07 | Kemarau yang Dingin

47 13 0
                                    

Matanya lengket, dadanya terasa sesak. Pernapasannya tersumbat. Leah bangun dari tidurnya, duduk bersandar ke kepala ranjang. Ia melihat ke sekelilingnya. Meja kayu, lemari pakaian, dan rak buku. Semuanya terlihat lelah dan jemu. 

Kamar itu gelap, satu-satunya sumber cahaya adalah sinar matahari yang menyorot masuk lewat jendela atap berbentuk persegi, menumpahi meja belajar yang tidak diletakkan apa-apa di atasnya. Butiran debu berputar dan menari di lurukan cahaya. Menjadi satu-satunya keajaiban yang mampu menerangi kelamnya loteng yang disulap menjadi kamar secara acuh tak acuh.

Helai-helai rambutnya terkulai lemas di bahu. Matanya tersengat, panas dan berair. Ia turun dari kasur, menjejakkan kaki di papan kayu yang dingin dan lembap. Mendongak untuk melihat noda air di langit-langit. Hujan turun deras beberapa hari terakhir. Plafon loteng tak mampu menampung beban air yang masuk lewat lubang di genteng. Leah sudah menyampaikan keadaan lotengnya pada Paman Ibra. Pamannya bilang akan ada tukang yang datang. Sudah dua minggu semenjak janji itu diumbar, dan tidak ada satu orang pun yang mengecek kondisi atapnya.

Leah mengusap pipinya.

"Cuma mimpi," lirihnya.

Leah menjilat bibirnya.

"Cuma mimpi," ulangnya.

Hanya aku yang nyata, katanya dalam hati. Ketika ia hendak menyuarakan kata hatinya, lidahnya kelu. Lisannya tak mampu mengucap mantra itu : kata-kata. Mengubah pikiran menjadi sesuatu yang berwujud. Leah membuka lemari, mencari-cari mantel hitam milik mendiang ibunya. Mantel itu tersimpan di tumpukan pakaian paling bawah. Lembap dan apek. Bau kapur yang menyengat.

Nyata.

Leah mengenakan mantel itu di atas piamanya dan sehelai pasmina untuk menutupi rambutnya. Ia membuka pintu loteng, menuruni tangga, dan tiba di koridor lantai dua. Kesenyapan yang halus berdenging di telinga. Lantai kayu yang dipijaknya berderit bingung. Jarum jam berdetik tergesa-gesa, diburu waktu. Ke mana perginya semua orang?

Gadis itu melangkah pelan-pelan, samar ia bisa mendengar suara beberapa orang yang sedang bercakap-cakap serius di lantai bawah. Di ruang tengah. Leah ragu, haruskah ia mengintip sedikit dan menguping atau kembali ke lotengnya yang kian hari kian menggelisahkan?

Leah memutuskan untuk maju. Ia berdiri di dekat bibir tangga menuju lantai satu. Kini ia bisa mendengar alunan musik dari radio tua yang mengambang samar di udara. Rapuh. Leah tak berani melangkah lebih dekat, ia duduk menekuk lutut, bersandar pada dinding dekat tangga. Ia bisa membayangkan Paman Ibra duduk di sofa beludru berwarna merah di samping rak buku sedang membaca koran lama. Di depannya Bibi Shafia duduk di sofa berbentuk dan berwarna sama persis, sedang memainkan ponsel. Di atas karpet kelabu yang empuk, Adonna duduk di atas bantalan kursi, terkikik-kikik kecil pada layar ponselnya. Tak jauh darinya, Samir mengunyah permen karet, membaca buku tentang serangga. Dan mereka sedang membicarakan sesuatu.

Bayangan yang sempurna.

Leah menggigiti kuku ibu jarinya. Ia menahan diri untuk tidak membenturkan kepalanya pada dinding di belakangnya. Menahan diri untuk tidak mencakar wajahnya karena atmosfer rumah yang mencekik terasa gatal di kulitnya. Menahan diri untuk tidak berteriak dan memecah keheningan lembap yang menggerayangi kulitnya.

"Tadi aku dengar dia mengigau lagi."

Itu suara Adonna. Leah mendengar suara lembaran kertas yang berhenti dibuka. Samir atau Paman Ibra?

"Siapa?" tanya Samir.

"Leah, dasar dungu."

"Kalau kau memaki adikmu lagi, tidur di luar." Bibi Shafia menyentak, mengacungkan ponselnya ke udara. Siap melempar benda elektronik itu pada putrinya. Adonna mendengus keras tapi tidak melawan.

"Dia mengigau, menyebut-nyebut nama Nini."

"Siapa?" Paman Ibra masuk ke dalam obrolan.

"Nini, Pa. Dan Luu."

Luu? Leah terkesiap. Ia terlonjak berdiri. Tidak mungkin. Napasnya memburu. Mengigau katanya? Gadis itu memutar tubuh, berjalan menuju kamarnya. 

Cepat. 

Semakin cepat, papan-papan kayu yang berderit memanggil-manggil namanya. Koridor lantai dua tampak tak berujung, Leah melangkah pada keheningan tanpa batas. Leah berlari, berlari, terus berlari. Ia berbelok dan menaiki anak tangga dengan tergesa-gesa. Ia membuka pintu loteng dan membantingnya hingga berdebum tertutup. 

Ia membuka lemari. Masuk dan mengunci diri.

Menenggelamkan wajahnya pada deretan pakaian yang digantung. Kain-kain menggesek pipinya. Leah menghirup dalam-dalam aroma kapur barus, meremas-remas ujung jilbabnya. Mimpi? Mana yang benar? Mana yang mimpi buruk? Apa kenyataanlah yang selama ini ia sebut mimpi buruk? Apa Nini dan Luu hanya mimpi indah yang singgah di kehidupannya yang semu?

Ilusi macam apa yang sedang memainkan hidupnya?

"Ya Allah." Pipi Leah basah. Kepalanya berdenyut. "Aku tahu ini mimpi buruk. Bangunkan aku dari mimpi buruk, kumohon, kumohon. Aku ingin bangun. Luu, aku ingin bangun."

*

671 words

Gadis dalam Cermin✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang