15 | Menuju Kebenaran (2)

46 11 0
                                    

Upacara.

Leah melihat sekumpulan manusia berseragam putih abu-abu yang berbaris di tepi lapangan. Memakai topi dan dasi. Bermandikan sinar matahari pagi. Semua mata berpusat pada satu titik. Tiang putih tinggi yang akan mengibarkan bendera merah putih. Bendera itu sedang ditarik naik oleh tiga orang lelaki berseragam serba putih dengan peci hitam terpasang apik di atas kepala.

Lagu Indonesia Raya mengiringi situasi terik yang membosankan bagi para remaja hiperaktif, membuat suasana khidmat dalam sekian menit yang singkat.

Mata Leah tertuju pada kain yang melambai-lambai damai. Tapi pikirannya terpusat pada perutnya yang bergemuruh liar. Bergejolak dan meronta-ronta. Leah tidak punya uang pun makanan. Ia tidak punya apa pun untuk menjinakkan monster dalam perutnya. 

Sampai upacara selesai pun ia hanya memikirkan : bagaimana ia akan makan? Bukan apa yang akan ia makan. Membeli dicoret dalam pilihan. Mencuri dicoret dalam pilihan. Meminta dicoret dalam pilihan. Semua daftar pilihan sudah dicoret.  Tersisa satu : kelaparan.

Leah duduk bisu di kursinya. Bernapas. Berkedip. Seperti manusia yang terperangkap dalam tubuh sebuah patung keramik.

"Le," seseorang memanggil dari arah depan. Orang itu memutar kursinya agar bisa menghadap Leah yang duduk di belakangnya. "Pulang sekolah nanti kita akan praktikum biologi. Jadi tolong jangan ke mana-mana."

Leah mendengar suara Aaris. Entah, sebenarnya ia tidak yakin betul apa yang diucapkan lelaki itu. Tapi Leah mengangguk saja. Aaris tidak puas dengan anggukan tak bermakna itu. Namun perhatiannya teralihkan oleh sesuatu.

"Wajahmu pucat, Le."

Leah terhenyak karena mengira kalimat itu keluar dari bibir Samir. Ia mulai bertanya, apa Aaris juga tidak nyata? Apa sekolahnya juga hanya hidup dalam kepalanya? Tapi Aaris terlihat terlalu nyata untuk hanya hidup dalam imajinasi. Ekspresi wajahnya, gerak-geriknya, rambutnya, kedipan matanya. Semuanya bergerak dalam irama yang natural. Aaris memang hidup. Aaris satu-satunya yang bisa ia pastikan dengan yakin, Aaris hidup.

"Kurasa kau sakit."

Leah menggeleng. Matanya kembali menyala. Ia menatap mata Aaris. "Aku baik-baik saja. Hanya belum sarapan."

"Kenapa kau belum sarapan?"

"Karena tidak ada makanan untukku di rumah."

"Mau aku temani makan di kantin?"

Leah menggeleng lagi. "Aku tidak punya uang."

Aaris mengangguk lamat-lamat. Tidak menyangka Leah akan dengan terang-terangan mengatakan itu padanya. Sejauh pengalamannya sebagai laki-laki, kebanyakan anak perempuan sensitif untuk mengatakan kondisi menyedihkan mereka yang sebenarnya pada lawan jenisnya. Aaris menarik ranselnya dari kolong kursi. Ia menarik keluar sebuah kresek putih dan menaruhnya di atas meja Leah. Mengeluarkan roti dan susu kotak dari kresek dan menyodorkannya pada Leah.

"Untukmu."

"Untukku?"

"Iya. Aku memang membeli itu sedari awal untukmu. Untuk kuberikan nanti siang saat kita praktikum. Tapi kurasa lebih baik kuberikan sekarang dan kau makan sekarang. Wajah pucatmu sudah berada di tahap mengerikan. Jadi jangan menolak."

Gadis dalam Cermin✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang