23 | Menyingkap Kerai (2)

34 11 0
                                    

"Tidak mungkin... Ada yang salah. Pasti. Pasti ada yang salah..."

Aaris mengabaikan gumaman Leah, ia membelokkan motor melewati gapura yang setengah jadi di seberang sebuah toko tekstil berinterior mewah. Ia melirik Leah dari kaca spion. Lega melihat Leah hanya diam terpaku dan bergumam pelan. Karena Aaris sudah lelah melewati dua puluh menit yang menegangkan saat ia harus berhenti tiap lima menit sekali untuk menenangkan Leah yang terus bergerak-gerak gelisah. Jelas sekali Leah belum pernah naik motor.

"Kau lihat Luu?"

Aaris menggeleng.

"Aku seharusnya bersama Luu. Luu tidak suka aku dibonceng laki-laki."

Aaris berpikir sebentar. "Kau mau kita jalan kaki saja? Rumahmu sudah dekat?"

"Rumahku jauh. Di ujung bumi."

"Tentu."

"Naik motor saja. Luu tidak akan marah."

Aaris diam saja.

"Luu sudah mati."

Motor mengerem mendadak. Helm yang dikenakan Leah menabrak bagian belakang helm Aaris. Aaris buru-buru menoleh. "Maaf, maaf. Sungguh. Tiba-tiba, aku... aku kehilangan fokus, maaf," katanya.

"Kematian memang selalu mengejutkan."

Aaris mengangguk canggung. Ada perasaan tidak enak yang mengganjal hatinya. Perasaan yang tidak pernah ada sebelumnya ketika ia bersama Leah. Perasaan takut. Aaris ingat kalau Luu adalah nama kembaran Leah. Bulu kuduk Aaris meremang, ia meremas-remas setang motor. Memilih mempercepat laju kendaraannya. Biru di langit sudah berubah oranye kemerahan.
Ia harus cepat.

"Pegang behel motor di belakangmu. Aku bakal ngebut," kata Aaris.

Leah menoleh ke belakangnya. Tangannya kemudian menggenggam pegangan di belakang jok. Lega karena akhirnya ia bertumpu pada sesuatu.

Aaris terus mengebut sampai berbelok ke blok Krisna, ia mulai memelankan motornya. Blok itu kelewat sepi hingga ia merasa tidak tenang mendengar deru knalpotnya sendiri. Sesuatu terus-terusan membuatnya gelisah. Ia tidak ragu kalau sumber kegelisahannya itu berkaitan dengan Leah. Yang Aaris inginkan saat ini hanya mengantar Leah dengan selamat lalu pergi.

Pergi?

Aaris menampar dirinya sendiri dalam kepala. 

Tenang, tenang. Jangan mendramatisir keadaan. Kau dulu sangat ingin berteman dengan Leah. Sekarang pun sama. Jangan berlebihan, batin Aaris.

Aaris berhenti sekali lagi untuk mengecek Google Map, lalu melanjutkan perjalanan. Begitu ia tiba di mulut jalan dengan plang bertuliskan Jl. Sajingga, Aaris kembali memelankan laju motornya. Anggapan Aaris soal blok Krisna yang sepi dan menyeramkan tidak ada apa-apanya dibandingkan jalan yang sekarang sedang dimasukinya. Jalan Sajingga adalah definisi nyata dari terabaikan. Jalan yang tidak berpenghuni. Tidak ada tanda-tanda kehidupan dari rumah-rumah kosong itu. Jendela-jendela yang terpasang di setiap rumah kini memandangi Aaris dengan hampa. Aaris merasa ditelanjangi oleh mata-mata yang tak kasat mata. Desir angin sore terdengar bak nyanyian kematian untuknya, begitu syahdu dan meremangkan bulu kuduk.

"Yang mana rumahmu?" tanya Aaris, melirik Leah dari spion.

"Paling ujung," jawab Leah pelan. "Dekat anak sungai, dikelilingi peri-peri. Ada kehidupan dan kematian di sana. Kau akan menemukannya. Kau akan menemukan Samir."

"Kenapa Samir ada di rumahmu?"

"Dia sepupuku. Dia ingin membunuhku."

Aaris kehilangan akal, otaknya kelelahan mengikuti arus pembicaraan Leah. Ia ingin menyuruh Leah untuk berhenti menyebut nama itu. Nama yang tidak pernah ia dengar, nama yang tak bertuan bagi Aaris. Namun akhirnya ia memutuskan untuk menanggapi serius omongan Leah. Lebih baik begitu dari pada ia menyesal setelah ada darah yang tertumpah dan nyawa yang direnggut. 

"Kalau begitu kita harus telepon polisi sebelum ke rumahmu." Tapi apa polisi akan percaya? Aaris gamang.

Aaris melirik Leah sekali lagi, gadis itu terlihat was-was. Dan gerak-gerik Leah yang terlalu kentara menular pada Aaris. Ia mulai merasa ia akan dibunuh bersama Leah. Ia akan mati.

"Berhenti. Kita akan jatuh ke sungai kalau kau tidak berhenti sekarang."

Motor berhenti mendadak dan mengeluarkan decit yang mengerikan. Untungnya Aaris menjalankan motor pelan sekali hingga tidak terjadi kecelakaan yang tidak diinginkan. Bulu kuduk Aaris meremang ketika ia menyadari sekelilingnya, untuk sepersekian detik ia berpikir ia tak sengaja masuk ke dimensi yang berbeda. Pepohonan. Sungai. Bebatuan. Suara air yang mengalir berdesir dalam kepalanya. Membingungkan.

"Terlewat. Kita harus mundur." Leah turun dari motor. Aaris buru-buru melepas helm, mematikan dan mengunci motornya. Lalu tergopoh-gopoh menyusul Leah yang sudah melenggang pergi tanpa melepas helm. Kaki telanjang Leah yang menapak aspal begitu mengganggu mata Aaris. Kaki pucat yang telanjang dan keriput yang berlumuran air selokan itu terlalu ringkih dan rentan. Terlihat amat kontras dengan aspal yang panas, kasar dan berbatu.

Aaris berhasil menyusul Leah ketika gadis itu kemudian berhenti di batas antara aspal dengan rerumputan hijau segar. Aaris berdiri di samping Leah, memandang apa yang gadis itu pandang. Aaris begitu terpana, terlepas dari siraman cahaya matahari sore yang jingga keunguan yang melimpahi pondok, pondok itu sendiri—dengan dikelilingi rerimbunan pohon angsana dan bunganya yang bermekaran—berdiri begitu masygul.

Sekali lihat pun Aaris tahu bahwa umur pondok itu tak dapat dihitung dengan jari. Leah tidak melebih-lebihkan ketika mengatakan bahwa rumahnya dikelilingi peri-peri.

*

725 words


Gadis dalam Cermin✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang