30 | Jurnal Sarah Labourn

42 8 0
                                    

"Sekarang kita akan memulai dengan sudut pandang Sarah berdasarkan jurnalnya. Sarah bukan orang yang biasa menulis catatan harian. Tapi ia mulai merasakan dorongan dan kebutuhan untuk menulis jurnal setelah mengasuh cucu satu-satunya. Ia menyadari bahwa ia perlu menyiapkan diri untuk masa depan Leah setelah ia tidak ada. Umurnya sudah kepala tujuh saat itu. Dalam jurnalnya tercatat, minggu pertama Leah berada dalam pengawasannya, gadis itu tampak seperti orang-orang yang telah kehilangan orang tersayang mereka. Sedih, kehilangan, kebingungan, dan tertekan.

Minggu kedua, Sarah mulai menyadari bahwa Leah sudah sering bermain di luar dan terlihat sedikit lebih aktif. Leah bahkan terlihat mengobrol dengan seseorang, yang tak terlihat. Leah mengenalkan orang itu sebagai kembarannya, Luu Labourn. Sebetulnya kasus ini menarik. Dua orang, ibu dan anak, mendelusikan seseorang atau sesuatu yang sama. Saat itu Sarah menulis dalam jurnalnya, ia mengira Luu mungkin adalah jin yang sama yang menghantui menantunya. Sarah mengira ada aktivitas paranormal yang pekat yang menghantui keluarganya. Namun melihat latar belakang keluarga cucunya, tidak heran bila Leah mungkin mengidap gangguan kejiwaan. Dan kalau Anda bertanya soal sudut pandan saya, tentu Anda tahu apa yang saya pikirkan? Saya tidak menganggap kejadian itu sebagai aktivitas paranormal. Sarah tidak ingin cucunya satu-satunya yang telah melewati begitu banyak hal harus merasa terasing di rumahnya sendiri karena menyadari ia berbeda.

Karena itu Sarah memilih untuk mengikuti apa yang Leah pikirkan. Sarah mulai menganggap Luu juga cucunya, Luu hadir bersama mereka. Sarah menulis, sulit untuk membuat Leah tidak curiga padanya. Karena Sarah tidak bisa melihat Luu. Sarah tidak pernah berkomunikasi dengan Luu. Hingga Leah sering tertangkap bergumam bahwa Sarah mungkin membenci Luu. Tahap paling mengkhawatirkan bagi Sarah adalah ketika Leah membawa pulang seekor kambing dalam gendongannya. Kambing yang tak terlihat. Melihat cucunya tersenyum dan tertawa seraya menggendong angin adalah hal yang sangat mengerikan untuknya.

Sarah limbung dan ketakutan. Ia sempat terpikir untuk membawa Leah ke Rumah Sakit Jiwa. Ia takut keputusannya untuk membiarkan Leah seperti itu justru memperburuk kondisi cucunya. Karena itu ia menulis di catatan hariannya. Segala hal tentang Leah dan dunia gadis itu. Di dalam jurnalnya, Sarah menulis kalau Leah mengidap skizofrenia setelah kematian ayahnya. Setengah dari pernyataan itu betul. Leah memang mengidap skizofrenia. Tapi bukan setelah kematian Luth Labourn."

Suri menarik napas sebentar. Ia mulai membuka dokumen yang sedari tadi dibiarkannya membisu di atas pangkuannya. Wanita itu mengambil beberapa helai kertas dari salah satu map plastik.

"Sketsa keluarga Halim," katanya seraya menjajarkan empat helai kertas HVS ke atas meja kaca di depan mereka. Aaris dan Tomi bergerak mendekat untuk mengamati gambar-gambar tersebut.

"Pulpen," kata Tomi masih dengan mata lekat meneliti sketsa. Suri mengiyakan. Sketsa yang digambar menggunakan pulpen itu berantakan. Penuh coretan. Namun bila diteliti, terbentuk pola wajah yang cukup jelas di sana. Dan dari pola itu, tidak butuh seorang ahli untuk bisa mengetahui bagaimana karakter orang tersebut dari sketsa yang Leah buat.

Suri menambahkan, "Leah bilang keluarga Halim terlihat sama, sulit membedakan mereka. Mereka semua tidak memiliki warna. Leah berkata bahwa Luu berwarna kuning, Sarah berwarna marun, Dahlia putih, Luth biru tua, dan Aaris hijau." Suri menyelipkan senyum kecil di tengah kalimatnya untuk Aaris yang sedang berusaha keras mencerna semua kalimat Suri dalam sekali telan. "Leah mendeskripsikan keluarga Halim sebagai bayangan sekumpulan monster yang bersembunyi di bayangan miliknya. Sedari kecil, Leah punya imajinasi yang kuat. Hal itu memperparah kemampuannya untuk mampu membedakan mana khayalan dan kenyataan. Dari cerita Leah, kita tahu bahwa Sarah Labourn tidak mengetahui dua hal, yakni keluarga Halim dan kenyataan bahwa Leah sudah mengidap skizofrenia sejak umur sembilan tahun."

"Dua tahun sebelum..." Aaris menghentikan ucapannya. Memandang Suri.

Suri mengangguk. "Ya, dua tahun sebelum Dahlia ditangkap. Sembilan tahun adalah umur saat gadis itu mulai dicekoki obat-obatan oleh ibunya. Berdasarkan apa yang saya tangkap, keluarga Halim adalah bentuk ketakutannya atas kesendirian, dibuang dan ditinggalkan. Sementara Luu adalah refleksi atas dirinya yang lebih kuat, sehat, dan bahagia. Luu adalah bentuk dari apa yang Leah inginkan. Bisa dibilang Luu adalah keinginan terbesar Leah yang terpendam."

Aaris terdiam. Ia memikirkan Leah. Mendengarkan semua rangkuman hidup Leah dalam sekali duduk terasa kelewat berat untuknya. Ia dibebani perasaan yang bobotnya menyesaki kepala dan hati. Aaris sudah tak lagi dapat membedakan perasaan-perasaan yang sedang ia alami.

"Leah ingin kau tahu karena ia takut kau mungkin mengiranya pembohong. Leah masih belum bisa sembuh. Sulit bagi penderita skizofrenia untuk benar-benar sembuh. Perlu kutambahkan, bukan berarti tidak mungkin. Selalu ada keajaiban di dunia ini. Lagi pula, pada akhirnya, orang yang memiliki gangguan kejiwaan juga tetaplah manusia. Mereka masih butuh teman. Leah bilang cuma kau satu-satunya teman yang ia miliki."

Suri membaca salah satu lembar dokumennya dan menambahkan, "satu hal lagi, kami juga menduga Leah menderita prosopagnosia."

Aaris dan Tomi serempak mengerjap bingung.

"Kelainan yang menyebabkan otak kesulitan mengenal dan membedakan wajah orang. Tapi dunia selalu menyimpan keajaiban. Dia mengenal wajahmu. Juga namamu." Suri tersenyum lembut.

*

784 words

Gadis dalam Cermin✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang