20 | Lari

36 12 0
                                    

Berbayang-bayang. Penglihatan Leah terpecah dan berbayang-bayang. Putri malu membelah menjadi seribu, sehelai dedaunan lembap memecah menjadi dua, dua menjadi tiga, tiga menjadi empat, empat menjadi lima. Ia tak lagi memercayai matanya. 

Baginya indra-indranya itu adalah sekumpulan pendusta. Sesaat sebelumnya Leah merasa begitu yakin akan tujuannya, ia tahu ia akan ke mana, tidak tahu di mana tempat itu berada. Ia hanya tahu bahwa ia akan pergi ke suatu tempat. Sesaat kemudian, ia kebingungan. Langkahnya mulai mengambang tak tentu arah. Keyakinannya hilang seketika. Lalu sekarang ia ditarik kembali oleh tekad yang kuat. Tekad untuk bertahan hidup.

Lari.

Lari, Leah Labourn. Lari sampai keluarga Halim tidak bisa mengendus darahmu. Lari sampai maut lupa pada eksistensimu. Lari, Labourn. Darah Labourn tidak ditakdirkan untuk berhenti padamu. Masih ada garis keturunan yang harus diteruskan. Masih ada pohon keluarga yang harus dilanjutkan.

"Lari atau Samir akan membunuhmu," gumam Leah.

Lari.

"Samir akan membunuhku."

Kaki telanjang Leah memijak tanah hitam yang basah, penuh lumpur. Cacing menggeliat di sela-sela jari kakinya. Lintah melata di dinding-dinding. Kecoak merayap di atas punggung kakinya, naik ke dalam betis di balik roknya, terus ke paha, lalu kembali lagi ke kaki. Pikiran Leah sedang tidak ada di dalam rumah, sedang berkelana, memikirkan arah. Ke mana ia akan lari? Ke mana?
Samir mungkin sudah separuh jalan menuju tempatnya berada. Tidak. Tidak. Kota teramat luas. Samir tidak akan bisa menemukannya. Samir pasti sudah di sekolah, atau sedang ke sekolah.

Berarti satu hal yang pasti, hindari sekolah. Tapi di mana sekolah? Di mana ia sekarang? Leah melihat ke sekeliling. Kendaraan hilir mudik di atasnya. Senyap di telinganya perlahan berdesir menghilang, digantikan suara ribut knalpot dan klakson. Lalu ia menyadari berpasang-pasang mata yang terpaku ke wajahnya. Berpasang-pasang mata itu sebesar mata serangga raksasa, mengedip-ngedip penuh rasa ingin tahu. Wajah-wajah itu mendekat, terus mendekat. Mereka bertambah semakin banyak, mengerubunginya. Semakin banyak dan tak terkendali.

Leah terengah-engah. Dadanya naik turun. Leah mundur hingga punggungnya menabrak dinding. Mulutnya berusaha meraih udara. Matanya bersitatap dengan sepasang mata serangga yang gelap dan kelam, mata Samir.

"Kumohon." Leah menggeleng, peluh dingin menetes. "Kumohon, Samir. Jangan bunuh aku."

Samir tampak sepucat awan. Ketakutan menempel lekat di wajahnya. Tapi tangannya mengepal erat. Ada tekad yang sedang digenggam dan tak mungkin lelaki itu lepaskan. Tekad untuk mengakhiri hidup Leah.

"Bukan ini yang kau mau," ujar Leah, gagap.

"Ini yang harus kulakukan."

"Kumohon, Samir."

"Kau sudah jadi sepupu yang baik. Menakjubkan. Aku menikmati tiga tahun terakhir hidup bersamamu."

"Samir, ini salah."

"Kau yang mati atau aku yang mati."

"Atau kita berdua hidup."

"Aku akan dibunuh Papa."

"Paman Ibra tidak akan setega itu—" Tenggorokan Leah dicubit-cubit, lidahnya kelu. Satu kebohongan telah membakar lisannya.

"Papa membuat Nini meminum cairan asam. Lalu mencekiknya hingga mati. Padahal Nini mertuanya sendiri! Padahal Nini tua dan lemah! Kalau begitu apa yang akan dia lakukan padaku?!!" Ketakutan Samir berubah mengerikan. Ketakutan yang tidak terbendung bisa berubah menjadi gumpalan daging hitam, penuh kemarahan.

Pupil matanya membesar, Leah menggelengkan kepala. Kakinya tenggelam di tanah hitam penuh kecoak. Belasan lintah merayap ke tubuhnya. Menyedot darah. Mata serangga Samir terus menghujamnya, semakin tanah menariknya ke bawah, menenggelamkannya ke dalam kegelapan. Ia luruh dalam pelukan bumi.

*

495 words


Gadis dalam Cermin✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang