Angin berdesir halus dari timur. Ada sebuah nyanyian mistis yang bergemerincing tiba-tiba. Aaris tersentak, kepalanya menoleh cepat ke sana kemari mencari sumber suara. Sementara Leah di sampingnya diam, bergeming.
"Manusia," katanya, "selalu takut pada apa yang tidak tampak. Terdengar, terasa, tapi tidak terlihat. Ketakutan akan ketidaktahuan. Dengar suara itu, itu nyanyian angin, dengarkan. Jangan takut. Jangan takut pada bumi. Takutlah pada manusia, Aaris. Pada dirimu sendiri. Pada monster yang mendekam dalam satu relung gelap di hatimu."
Aaris menoleh, air mukanya menegang, kemudian mengendur. Bukan karena Leah mengucapkan hal-hal yang tak ia mengerti, itu sudah biasa. Ia terkejut akan dua hal. Pertama, karena Leah menyebut namanya. Satu setengah tahun lamanya, satu-satunya orang di kelas yang tak pernah menyebut namanya adalah Leah.
Aaris selalu penasaran bagaimana rasanya bila akhirnya Leah menyebut namanya. Kedua, karena raut wajah Leah. Suara gadis itu datar, tak berekspresi. Tapi saat Aaris menoleh pada Leah, ia menemukan kehampaan yang entah kenapa menyayat hati.
Gadis itu sedang bersedih. Sedang berduka. Leah menyuarakan kedukaannya dengan cara yang tidak dapat Aaris pahami. Begitu hening. Seolah ada gadis yang berteriak dan meraung-raung di dalam kepalanya dan gemanya keluar melalui mulut gadis itu dalam bentuk sepi.
"Ini rumahmu?" Aaris bertanya untuk memastikan Leah sungguh masuk ke rumah yang benar dan setelah itu, setelah melihat dengan matanya sendiri bahwa gadis itu sudah bersama dengan walinya, barulah Aaris bisa pulang dengan tenang.
Leah mengangguk. "Aku tidak akan masuk."
"Eh? Kalau begitu, biar kupanggilkan seseorang."
"Aku tinggal dengan nenekku."
"Akan kupanggilkan nenekmu."
"Dan dia sudah mati. Paman Ibra sudah membunuhnya. Sekarang giliranku. Giliranku. Samir akan datang sebentar lagi." Leah melihat tatapan Aaris yang gamang di antara dua garis, bingung dan skeptis. Aaris tidak percaya padanya. "Masuklah."
"Aku akan menunggu di sini," tambah Leah, lirih. Gadis itu berdiri diam memandangi punggung Aaris yang perlahan menjauh. Menaiki selasar, mencapai pintu pondok yang terbuka lebar. Dari situ saja Aaris sudah tahu jelas-jelas ada yang salah.
Aaris menoleh ke balik punggungnya, ke Leah yang sedang balas memandanginya. Langit semakin gelap, Aaris tidak punya banyak waktu. Ia memalingkan wajah dari Leah dan mulai melangkah masuk. Atmosfer pondok begitu dingin dan tenang. Terlalu sepi untuk pondok yang dihuni, tapi di saat yang sama, jelas-jelas memang ada kehidupan dalam pondok itu. Setiap barang yang tertata dengan rapi, hiasan-hiasan dinding yang cantik, permadani yang bersih, dan vas-vas bunga segar. Jelas ini bukan pondok yang ditelantarkan.
Aaris berdiri tak bergerak ketika kakinya sudah berpijak di ruang baca. Matanya mengarah pada sofa beludru merah berkepala tinggi di samping meja kecil yang di atasnya terdapat lampu payung cantik.
Lelaki itu dapat melihat seorang wanita tua, duduk di kursinya dengan wajah damai, membuka helai demi helai buku dengan ujung jari yang dibasahi dengan air liur. Nenek Leah. Aaris tersentak dari lamunannya. Ia baru sadar bahwa ia belum mengucap salam saking larutnya ia terbawa dalam permainan yang Leah beberkan. Ia terlalu terbawa suasana dan diperdaya oleh kata-kata Leah.
Bagaimana kalau tiba-tiba ia dipergoki pemilik pondok karena masuk dengan sembarangan? Aaris mengumpat dalam hati, lalu berbalik pergi. Langkah kakinya terhenti ketika angin berhembus masuk dan menggoyang sebuah pintu. Aaris mendengar suara pintu yang berayun tertutup dan membuka. Suaranya semakin lama semakin pelan. Lalu hilang. Pintu itu seakan memanggilnya untuk datang. Angin sedang memberinya pertanda.
"Persetanlah," geram Aaris. Ia berjalan cepat mendatangi sumber suara yang tidak jauh dari ruang baca. Kini Aaris berdiri di depan sebuah ruangan dengan pintu yang setengah terbuka.
Ia sedang dihadapkan pada pintu kebenaran. Ia hanya perlu membukanya dan mengungkap apa yang ada di baliknya.Aaris mengetuk pintu sebanyak tiga kali. Tidak ada jawaban. Ia menggenggam gagang pintu, lalu mendorong pintu itu perlahan. Derit engselnya yang halus membuat lelaki itu berkeringat dingin. Membuka pintu itu membuatnya merasa seperti penjahat, pelanggar privasi. Aaris menguatkan tekad, sebentar saja. Sebentar saja. Setelah itu ayo pulang.
Pintu terbuka.
Mata Aaris membelalak lebar. Lututnya bergetar. Napasnya tertahan di tengah jalan. Ada sebuah getaran hebat yang menjalari tubuhnya, dari kaki hingga kepala. Sesuatu yang tiba-tiba membuat nalarnya bekerja dengan cepat, otaknya menyalakan sinyal waspada. Karena kini matanya sedang menyaksikan sesuatu yang sedari tadi disangkal olehnya : ucapan Leah semata-mata adalah kejujuran.
*
663 words
KAMU SEDANG MEMBACA
Gadis dalam Cermin✔
Mystery / Thriller(COMPLETED) "Lalu kenapa aku tidak pernah tahu mereka ada?!!" sembur Luu. "KARENA KAU SUDAH MATI!!" * Leah Labourn kehilangan ayah dan ibunya di usia tiga belas tahun. Ayahnya mati bunuh diri. Semenjak itu Leah tinggal bersama kembarannya, Luu d...