19 | Mengejar Sang Maut (2)

34 11 0
                                    

Bayangan Luu menghilang dari pandangannya. Leah duduk seorang diri di meja makan. Pantatnya menempel pada bantalan kursi yang empuk. Keheningan pondok menguasai pikirannya. Leah sedang berdiri di tepi jurang, berusaha melihat ke kejauhan, menembus kabut halusinasi. Berusaha memandang ke dalam realitas, sebelum ia berjalan terlalu jauh dan jatuh ke kekosongan.

"Betul," ujar Leah kebingungan, "kau sudah mati, Luu. Kau mati jauh sebelum Ayah mengenalkan padaku siapa keluarga Halim itu  dan kepada siapa hak asuhku jatuh kalau kedua orang tuaku mati! Kau sudah mati, Luu, jadi berhenti muncul di depan wajahku!!" Leah terengah-engah. Ia ngeri dengan suaranya yang bergaung di dalam pondok. Memantul di dinding dan langit-langit.

Luu sudah mati. Nini sudah mati. Terima itu, Leah. Terima kenyataan itu.

Leah perlahan-lahan berdiri. Seolah dikendalikan oleh sesuatu yang tak kasat mata. Ia berjalan dan mencari-cari. Mata kosongnya menjelajahi pondok. Ke kolong meja makan, ke bilik-bilik lemari di dapur, ke balik sofa di ruang tengah, ke kamar mandi, ke pekarangan belakang.

"Loui," lirih Leah memanggil-manggil. "Loui... Loui..."

Yang menyahuti panggilannya ialah angin yang berhembus, membuat pintu pondok yang terbuka lebar maju-mundur.

"Loui," panggil Leah lagi.

Tidak terpikirkan olehnya bahwa Loui adalah bagian dari imajinasinya, sama seperti Luu, sama seperti Nini, sama seperti keluarga Samir, sama seperti pondok tua itu. Leah terus memanggil, terus melangkah, hingga ia tiba di mulut pintu pondok. Ia menuruni tangga di selasar. Melewati pekarangan. Melewati jalan Sajingga. Bibir mungilnya yang pecah-pecah masih menyebut nama yang sama.

"Loui."

Leah berjalan lamban sekali, tapi tak pernah berhenti, tak juga mundur. Maju. Satu-satunya yang bergaung di kepalanya adalah : maju, Leah. Maju. Terus, Leah. Jangan berhenti. Jangan pernah berhenti.

Apa yang ia pikirkan. Apa yang ia katakan. Semua tidak berkesinambungan. Tubuh dan benak Leah telah terpisah. Mereka adalah dua entitas yang berbeda tuan. Benak Leah, selayaknya organ-organ tubuhnya, memiliki wujud yang berbayang, seperti kilatan-kilatan peristiwa. Bagi Leah benaknya ialah nyata. Bukan sekedar keabsurdan pikiran hasil rekayasa otak manusia.

Saat Leah berjalan pun, yang ia pikirkan hanya satu : keluarga Halim. Tapi bibirnya terus-terusan memanggil Loui. Benaknya mulai terbelah dua. Leah yang satu terjebak dalam sebuah kerangkeng. Apa keluarga Halim sudah mendapatkan warisannya? Tapi kematian Nini belum diketahui siapa-siapa. Apa keluarga Halim sedang merayakan kematian orang tercintanya? Bagaimana kalau ternyata warisan itu tidak ada? Kalau keluarga Halim berhasil mendapatkan warisan itu, apa yang akan Leah lakukan? Mengikat lidah dan menyembunyikan kebenaran?

Tidak, tidak. Kebenaran tidak diciptakan untuk disembunyikan.

Pertama-tama, ia harus mencari bukti dulu.

"Bukti, ya, tentu saja... bukti."

Beberapa langkah kemudian, Leah tiba di pekarangan keluarga Halim yang murung. Tidak ada bunga-bunga, kupu-kupu, pancuran, atau apa pun yang membahagiakan. Semuanya kelabu. Rumput-rumput yang dipangkas cepak itu meneriakkan sendu pada Leah. Leah berusaha tidak terganggu, ia melangkah menuju pintu depan. Tangannya menyentuh gagang pintu yang dingin. Namun urung ketika mendengar keributan di ruang tengah. Ia memutuskan masuk lewat pintu belakang.

Gadis dalam Cermin✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang