27 | Memudarnya Sang Kabut

29 7 0
                                    

Leah membuka matanya. Telinganya berdengung, kepalanya berat. Ia telah melakukan perjalanan waktu yang melelahkan. Kantung matanya menggelantung seakan siap untuk jatuh dan menampakkan apa yang tersembunyi di balik kulit. Pintu besi berwarna kelabu itu berayun terbuka. Seorang wanita dengan rambut terikat kencang berjalan ke arahnya. Garis wajahnya tegas, tapi terlihat nyaman untuk dipandang. Santai juga waspada. Aneh.

Wanita itu mengulas senyum tipis ke arahnya. Leah memandangi senyum itu seakan saat itu adalah pertama kalinya ia melihat sebuah senyuman.

"Merasa baikan?"

Leah tidak menjawab. Ia melirik cangkir teh dalam genggaman si wanita. Leah membersihkan tenggorokannya yang serak sebelum berkata, "apa itu untukku?"

Wanita itu mengangguk, memberikan cangkir itu pada Leah. Leah menunduk untuk mencium aroma teh yang menguar dari dalam mulut cangkir yang ditangkupnya. Cangkir keramik itu sewarna mawar merah muda yang berdebu. Cantik, lugu, dan misterius.

Aroma melati, min, lemon, dan herbal yang samar nan hangat masuk dengan leluasa ke rongga hidungnya. Leah mengalihkan pandangannya dari irisan lemon tipis yang mengambang di dalam cangkirnya. Lantas menatap sejurus mata wanita muda itu.

"Aku... ingin Aaris tahu." Leah berkata pelan. Tidak ragu, hanya ada selayang tipis ketakutan yang terselip di dalam kalimatnya. "Dia satu-satunya."

"Aku akan sampaikan padanya."

"Aku ingin dia tahu kalau aku..."

"Kau bukan pembohong, Leah."

"Tolong katakan padanya."

Wanita itu mengangguk.

Leahikut menganggukkan kepala. Hening menguasai. Gadis itu menunduk lebih dalam. Setitik air jatuh ke dalam cangkirnya.Wanita itu melihat bahu yang lemah itu bergetar kencang. Tetes demi tetes airberjatuhan ke dalam cangkir itu. Kini bukan hanya daun min, irisan lemon, danserbuk herbal saja yang mewarnai teh itu. Air mata juga turut hadir di sana

*

"Dia baik-baik saja?" Aaris spontan berdiri ketika seseorang masuk ke dalam ruangan. Pria paruh baya bertubuh sedang dan berperut rata itu dalam balutan seragam polisinya tampak memberikan aura yang berbeda ke ruangan itu dengan kedatangannya.

"Jangan tanya saya. Tanya Dokter Suri. Dia bakal datang sebentar lagi." Pria paruh baya itu menghempaskan dirinya ke salah satu sofa beludru berwarna oranye di dalam ruangan. Tomi Irawan namanya. Dua puluh satu tahun sudah ia mengabdikan dirinya pada negara sebagai polisi di sebuah kota kecil di Pulau Jawa, tempatnya lahir dan tumbuh dewasa. Tidak pernah ia berhadapan dengan kasus serumit ini, yang sebetulnya, bila ditarik dengan benar benang merahnya, amatlah sederhana. Begitu sederhana sehingga sulit dipercaya.

Satu-satunya yang membuat kasus ini teramat rumit adalah orang yang menjadi sorotan utama kasus, Leah Labourn. Keluarga Labourn pernah menjadi perhatian media nasional tiga tahun lalu. Kini, kejadian yang lebih menggemparkan akan membuat keluarga Labourn kembali menjadi perhatian utama media. Kisah Leah Labourn, bila bocor sedikit saja, akan menjadi cerita yang teramat menjual jika dipublikasikan menjadi buku atau cerita pendek di salah satu kolom koran besar.

Tomi mendongak untuk menatap anak muda yang masih dalam seragam sekolahnya, berdiri dengan gelisah memandangi pintu seolah akan ada bahaya besar datang dari sana. "Duduk, Nak. Jangan khawatir. Temanmu itu ditangani seorang profesional." Tomi mengibaskan tangan, memberikan gestur bagi Aaris untuk segera mengistirahatkan bokongnya di atas sofa yang empuk.

Aaris memandang pintu itu sekali lagi sebelum akhirnya menurut dan duduk dengan posisi kaku. Ia kemudian menatap Kapolres Kota yang terlihat begitu santai bersandar di kepala sofa seraya memejamkan mata.

"Apa akan ada yang dipenjara?"

Tomi membuka matanya sedikit, melirik Aaris. "Loh, penjara? Buat apa?" kekeh Tomi. "Tidak akan ada yang dipenjara. Kecuali kalau keluarga itu benar-benar ada dan semua skenario yang kalian beberkan padaku satu minggu lalu itu benar."

"Pernyataan kami berdua tidak dihitung sebagai keterangan palsu yang mempersulit penyelidikan?"

Tomi menggeleng. "Pernyataan kalian berdua tidak dihitung sebagai kebohongan. Lagi pula cuma Leah yang memberikan pernyataan yang berupa kepalsuan. Kau tidak. Dalam kasus ini, posisi Leah tidak berada di posisi yang bersalah. Kami hanya ingin membantunya."

Aaris mengangguk lesu. Ia menyugar rambut lebatnya ke belakang sebelum ikut menyandarkan punggung ke kepala sofa. Satu minggu lalu, ia menemani Leah ke kantor polisi begitu ia melihat mayat seorang wanita tua di atas kursi goyang. Matanya terpejam dan tampak begitu tenang. Aaris hampir mengira ia sedang bertindak lancang dengan masuk ke ruangan orang tua yang sedang beristirahat sampai ia menyadari ada sesuatu yang salah.

*

669 words

Gadis dalam Cermin✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang