17 | Menuju Kebenaran (4)

46 12 0
                                    

Leah mengangguk. Luu masuk ke pondok lebih dulu tanpa melepas sepatunya. Leah tidak menegurnya karena pada akhirnya Leah juga tidak melepas sepatunya. Luu mengetuk pintu dan memanggil-manggil Nini. Tidak ada jawaban. Leah membuka pintu, tidak terkunci. Luu dan Leah masuk bersama-sama. Pondok sunyi dan senyap. Tidak ada suara lain selain langkah kaki mereka. Tidak ada suara yang menandakan kehidupan. Di dapur, di ruang cuci, di ruang tengah.

"Apa Nini sedang pergi?" Leah bertanya pelan. Tapi akibat sepi di pondok, suaranya bergema lantang.

"Nini ada di rumah."

"Nini sedang pergi," tukas Leah, bersikeras.

"Ayo kita cek kamar."

"Nini tidak akan suka. Kamar Nini tidak boleh dimasuki tanpa izin. Kau tahu itu. Kita tunggu Nini pulang. Jangan membantah."

Luu mengangkat wajah Leah dan menatapnya lurus-lurus. "Nini ada di rumah."

Luu mengusap wajah Leah dengan raut yakin sebelum berjalan lebih dulu ke pintu kamar Nini yang terletak di dekat ruang tengah. Leah tidak suka ditinggal sendirian bersama hening, jadi ia memutuskan untuk mengekori Luu. Namun langkahnya terhenti ketika ia mendengar gemerincing aneh dari sisi kiri pondok. Sisi yang tak pernah ia jamah. Ada sayup-sayup merdu yang berusaha meraih telinganya, membisikkan sebuah rahasia. Leah memandang punggung Luu sekali sebelum berbalik pergi ke pintu depan pondok. Ia berjalan ke selasar. Ada selasar kecil di sisi kiri pondok, tertutupi bayang-bayang rerimbunan pohon angsana.

Leah berjalan menyusuri selasar itu. Matanya tertuju pada benda yang tergantung di langit-langit. Memantulkan sinar matahari yang menelusup masuk lewat sela-sela dedaunan. Angin berhembus. Manik-manik yang tergantung dalam bentuk spiral itu bergoyang, bergemerincing.

Leah berjalan lebih dekat, menghampiri. Ia kini mengerti. Jadi dari manik-manik itulah lagu yang menakuti warga terdengar. Leah mengangkat telunjuknya, meraih salah satu manik yang berwarna kuning kehijauan.

Leah sedang tenggelam dalam kecantikan bel angin itu sampai gemerisik dedaunan yang ganjil mengalihkan perhatiannya. Gadis itu berbalik dengan begitu tiba-tiba ketika ia mendengar suara langkah kaki yang berat dan cepat di pekarangan, di sela-sela pagar pepohonan.

Bayangan seorang pria bertubuh besar tertangkap matanya. Leah menahan napas ngeri.
Mata mereka bertemu pandang. Sosok itu memalingkan matanya lebih dulu. Lalu menghilang. Leah masih berusaha menjaga pijakan kakinya tetap seimbang ketika ia sadar Luu tidak kunjung memanggilnya. Leah berlari pergi dari selasar, masuk ke pondok, dan berdiri terpaku di mulut pintu kamar Nini. Luu berdiri membelakanginya, berdiri di hadapan sesuatu, tak bergerak.

Punggung Luu terlihat jatuh. Leah tahu ada yang tidak beres.

"Di mana Nini?" Suara Leah melantun rambang.

Luu menoleh. Segala warna telah pupus dari wajah Luu. Segala kebahagiaan telah ditarik dalam satu lubang pusaran yang gelap. Saat itu Leah baru sadar bahwa tubuh besar Luu yang tegap menghalangi pandangannya dari sesuatu. Leah berlari menuju Luu, tapi Luu berderap ke arahnya dan merengkuhnya lebih dulu. Kelewat erat. Luu menahannya untuk pergi lebih jauh.

Untuk melihat apa yang telah Luu lihat.

Leah memberontak. Tapi dekapan Luu semakin kencang. Leah mendongak untuk menatap wajah Luu, ia terhentak ketika melihat air mata menggenang di pelupuk mata lelaki itu. Jantung Leah berdentum hebat, Leah berteriak. Luu tidak peduli.

"AKU MAU LIHAT NINI!! Lepas, Luu! Lepas kumohon. Biar aku lihat Nini. Biarkan aku melihatnya." Suara parau Leah melemah. Semakin ia menyuarakan kata-kata, semakin pemahaman akan kenyataan menamparnya lebih keras.

Luu menggeleng. Leah bersikeras memaksa, memukul dan menendang. Hingga dekapan Luu sedikit mengendur. Leah berhasil melihat ke balik punggung Luu, sesuatu yang susah payah ditutupi oleh Luu darinya. Sesosok wanita tua yang terduduk lemas di atas kursi goyang. Wajahnya keras, seolah ruhnya sedang melakukan perlawanan. Matanya membelalak ngeri, urat-urat merah memberontak di sudut-sudut mata. 

Tanah meluruh, Leah kehilangan pijakan. Lututnya kehilangan kerangka. Tulang-tulangnya melunak. Ia jatuh ke dalam pelukan Luu.

Luu memeluk gadis yang tergugu dalam dekapannya. Luu menaruh dagunya di atas kepala Leah. Air mata jatuh lemah dari pelupuk matanya. Mengalir di antara pasrah, marah, sedih dan putus asa.

Apa pun itu yang dilihatnya tadi. Ia tahu, mereka tahu, Nini telah pergi dan ia tidak pergi dengan tenang.

*

621 words


Gadis dalam Cermin✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang