02 | Keluarga Halim

107 13 0
                                    

Leah terlonjak bangun ketika ia merasakan air dingin menyengat wajahnya. Gadis itu mengusap wajahnya dan menatap sosok yang membanjurnya dengan marah. Sosok itu seorang perempuan cantik berhidung tinggi yang memakai seragam putih abu-abu. Begitu sadar sepenuhnya, amarah Leah hilang secepat ia datang. Leah memandang gadis di hadapannya, tak lagi dengan marah, tapi dengan pandangan lesu dan sayu yang biasanya. Lalu tanpa berkata apa-apa ia berjalan pergi untuk mengambil handuk warna hijau daun dan seragam yang tergantung di belakang pintu kamarnya, kemudian memakai jilbabnya. Ia beranjak menuruni tangga loteng, menuju kamar mandi tanpa menghiraukan dumelan dari gadis di belakangnya. Di tengah jalan ia berpapasan dengan pemuda jangkung dalam balutan seragam putih abu-abu.
Semua orang sudah berpakaian rapi kecuali dirinya.

Pemuda itu mengamati dengan cepat wajah dan baju Leah yang basah. "Hai, Le," sapanya sambil mengangkat mug kopinya. Leah mengangguk. Pemuda itu memperhatikan punggung Leah sebelum berpaling pada gadis cantik yang masih memegang gayung yang tadi dipakai untuk membanjur Leah.

"Kenapa harus pakai banjur-banjur segala, sih, Mbak?" tegurnya setengah berbisik.

Adonna mengacungkan gayung itu dengan ganas ke wajah Samir. 

"Jangan banyak protes, Sam. Aku sudah bangunkan dia baik-baik selama sepuluh menit. Sepuluh menit! Kalau dia tidak juga mau bangun, kita bisa terlambat! Papa enggak mungkin mau berangkat tanpa dia. Anak itu kenapa, sih. Numpang kok nyusahin," kecamnya, "aku capek, ya, disuruh-suruh bangunkan dia terus! Kalau kau enggak suka caraku, sana kau yang bangunkan!"

Samir menciut diteriaki kakaknya. Tak lagi menyuarakan opini mau pun kritikannya. Ia berlalu ke dalam kamarnya di lantai dua untuk menyelesaikan pekerjaan rumahnya yang harus dikumpulkan hari ini sebelum berangkat. Adonna masuk ke kamarnya untuk mengambil ranselnya dan turun ke bawah untuk sarapan. Di ruang makan, ayahnya sudah duduk tenang sambil membaca koran lokal, ibunya menyiapkan piring-piring nasi goreng ke atas meja.

Di dalam kamar mandi, Leah membasuh tubuhnya dengan air yang mengucur dari pancuran. Tetes-tetes air yang menghujani tubuhnya, menyentuh kulitnya yang putih pucat, terasa nyata dan membingungkan. Telinga Leah dipenuhi suara air. Leah menyabuni tubuhnya, aroma sitrun dan mangga memenuhi rongga hidungnya, kuat. Ia tidak suka sabun itu, selalu mengingatkannya pada harum tubuh menyengat milik sepupunya, Adonna. Ia ingin sabun batang aroma susu, madu, dan lavender buatan Nini.

Di mana ia sekarang? Di mana Nini? Di mana Luu?

Air berjatuhan dari ujung helai rambutnya yang ikal. Leah mengusap wajahnya dan mematikan kran pancuran ketika pintu kamar mandinya diketuk dengan pelan. Leah tahu itu pasti Samir. Sepupunya yang seumuran dengannya. Ramah, tapi pengecut dan penakut. Tidak pernah berani bertindak dan selalu ragu-ragu. Tidak mungkin ketukan itu berasal dari Adonna yang arogan, temperamental, dan tidak sabaran. Tidak mungkin juga berasal dari bibinya, Shafia Halim, yang tidak pernah peduli padanya dan selalu sinis. Dan sangat mustahil ketukan itu berasal dari pamannya, Ibrahim Halim, yang juga tidak pernah peduli padanya, dingin, dan kaku, tapi merasa sangat bertanggung jawab atas dirinya. 

Karena Ayahnya sudah menitipkan ia pada sang adik, Shafia dan suaminya Ibrahim. Itu tercantum dengan sah dalam surat wasiat.

Leah tahu ia adalah beban bagi keluarga ini. Ia tahu bahwa kerabatnya satu-satunya itu tidak mau susah payah menyembunyikan penolakan mereka terhadap keberadaannya. Ia tahu bahwa ia tidak akan diterima entah apa pun yang ia lakukan. Leah juga tidak mau susah payah merasa sakit hati. Adonna betul, ia hidup menumpang. Dalam artian, apa pun perlakuan keluarga Halim padanya tidaklah penting. Karena ialah yang berhutang pada mereka. Saat ini ia menggantungkan hidupnya sepenuhnya pada mereka.

"Le, kata Papa lima belas menit lagi kita berangkat. Kau harus sarapan dulu sebelum berangkat," ujar Samir dari balik pintu kamar mandi. Leah mengangguk dan tidak menyahut. Tapi Samir tahu Leah mendengarkan, jadi ia balik badan dan segera angkat kaki dari sana.
Leah mengeringkan tubuh dan rambutnya dengan sehelai handuk, memakai seragamnya, lalu keluar dari kamar mandi dalam lima menit. Ia naik ke loteng—yang disulap menjadi kamarnya—untuk mengambil ranselnya, lantas turun untuk sarapan. Bibi Shafia menyerahkan piring keramik berisi nasi goreng dan udang padanya. Adonna, Samir, dan Paman Ibra sudah menunggu di dalam mobil.

Leah melahap sarapannya dengan tenang, tak terganggu oleh lirikan sinis bibinya yang duduk di seberang meja.  "Kau makan seperti kura-kura. Bawa piringnya dan sarapan di mobil," tukas Bibi Shafia.

Tapi Leah tak bergeming, ia masih sibuk mengunyah nasi gorengnya. Setelah selesai menelan ia berucap, "Paman Ibra tidak akan suka aku makan di dalam mobil. Boleh aku minta kotak bekal? Biar aku makan nasi gorengnya untuk makan siang," kata Leah datar. Dengan enggan tak enggan Bibi Shafia berdiri dan mengambil kotak bekal dari rak piring. "Terima kasih."

Leah menuang seluruh nasi yang ada di piring ke dalam kotak bekal. Ia meraih ranselnya yang ia taruh di kolong kursi dan memasukkan bekalnya ke dalam ransel. Leah menghampiri Bibi Shafia, mencium punggung tangan wanita paruh baya itu.

"Aku berangkat."

Bibi Shafia menarik tangannya dari tangan Leah.

Di dalam mobil wajah semua orang tampak masam, padahal Leah yakin ia tiba di depan pintu mobil tepat di menit ke-lima belas. "Kau terlambat sepuluh menit," kata Samir menerangkan. Pemuda itu duduk di sampingnya, di kursi tengah. Sementara Adonna duduk di samping kursi pengemudi, di samping Paman Ibra.

Leah segera melirik kaca spion dalam untuk melihat reaksi pamannya. Namun seperti biasa, wajah itu hanya menunjukkan ketidakpedulian yang kentara, hanya saja kali ini lebih kaku dan keras. Wajah Adonnalah yang paling keki di antara ketiganya. Hidung dan dahinya berkerut, menahan caci dan maki.

"Kita akan ke sekolah Samir dan Leah dulu, setelah itu ke sekolahmu," kata Paman Ibra pada Adonna yang menganga. Ia sudah menebak hal itu, tapi tetap saja dongkol karenanya.

"Papa, kan, aku ada pengayaan pagi. Aku sudah kelas dua belas, Pa," protes Adonna setengah merengek. "Harusnya aku dulu."

"Sekolah mereka masuk pukul setengah tujuh," tukas Paman Ibra. Alis tebalnya berkerut galak, membungkam bibir Adonna yang sudah membuka untuk melancarkan protes. Sebagai gantinya Adonna menghentakkan tubuhnya ke jok mobil, menyuarakan amarahnya dengan keras.

Leah memalingkan wajahnya ke jendela yang berembun. Di sampingnya, Samir membuka buku matematika. Suara kertas yang dibuka, goresan pensil yang asal-asalan, ketukan jari Samir di kaca jendela, decakan Paman Ibra yang menyuruh Samir diam, suara setir mobil yang diputar, dan desir AC. Semuanya tidak terdengar nyata. Ganjil dan membingungkan. Seperti gema yang bergaung dalam kepala. Meneriakkan keberadaannya dan kehadirannya pada Leah.

"Mau permen karet, Le?" Samir menyodorkan bungkus permen padanya. Leah menatap bungkus permen dan wajah Samir bergantian. Leah benci permen.

"Aku," Leah membasahi bibirnya, "tidak makan permen." 

Samir mengangguk, memasukkan permen itu ke dalam mulutnya. "Aku lupa."

*

1041 words

Hai, gimana ceritanya? Aku harap kalian suka. Jangan lupa vote dan komentarnya ya. Segala bentuk apresiasi kalian terhadap kisah-kisahku akan sangat berharga bagiku.

Wholeheartedly,

Zulfa

Gadis dalam Cermin✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang