11 | Seekor Kambing

53 12 0
                                    

Wajah Luu muncul secara tiba-tiba di depan wajahnya ketika kelopak matanya terbuka. Sinar matahari yang meluruk masuk lewat jendela membanjiri romannya. Kehangatan menyelinap masuk ke dalam pori-pori kulitnya. Permukaan kulitnya tidak lagi merasa kedinginan. Leah merasakan ibu jari Luu yang besar dan agak kasar mengusap pipinya dengan lembut.

Mengantarkan kasih dan sayang.

"Perjalanan yang melelahkan, ya." Luu berkata. "Kau tertidur, tapi kau justru terlihat semakin lelah. Lelah dan ketakutan."

Leah tidak mendengarkan. Ia enggan memalingkan matanya dari Luu barang sedetik saja. Ia memandang lurus Luu dan bertanya-tanya. Apa kau nyata, Luu? Apa kau sebuah realitas? Katakan padaku apa kau hanya manipulasi otakku yang mendambakan cinta?

"Le," panggil Luu, "selama aku ada di dekatmu. Pikiranmu tidak boleh pergi ke mana-mana. Tetap di sini. Di sampingku. Bersamaku. Jangan biarkan pikiran-pikiran itu menyakitimu dan menguasaimu. Aku di sini, Le. Ada di sini. Oke?"

Leah mengamati Luu sejenak, sekali lagi. "Oke," senyumnya.

"Nah, bagus. Ayo, sekarang ada yang ingin kutunjukkan." Luu menarik tubuh Leah yang lemas untuk bangun. Leah melirik ke jendela. Matahari masih bersinar terang.

"Berapa lama aku tidur?"

"Dua jam."

"Pukul berapa sekarang?"

"Pukul empat."

Dua jam? Tapi rasanya seperti berhari-hari. "Sebentar lagi makan malam. Kau mau ajak aku ke mana?" Leah ditarik Luu ke lemari pakaian. Luu mengambil kardigan hijau pucat untuk menutupi gaun tidur Leah yang berwarna putih.

"Makanya kita harus cepat. Di mana jilbabmu?"

Leah menyuruh Luu menyingkir. Ia menarik pasmina putih dari tumpukan jilbab paling atas. Memakai dalaman kerudung sebelum memakai pasminanya. Luu sudah menarik tangannya saat ia masih sibuk memasang peniti.

"Luu," tegur Leah seraya nyengir kesal. Mereka melewati dapur, melewati Nini yang sedang memilih bahan makanan di depan lemari penyimpanan. "Nini, aku dan Luu mau keluar. Sebentar!" teriaknya.

Nini hanya menoleh sesaat dan balas berteriak. "Jam lima harus sudah di rumah atau tidak ada makan malam untuk kalian!"

Luu dan Leah mengiyakan, tertawa renyah. Menuruni tangga di selasar dan berlari ke taman tak terurus di seberang pondok. Luu sibuk berjalan ke sana kemari, mencari sesuatu sementara Leah berdiri diam menghadap ke arah barat. Memandangi matahari yang bersiap untuk terbenam. Leah suka sinar matahari sore. Tidak melotot galak dan menyala-nyala seperti hendak membakar manusia saat tengah hari. Matahari sore bersinar lembut dan menyatakan perdamaian pada bumi.

"Apa yang kau cari?" tanya Leah akhirnya. Terganggu oleh suara Luu yang mengaduh dan mengumpat terus-terusan. Ia menghampiri Luu.

"Kejutanku untukmu," keluh Luu, "padahal sudah aku ikat dengan tali tambang kemarin. Bukan tali mati, soalnya aku takut bisa menyakiti lehernya."

Leah menganga. "Hewan? Kejutanmu itu hewan?"

Luu mengangkat bahu, mencibir. "Bukan. Kejutanku untukmu itu sebatang pohon yang bisa berlari-lari kalau tidak diikat."

Leah memukul lengan Luu. "Hentikan. Tidak lucu. Nini pasti tidak akan suka kita membawa pulang hewan peliharaan. Dan kau tahu aku alergi bulu kucing!"

Leah mendapat firasat buruk ketika Luu nyengir lebar.

"Tenang. Kejutanku bukan kucing. Lebih baik kau bantu aku cari. Teriak kalau kau sudah menemukan makhluk berbulu yang bisa bergerak."

Leah menghela napas panjang. Panjang sekali. Akhirnya ia ikut mencari. Mereka harus menemukan apa pun itu sebelum waktu makan malam tiba. Luu terus-terusan mencari di sisi yang sama, Leah memutuskan mencari di sisi yang berlawanan. Ia mencari di dekat semak-semak yang mengarah ke anak sungai. Leah menebas semak-semak dan terus melangkah menuju anak sungai. 

Pepohonan semakin rapat semakin ia mendengar suara air yang mengalir tenang. Menabrak bebatuan.

Leah melihat sesosok makhluk sedang membungkuk di tepi anak sungai. Bokong mungil makhluk itu memiliki ekor mungil yang bergoyang senang. Leah begitu terpana hingga ia lupa memanggil Luu. Gadis itu beranjak mendekat, kakinya menginjak tali tambang panjang yang mengarah ke leher sang makhluk kecil. Makhluk itu merasakan kehadirannya. 

Makhluk itu menoleh, mereka berpandangan sesaat, lalu makhluk itu menelengkan kepala dan mengembik.

Kambing! Seekor kambing putih mungil yang menggemaskan!

Leah menutup mulut dengan tangan. Menghampiri si kambing yang tidak menjauhinya pun mendekatinya. Tangannya terjulur untuk mengelus telinga makhluk itu. kambing itu mendekatinya, menggigiti kardigannya yang berwarna hijau. Leah memeluk dan mengusap bulu-bulunya yang lembut. Leah tertawa ketika anak kambing itu enggan melepas gigitannya dari kardigan rajutnya.

"Wah, sumpah, Le." Luu muncul dari balik semak-semak dengan wajah kotor dan penuh peluh. Tapi ia tampak ceria dengan senyum sumringahnya. "Tidak kusangka kalian sudah bertemu dan berteman sementara aku frustrasi mencari-cari sendirian."

Leah menoleh pada Luu. Luu terpana melihat senyum Leah.  Tidak pernah ia melihat Leah tersenyum selebar itu.

*

688 words


Gadis dalam Cermin✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang