09 | Kemarau yang Dingin (3)

67 14 0
                                    

Samir duduk di balik meja belajarnya, sedang menggambar kerangka kepala manusia ketika ia mendengar suara gedebuk yang ngilu dari pekarangan. Meja belajarnya diletakkan tepat di belakang jendela yang mengarah langsung pada halaman rumah, sehingga ia bisa melihat dengan jelas apa pun yang terjadi di halaman. Samir berdiri untuk sekedar mengecek dan memadamkan rasa penasarannya, meski ia sudah yakin bahwa suara itu berasal dari kucing liar yang biasa memanjat genteng.

Namun bukannya menemukan kucing belang yang menggeliatkan tubuh di atas rumput dan menguap sebelum berjalan santai setelah terjatuh dari ketinggian dua puluh kaki, ia justru mendapati seorang gadis yang berjalan terseok-seok menyusuri pekarangan. Melewati pagar dan berbelok ke jalanan. Samir tercengang sampai tidak bisa berkata-kata. Sesaat kemudian ia sudah mencerna sepenuhnya apa yang terjadi. Dengan segera ia mengambil jaket dari tiang gantungan dan berlari menuruni tangga.

"Mau ke mana, Samir?!!" Bibi Shafia berteriak dari dapur.

"Ada apa ribut-ribut?" Suara berat menggelegar Paman Ibra menyentak dari ruang tengah. Adonna di kamarnya di lantai dua mendumel mendengar keributan itu. Papa sendiri bikin ribut, dumelnya dalam hati.

"Samir mau pergi tidak bilang-bilang, Mas," adu istrinya.

"Jangan teriak-teriak. Malu sama tetangga," tukas Paman Ibra.

Bibi Shafia tak acuh. Samir menengahi. "Mau ke Indomaret, Ma."

"Titip kecap Bango dan Indomie. Sama sabun cuci piring!"

"Iya, Ma."

Samir mengambil kunci motor dari gantungan kunci, lalu urung dan mengembalikannya. Kemudian ia keluar rumah dan berdiri bingung di depan rak sepatu, ragu harus memakai sepatu lari atau sandal jepitnya yang nyaman. Akhirnya Samir memilih sandal jepit. Saat ia keluar dari pagar, Leah sudah menghilang dari pandangan.

*

Leah sudah berada di angkot. Tangannya masih digenggam Luu. Wajah Luu tampak keras dan serius. Matanya menatap lurus ke jalanan.

"Kau bawa uang?"

Wajah seriusnya pudar. Luu tersenyum. "Kan kau yang bawa."

"Jadi kau tidak bawa uang?" Leah berjengit ngeri. Lalu berbisik keras. "Kau lupa? Aku tidak pernah punya uang, oke? Jadi salah satu dari kita harus jadi kernet angkot kalau tidak mau dikira kriminal."

"Jelas. Orang itu kau." Leah dan Luu mengucapkan kata-kata tadi bersamaan.

"Kau laki-laki."

"Kau perempuan."

"Ya, terus?"

"Kata orang perempuan itu yang selalu mengatur keuangan. Kau harus selalu bawa uang. Kalau kau tidak bawa, berarti ini tanggung jawabmu."

Leah menganga. "Ngaco. Itu kata kau. Kau yang harus tanggung jawab. Kau yang menyeretku ke sini. Lagi pula mana ada perempuan jadi kernet angkot!"

"Kau akan jadi yang pertama di kota—Nah, jangan banyak omong. Kita sudah sampai. Kiri, Pak!" Angkot dengan segera menepi ke trotoar. Luu menarik Leah untuk turun. Luu menyerahkan selembar uang pada supir angkot, menerima kembalian, dan nyengir pada Leah yang memasang wajah benci.

Gadis dalam Cermin✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang