01 | Pondok yang Bernyawa

376 21 0
                                    

Ada desas-desus mengerikan yang beredar di kompleks perumahan Telaga Pelangi. Bagai memiliki kaki, kabar itu berjalan dari mulut ke mulut. Menggapai telinga-telinga yang penasaran, tak pernah menetap, rumor itu terus berkeliaran tak tentu arah. Tentang sebuah pondok tua yang dikelilingi rerimbunan pohon angsana dan peri-peri bersayap kuning yang hinggap dan terlelap di atas dedaunan hijau mudanya, menjelma dalam bentuk bunga. Ketika angin bertiup, dahan dan rantingnya bergesekan, menimbulkan bunyi yang hidup. Seperti alam sedang saling membisikkan rahasia dalam bahasa kuno yang tak dikenali bangsa manusia.

Pondok itu terletak di bagian paling ujung kompleks. Dekat dengan anak sungai yang airnya mengalir dari Danau Telaga Pelangi. Pondok kayu itu berdiri tenang di atas rerumputan. Tua dan sunyi. Di seberang pondok tua itu terdapat taman tak terurus yang ditumbuhi ilalang dan beri-beri hutan. Hampir tidak pernah ada warga yang melewati atau sekedar berkunjung ke sekeliling pondok. Konon katanya, sering ada alunan musik yang mengalun anggun dari pondok tak berpenghuni. Berdenting dan terbawa angin. Pun banyak yang mengaku melihat kelebat-kelebat bayangan di antara dahan-dahan pepohonan. Seakan ada yang mengawasi dan mengintai dari kegelapan.

Keluarga Pak Hasibuan yang rumahnya berjarak belasan kaki dari pondok itu bahkan sudah mengepak barang-barang dan angkat kaki dari rumah mereka pekan kemarin. Jalan Sajingga— jalan tempat pondok tua itu terletak— kelewat angker untuk dihuni keluarga kecil mereka. Anak bungsunya yang baru berusia hitungan bulan selalu menangis menjerit-jerit tiap kali malam Jumat tiba. Setelah kepergian keluarga kecil itu, jalan Sajingga ditinggalkan. Bersama dengan pondok kayu yang uzur dan renta. Serta segala keindahan tersembunyi yang dianggap warga terlalu mengerikan.

"Bagus," angguk Leah, wajah lesunya tersenyum, "kita bisa tinggal di sini selamanya. Sampai tua dan ompong. Ya, kan, Luu?"

Luu membalas senyum lemah Leah dengan cengiran lebarnya yang khas. Kulit cokelat terangnya berkilat maskulin di bawah siraman keemasan sinar mentari pagi. Leah mengamati lengan Luu yang tersampir di pundaknya.

 
"Apa yang sedang kau pandangi?" suara serak wanita tua berambut kelabu yang disanggul rapi memecah perhatian Leah. "Ada serangga di bahumu?"

Leah menggeleng. "Tangan Luu," jawab Leah pelan, masih memperhatikan tangan berotot dan berurat Luu. Ia mendongak untuk menatap pemuda itu. "Tanganmu aneh. Seperti Ayah. Kasar."

Bibir tipis wanita tua itu tersenyum ganjil. "Ayo bawa barang-barang kalian masuk." Ia berjalan melewati cucunya. Luu melirik Leah dengan penuh makna, lalu membisikkan sesuatu yang tak dapat didengar si wanita tua. Wanita tua itu menoleh ke belakang sebentar untuk melihat senyum geli Leah terpatri di wajah pucat gadis itu. 

"Ayo, jangan berlama-lama. Banyak yang harus dikerjakan."

Leah berhenti tersenyum, ia menyikut pinggang Luu dan beranjak menggeret kopernya, mengekori si wanita tua, Sarah Labourn. Namun mereka memanggilnya, Nini. Leah mengikuti Nini menaiki anak tangga yang membawa mereka pada selasar pondok yang setinggi pinggang. Sebelum menaiki anak tangga itu Leah melepas sepatu kulit dan kaus kakinya. Membiarkan kaki telanjangnya merasakan papan kayu yang menyusun selasar.

"Lantainya berdebu, bodoh." Luu berkata begitu sambil mengikuti Leah, melepas sepatu ketsnya di anak tangga. Leah yang berdiri di selasar menjulurkan tangan pada Luu, mengusap kepala pemuda itu dari tempatnya berpijak.

"Jangan sok tahu. Lantainya sudah disapu orang suruhan Nini kemarin. Iya, kan, Ni?"

Nini mengangguk, sedang membuka kunci pintu yang agak macet. Leah melepas tangannya dari rambut lebat Luu dan membantu Nini. Dengan beberapa kali coba pintu itu berhasil terbuka tanpa perlu didobrak. Leah menarik kopernya dan kardus-kardus yang masih tergeletak di pekarangan. Gadis itu menoleh ke sana kemari setelah menyadari Luu tidak ada di dekatnya.

"Berani-beraninya dia pergi tanpa aku," gumam Leah. Nini menuruni anak tangga untuk mengambil kardus-kardus itu. Meski sudah tua dan bertubuh ramping, Nini masih sanggup mengangkat boks-boks itu tanpa sakit pinggang. Tubuh Nini amat bugar untuk wanita seumurannya, yang sudah menginjak kepala enam.

Nini menyerahkan boks itu pada Leah untuk dibawa masuk. Namun Leah menerima boks itu tanpa menatapnya, mata gadis itu sibuk berkelana ke sekeliling pondok.  "Bawa masuk boks-boks ini, lalu kau bisa bermain dengan Luu," kata Nini mengarahkan. Leah menggeleng dan menghela napas kecil.

"Luu pandai sekali kabur dari tanggung jawab. Aku akan bantu Nini menyusun barang-barang dulu, setelah itu baru aku susul dia," ujar Leah, mengambil boks itu dari tangan Nini, dan membawanya masuk. Mereka membawa masuk tumpukan boks itu ke dalam pondok secara estafet. Hingga tiba di boks terakhir, Nini membawa kardus berisi buku-buku bacaan itu ke dalam pondok tanpa bantuan Leah.

"Sudah sana. Nini tidak butuh bantuan. Furnitur-furnitur sudah ditata orang suruhan kemarin. Nini perlu waktu sendiri untuk mengatur dekorasi. Kalau kau di sini, kau hanya akan merepotkan. Kembali sebelum petang, kau harus rapikan barang-barang di kamarmu sendiri," tukas Nini saat Leah meminta tugas untuk membantu.

Leah tersenyum tipis, mengecup pipi Nini. "Aku akan kembali sebelum Nini kesal mencariku. Dan aku akan memaksa Luu membantu Nini membuat makan malam."

Nini mengibaskan tangannya, mengusir Leah. Gadis itu segera berlari kecil keluar pondok dan bertelanjang kaki menyusuri rerumputan yang tajam tapi terasa nyaman di telapak kakinya. Matanya berkeliling ke sana kemari, lantas menemukan sesosok laki-laki duduk di atas dahan pohon angsana yang cukup jauh dari pondok. Memandang Leah dengan jenaka.

Leah berlari menghampiri Luu, mendongak.

"Kau harusnya membantu Nini," tegur Leah, lantas duduk di atas rerumputan, menyusurkan tangannya pada tanah dan bersandar pada batang pohon angsana yang diduduki Luu. Luu melompat turun dan duduk di sampingnya. Ia menoleh pada Leah, meneliti helai-helai rambut gadis itu.

"Nini tidak pernah suka aku membantu. Ia benci padaku," ujar Luu.

"Jangan berkata begitu. Kau mengingatkannya pada Ayah. Itu saja."

Pandangan Luu menerawang. Ia memainkan ujung rambut Leah yang ikal. "Kau harusnya pakai jilbabmu, Le," katanya lamat-lamat.

"Tidak ada orang lain di sini, selain kau dan Nini."

Luu menunjuk bentangan langit biru yang mengatapi mereka. "Satelit luar angkasa itu bisa saja menangkap gambarmu tanpa hijab."

"Menarik," sahut Leah dengan mengantuk, menyandarkan kepala pada Luu. Luu tidak menanggapi lebih lanjut ketidakacuhan Leah dan melepas kemeja lengan pendek yang melapisi kaus hitam polosnya. Menutupi kepala Leah, melindungi gadis itu dari sinar matahari pagi yang menyilaukan mata, dan dari orang-orang yang mungkin melihat aurat gadis kesayangannya.

Leah memainkan jemari Luu yang terlihat kontras dengan tangan mungilnya yang pucat.

"Kadang aku merasa kalau kau hanya khayalan, Luu. Aku takut kau tiba-tiba hilang. Raib begitu saja, tanpa aku sadari."

"Kau mengantuk, Le. Kau tahu aku tidak akan hilang."

Leah tidak menjawab. Ia terlelap bersama dengan jari Luu yang menelusuri garis telapak tangannya. Kalau ini mimpi, Leah harap ia tidak pernah terbangun selamanya.

*

1022 words

Hai, gimana ceritanya? Aku harap kalian suka. Kritik dan saran diterima dengan tangan terbuka, kolom komentar selalu tersedia buat kalian. Kalau kalian excited untuk baca part selanjutnya, jangan lupa tekan tombol bintang dan komentar ya.

Wholeheartedly,

Zulfa

Gadis dalam Cermin✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang