16 | Menuju Kebenaran (3)

40 11 0
                                    

"Bohong? A-aku tidak bohong!!" Leah melangkah mundur dan terjatuh. Tubuhnya bergetar. Bulu kuduknya meremang. Ia tidak sempat melihat reaksi Aaris karena ia sudah berlari pergi didorong oleh ketidakpercayaan. 

Ia berlari hingga keluar gedung sekolah, berlari hingga melewati gerbang sekolah yang terbuka lebar, berlari, berlari, dan berlari hingga ia kehabisan napas dan terkapar di atas aspal.

Dadanya naik turun begitu cepat. Wajahnya nyeri karena tergores aspal yang kasar dan panas. Matanya setengah terpejam setengah terbuka. Ia tidak tahu ia ada di mana. Mungkin di tengah jalan raya. Sayup-sayup ia bisa mendengar suara deru kendaraan. Mungkin sehabis ini ia akan terlindas ban truk. Ia selalu membayangkan akan mati terlindas ban-ban raksasa itu. Mungkin kini bayangannya akan mewujud menjadi nyata.

Kematian.

Sebuah kata yang mengagumkan. Tak peduli berapa kali Leah mengulangnya dalam pikiran. Kata itu terus memberikan sensasi yang sama, bahkan sering kali semakin lama semakin menenangkan.

Kematian.

Kata yang bisa diterima. Kata yang tidak berarti apa-apa. Kata yang hampa.

"Le, bangun! Kau terluka!" Seseorang menariknya dengan begitu kuat hingga ia berdiri. "Kenapa kau bisa jatuh tersungkur begitu? Apa yang kau lakukan di sini? Kalau aku tidak lewat kau bisa saja mati tertabrak!"

"Luu." Bibir Leah yang kering membuka. Air mata yang hangat mengaliri pipinya yang terluka.

Luu mendekapnya. "Luu. Tolong, tolong katakan padaku kau nyata. Luu aku sungguh takut. Aku takut hidup tanpamu. Kau tidak tahu betapa menyakitkannya hidup di rumah itu. Keheningan terus mengisi kepalaku. Aku pikir... aku pikir aku tidak akan pernah bisa keluar dari sana. Aku ingin mati, Luu. Biar aku bertemu kau. Bertemu Nini."

"Kau tahu aku nyata, Le." Suara Luu tidak kokoh kali ini. suara Luu yang berat terdengar rapuh. Menyakitkan sekali bagi Luu melihat Leah menangis dan terluka. Tidak dapat melindunginya.

"Samir bilang kau hasil karanganku." Leah terisak.

"Samir hanya bentuk ketakutanmu. Kau tahu aku nyata. Kau tahu itu. Percaya pada dirimu. Percaya pada apa yang kau yakini." Luu menangkup wajah Leah. "Hari ini kita akan bolos sama-sama. Kita akan pulang ke pondok dan menemui Nini. Aku yakin Nini akan baik-baik saja. Nini sayang padamu."

"Pada kita," koreksi Leah, parau.

Luu berlagak tidak dengar. "Kau tahu kenapa aku bolos?"

"Karena hobi."

"Itu juga. Tapi kali ini beda."

"Kali ini kau membuat alasan yang beda."

"Kau tidak senang ya bertemu denganku."

Leah tertawa kecil dan lemah, tawa yang serak bekas menangis tadi. "Aku senang bertemu denganmu. Aku senang kau membolos. Aku hanya tidak tahan untuk mengejekmu. Itu saja."

Luu tersenyum melihat Leah tertawa, tapi hanya sekejap. Karena kemudian wajahnya berubah amat serius. Urat-urat wajahnya menegang. Rahangnya mengeras. "Aku punya firasat buruk."

Senyum Leah memudar.

*

"Ingat jalan ini, Le. Ingat ke mana kita akan pergi. Setiap detailnya. Toko-toko yang kau lewati, plang-plang jalan, gedung sekolah, apa pun yang bisa menjadi petunjuk. Kau harus tahu jalan pulang ke pondok mulai sekarang."

"Aku kan punya kau dan Nini."

"Kalau kami sudah tidak ada—"

"Kalau kalian tidak ada, pondok tidak memiliki arti apa-apa untukku."

"Ya sudah. Buang perumpamaan itu. Intinya adalah kau harus bisa mandiri. Ini waktu yang tepat, oke? Dengarkan aku, Le. Kau tidak bisa terus-terusan bergantung padaku atau Nini." Genggaman tangan Luu di jemarinya mengerat. Kelewat erat. Leah menahan erangan kesal.

Mereka sedang berjalan kaki menuju pondok. Luu bersikeras ingin Leah menghafal jalan pulang.

"Lihat toko tekstil itu? Kerai-kerai merah mewah itu punya aksen emas yang cantik di tepinya. Kau bisa menghafalnya kan? Namanya toko tekstil Merbabu, kau lihat pemiliknya yang berdiri di tepi pintu itu? Wajahnya khas kan. Dia orang berdarah India, keluarganya punya banyak toko tekstil. Bisa kujamin semua toko tekstil di jalan ini adalah milik paman, bibi, sepupu, keponakan, atau pun kerabatnya yang lain."

"Kok kau bisa tahu?"

"Aku pergi ke banyak tempat. Bertemu banyak orang. Aku kan bukan anak rumahan seperti kau," cengir Luu. "Nah, di seberang toko itu ada gapura ini. Gapura yang sangat amat begitu cantik."

Leah menyeringai. Mereka sedang berdiri di depan gapura yang tersusun atas batu bata, semen dan bambu. Masih belum selesai dibuat. "Aku yakin dia akan jadi gapura yang cantik," kata Leah.

Ujung jarinya menyentuh permukaan batu bata yang kasar. Jari pucatnya ternodai debu merah dari batu bata.

"Tentu." Luu mengaminkan.

Mereka berjalan memasuki gapura. Dari situ Leah tahu ke mana ia harus melangkah. Waktu menuju pondok terasa sangat singkat karena ia mengobrol bersama Luu. Saat mereka memasuki Jalan Sajingga, Leah merasa enggan meneruskan langkah kakinya untuk alasan yang tidak ia mengerti. Sebuah firasat yang gelap yang tidak bisa ia raba permukaannya tapi menimbulkan rasa takut yang pekat.

"Ada apa?" Luu mengangkat alis, menyadari raut wajah Leah berubah. "Kau tampak... buruk. Sesampainya di pondok nanti, ayo minta Nini buatkan es teh lemon. Kompleksimu pasti akan membaik."

"Firasat buruk apa yang membuatmu bolos sekolah?" Leah bertanya.

"Tidak ada. Seperti yang kau bilang, hanya alasan. Aku hanya ingin bolos. Itu saja."

Bohong. Jangan bohong padaku, Luu. Jangan pernah.

Luu menarik Leah untuk kembali berjalan. Leah melangkahkan kakinya, satu demi satu. Mereka tiba di pekarangan. Pintu pondok tertutup. Leah mulai bertanya-tanya apa Nini ada di rumah? Biasanya pintu selalu terbuka bila Nini ada di rumah. Pintu pondok yang tertutup membuat Leah merasa kedatangannya tidak diterima. Leah melirik Luu di sampingnya, yang juga sedang memperhatikan pintu pondok, terlihat tegang dan bingung.

Luu menoleh. Merasakan tatapan Leah. Tersenyum.

"Ayo masuk," katanya.

*

828 words


Gadis dalam Cermin✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang