Sebuah Epilog

71 11 0
                                    

Ia tengah berdiri di sebuah halaman rumah yang penuh dengan bunga-bunga widelia. Bersama dengan seorang pemuda berperawakan sedang yang memperhatikannya dari bangku kayu panjang di halaman. Pemuda itu memandanginya yang sedang tak bergeming di hadapan semak-semak bunga ester. Leah berjongkok dan memetik satu kelopak bunga ester, mengusap kelopak yang rentan itu dan menaruhnya di telapak tangan.

"Mau pulang sekarang?" tanya Aaris pada punggung gadis itu. Ia melirik arloji yang melingkar di tangan kirinya. "Coba tebak sudah berapa jam kita di halaman ini."

Leah menoleh ke belakang bahunya. Mendapati Aaris duduk disirami cahaya matahari sore yang bergelenyar dari langit, oranye keunguan. Gadis itu mengamati wajah yang sudah menemaninya dua tahun terakhir. Wajah Aaris selalu terasa membingungkan. Kadang berubah-ubah. Kadang tak berwujud. Seperti pecahan-pecahan pixel yang berantakan. Tapi Leah selalu tahu itu Aaris. Namanya tersimpan rapi di sebuah sudut memori. Menyiarkan radar yang terasa familiar, menyuarkan rona hijau yang sejuk dan nyaman.

"Tidak mungkin lebih dari tiga jam," gumam Leah.

Aaris tersenyum, "empat jam," katanya. "Aku sedang menunggu."

"Sampai empat jam?"

"Kau mau pulang?"

Aaris menggeleng. Kembali menyandarkan punggungnya ke kepala bangku kayu yang keras. Ia bersedekap dada, dalam diam memperhatikan rok chiffon putih Leah yang melambai-lambai tertiup angin. Tampak sangat cocok berada di antara semak dan bunga ester.

"Kau tahu kenapa banyak ester di sini?" Leah bertanya lagi. Mencabuti satu demi satu kelopak bunga ester dari tangkai yang dia amati.

Aaris berdiri dan mendekati Leah. "Kenapa?"

"Karena Luu suka ester."

Aaris sedikit terkesiap mendengar nama itu kembali disebut. Sudah setahun lebih Aaris tak mendengarnya. Leah sering menggumamkannya. Tapi tidak pernah benar-benar mengatakannya. Nama itu hanya berupa kata-kata samar yang bergetar di udara. Terseok-seok untuk sekedar mencapai telinganya.

Aaris menemani Leah kemari karena gadis itu berniat menjual rumah warisannya. Rumah bekas tempat masa kecilnya pernah berlabuh. Juga tempat ayahnya membunuh dirinya sendiri. Leah bilang ia ingin melihat rumah itu untuk terakhir kalinya sebelum benar-benr memutuskan untuk menjualnya. Tidak sulit menjual rumah kecil indah bekas dua kasus mengerikan terjadi asalkan agen yang menjual rumah bisa menemukan konsumen yang tepat.

"Apa Luu datang lagi?" Aaris bertanya dengan hati-hati.

Leah menoleh dari kelopak bunga di tangannya. "Datang?" ulangnya, tersenyum lemah, seolah Aaris baru saja mengutarakan pertanyaan yang konyol, "Luu tidak pernah pergi. Ia selalu ada. Hanya saja... aku memutuskan untuk mengabaikannya. Ia ada di sini." Leah mengetuk kepalanya dengan telunjuknya. "Tidak pernah ke mana-mana. Bahkan Luu ada di rumah ini. Mengamati kita."

Aaris spontan menoleh ke balik punggungnya. Tidak ada apa-apa. Untuk sesaat yang singkat jantungnya berdebar kelewat cepat, napasnya berhenti. Ia kembali menatap Leah setelah memastikan tidak ada orang lain selain mereka di halaman.

"Kau ingat apa yang dokter itu ceritakan?"

"Dokter Suri?" Aaris mulai merasa gelisah. Ia tidak bisa berhenti menggerakkan jari kaki di dalam sepatunya.

Leah mengangguk. "Aku sudah memikirkan ini sejak lama. Lama sekali. Haruskah aku memberi tahumu?" Leah memutar-mutar tangkai bunga ester yang baru saja ia petik. "Pertanyaan itu tak pernah berakhir. Tapi akhirnya aku memutuskan untuk melakukannya. Aku akan memberi tahumu."

Mata Leah mulai menerawang jauh. Aaris tidak bisa merasakan kehadiran gadis itu di sisinya. Leah mulai mengingatkannya pada masa-masa itu. Mengingatkannya pada Leah dua tahun lalu.

"Aku ke sini karena aku harus pamit dengan Luu. Luu ada di sini. Di bawah kaki kita." Leah menunduk. Aaris membeku. "Luu bukan imajinasi. Aku ingin memberi tahumu ini supaya bila kau tinggal, kau tinggal karena tidak ada lagi kebohongan di dalam hubungan kita. Bila pun kau pergi, aku tahu alasannya. Aku tidak akan bertanya-tanya. Luu bukan imajinasi, Aaris. Luu kembaranku."

"Le," panggil Aaris.

"Kami bukan anak kandung keluarga Labourn. Nini, sampai mati pun, tidak tahu kenyataan itu." Leah tersenyum.

"Le, cukup."

Tapi Leah tidak berhenti. Ia sudah menunggu lama untuk ini. "Kami anak adopsi. Aku dan Luu. Dari sebuah panti asuhan kecil di pinggir kota. Aku diadopsi secara legal. Luu tidak. Luu bahkan tidak terdaftar sebagai warga negara ini. Luu anak yang dibuang. Aku dibuang, dengan cara yang lebih sopan, aku dititipkan lalu ditinggalkan. Luu benar-benar ditendang dari rumah dan ditinggalkan. Kami datang dari keluarga yang berbeda. Tapi wajah kami begitu mirip. Kami mulai dikira anak kembar. Tanpa tes DNA atau apa pun, semua orang di panti menyimpulkan bahwa kami adalah anak kembar yang terpisah. Nama kami pun mirip. Kau tahu siapa nama Luu sebenarnya? Lehan."

Aaris sempoyongan. Pemuda itu kehilangan pijakan.

"Keluarga Labourn mengadopsi kami. Karena cuma aku yang terdaftar sebagai warga negara sah, mereka tak mau repot-repot mendaftarkan Luu. Lagi pula saat itu Luu juga sakit parah, semuanya terlalu merepotkan untuk Ayah. Ayah tidak suka hal-hal yang memusingkan kepala. Luu diadopsi bersamaku atas usulan panti, katanya kami anak kembar. Kembar tidak baik bila dipisahkan. Kabar itu menyenangkan pasangan Labourn. Karena coba tebak? Mereka juga punya anak kembar. Dulu. Tapi anak mereka, dua-duanya meninggal saat bayi. Mereka butuh pengganti. Kamilah penggantinya. Tidak ada yang mengetahui fakta itu. Tidak ada. Kami selalu dikurung di rumah. Bermain di halaman belakang."

"Luu bukan imajinasi, Aaris." Leah menambahkan, suaranya halus dan tipis. "Luu meninggal di umur sembilan tahun. Dikuburkan diam-diam di halaman belakang. Di tempat yang kita pijak sekarang."

Lutut Aaris bergetar.

"Ibu sedih sekali. Ibu merasa gagal. Ibu adalah orang tua yang gagal. Begitu katanya padaku. Tapi berkat aku, orang-orang tahu Ibu bukan orang tua yang gagal. Ibu menyayangiku, menjagaku, merawatku meski aku sakit dan tak kunjung sembuh."

"Luu itu bukan imajinasi," kata Leah lagi. Ia memandang ke kejauhan. Ke pintu halaman yang terbuka. Ada seseorang yang berdiri di sana. Dalam jaket kuningnya yang kebesaran. Air mata menggenang di sudut mata Leah. "Sekarang bukan cuma aku yang tahu kalau kau nyata, Luu. Jadi, jangan... jangan pernah bersedih lagi."

Aaris terjatuh ke tanah. Berlutut di hadapan semak-semak aster yang bergoyang tertiup angin.

"Sampai ketemu nanti," ujar Leah.

Sosok itu pergi. Memudar bersama udara. Lenyap.

*

925 words

Gadis dalam Cermin✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang