uang." Samir berkata tanpa melepas mata dari buku catatan biologinya. "Kita harus naik angkot karena Papa tiba-tiba pergi tanpa bilang mau ke mana pagi buta tadi," tambahnya, padahal Leah tidak menanyakan apa-apa. Leah mengangguk.

Leah melirik buku bacaan Samir. "Kau selalu baca buku biologi."

"Aku suka segala hal tentang biologi. Terutama serangga."

"Kenapa?"

Samir menoleh pada Leah dengan pandangan baru. Tidak pernah ada yang menanyakan pada Samir apa yang disukainya, apa yang bisa ia lakukan, apa yang ia ketahui, apa keahliannya. Keluarganya tidak pernah peduli. Tapi pertanyaan Leah tadi membuatnya mengira ternyata ada yang peduli padanya. Leah peduli padanya. Leah bahkan tahu kalau ia selalu membaca buku biologi.

"Aku suka serangga. Karena mereka makhluk yang unik untuk dipelajari. Jumlah mereka tak pernah habis. Jenis mereka selalu bertambah. Mereka adalah makhluk yang takkan pernah punah. Kau tahu apa serangga favoritku?"

Leah tak mengira Samir akan menjelaskan sepanjang itu.

"Aku paling suka serangga yang hidup hanya sehari, mayfly. Kau tahu?" Leah menggeleng.

"Mayfly, lalat capung. Aku ingin jadi serangga itu. Aku ingin tahu bagaimana rasanya mengetahui bahwa aku tidak memiliki hari esok. Aku ingin tahu bagaimana rasanya tidak punya cukup waktu untuk melakukan ribuan hal yang aku mau dan menikmati hidup sebagaimana mestinya."

Dan itu percakapan terakhir mereka sepanjang perjalanan.

*

676 words


Gadis dalam Cermin✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang